Porn(o) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan

Oleh : Aris Setyawan
Etnomusikolog dan musikus. Pendiri dan pemimpin redaksi media seni dan budaya serunai.co

Judul buku: Porn(o) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan
Penulis: Nurdiyansah Dalidjo
Penerbit: Metagraf (Tiga Serangkai)
Tahun Terbit: 2015
Jumlah Halaman: 274 Hal

pustaka-hal-22
Indonesia gemah ripah loh jinawi, indah tanpa cela.

Demikian kiranya gambaran yang selalu dimunculkan oleh berbagai buku panduan wisata atau program jalan-jalan di televisi. Buku panduan semacam Naked Traveller, atau program televisi bertajuk My Trip My Adventure begitu digandrungi masyarakat karena menggambarkan bahwa perjalanan (berwisata) adalah sebuah petualangan yang menyenangkan, elok, dan indah.

Namun persis lukisan bergaya mooiindie, lukisan zaman Hindia Belanda yang sekadar menggambarkan keelokan nusantara tetapi menyembunyikan dan menutup rapat kepedihan dan kebobrokan akibat penjajahan kolonial, panduan wisata seperti di atas pun tentu menyembunyikan sesuatu. Selain yang elok dan indah, pariwisata tak pelak memiliki sisi lain berisi kepedihan dan kebobrokan.

Melalui bukunya yang bertajuk Porn(o) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan, Nurdiyansah Dalidjo menggambarkan bagaimana sisi lain dari perjalanan (wisata). Ternyata, di balik sukacita para wisatawan dan megahnya infrastruktur industri pariwisata nusantara, ada tumpukan masalah dan harus diselesaikan.

Dalidjo membuka bukunya dengan menjabarkan kenapa ia memilih tajuk “Porno” untuk sebuah buku tentang pariwisata. Konotasi porno sering lekat pada yang berbau “telanjang”, konotasi ini jelas sangat tabu. Padahal, ketelanjangan tersebut adalah kejujuran.
Dalam pemahaman Dalidjo, berwisata di Indonesia ibarat menatap lekat-lekat porno, terlihat indah, namun di balik keindahan itu tersembunyi kejujuran bahwa ada kesalahan dalam mengelola pariwisata. Kesalahan inilah yang akhirnya memunculkan berbagai fenomena destinasi wisata yang mencakup kemiskinan, pelacuran, kriminalitas, perdagangan ilegal, dan kerusakan lingkungan (hal 3).

Dalidjo menjabarkan kesalahan pengelolaan pariwisata ini dalam sebelas cerita. Ada cerita personal, yakni semacam catatan perjalanannya sebagai seorang petualang yang gemar berpetualang keliling Indonesia. Catatan ini juga agak serius menjurus ilmiah dengan adanya analisis kritis berbagai fenomena pariwisata. Hal ini mengingat latar belakang pendidikan penulis di bidang Manajemen Marketing Pariwisata.
Berseberangan dengan panduan wisata yang sekadar mengajak wisatawan berkunjung ke destinasi wisata namun melupakan etika menjaga lingkungan dan manusia sekitar, Porn(o) Tour justru mengajak para wisatawan untuk mengedepankan etika dalam berwisata.

Dengan tajam, Dalidjo menyoroti hilangnya etika dalam berwisata melalui kisah kunjungannya ke Gunung Bromo. Sejak diputarnya film 5 CM (film yang mengambil latar belakang gunung Bromo), pengunjung destinasi wisata alam ini membludak luar biasa. Alih-alih memberikan sumbangsih berupa peningkatan taraf ekonomi masyarakat sekitar, riuhnya wisatawan ini justru mempersulit kehidupan mereka.

Masifnya jumlah kendaraan yang datang mempercepat kerusakan jalanan hingga taraf memprihatinkan. Debu dari jalanan yang rusak berterbangan, menutupi tanaman kol di ladang dan menjadikan tanaman komoditas para petani lokal itu membusuk (hal 16).

Pertanian menjadi begitu sulit di Bromo, air adalah barang langka sekalipun ada sumber mata air besar melimpah di Ranu Pane. Apa daya, masyarakat lokal dilarang mengakses telaga itu dengan pertimbangan pelestarian ekosistem oleh pengelola, atau dalam pandangan Dalidjo, demi kesenangan turis (hal 17). Bagi warga lokal, kampung halaman ini tak menawarkan kesempatan nyaman untuk bermalas-malasan. Setiap hari adalah perjuangan hidup. Riuhnya gempita pariwisata Bromo tak juga meningkatkan taraf hidup mereka.

Wisatawan juga sering melupakan bahwa warga lokal Bromo (masyarakat Tengger) memiliki kepercayaan bahwa gunung tersebut sakral. Masyarakat kerap melakukan berbagai upacara. Sayangnya, kerapkali wisatawan seolah bebal dan tak mengerti adanya kesakralan ini. Seringkali, mereka semena-mena merusak sesajen dan melanggar kesakralan ini demi memperoleh posisi paling nyaman untuk berfoto selfie (hal 27).

Sama halnya saat tidak menghormati ritual masyarakat Tengger, kebanyakan pendaki (terutama pemula) pun tidak menghormati Gunung Bromo dengan membuang sampah sembarangan di atas gunung. Mereka pun tak segan mengambil bunga Edelweiss untuk dibawa pulang sebagai suvenir. Padahal, bunga langka ini dilindungi dan ada larangan untuk memetiknya. (hal 28).

Permasalahan di balik pariwisata tak sekadar hilangnya etika wisatawan. Terkadang, ada sengketa rumit antara pengelola destinasi wisata, masyarakat lokal, dan pemerintah. Dalidjo mencatat adanya konflik panjang di destinasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Ada konflik perebutan tanah antara pengelola TNGGP, pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan), dan masyarakat petani lokal.

Ujungnya sudah bisa ditebak: masyarakat lokallah yang terpinggirkan. Petani yang sesungguhnya telah mengolah tanah adat harus mengalah pada kuasa destinasi wisata dan hutan produksi. Seperti sebagian besar cerita tentang hilangnya hutan di negeri kita, TNGGP memiliki persoalan yang sama: HPH melanggar hak masyarakat adat terhadap kedaulatan tanah ulayat (hal 71).

Berbagai destinasi wisata di Indonesia seringkali juga salah urus. Dalidjo mencatat ramainya pengunjung di Candi Borobudur (Magelang) sebenarnya berbahaya untuk situs purbakala yang mendapat status worldheritage atau situs warisan budaya dunia oleh UNESCO tersebut. Demi memperoleh pemasukan tiket sebanyak mungkin, pengelola memasukkan hingga puluhan ribu orang per hari. Pengelola candi abai pada carryingcapacity atau kemampuan destinasi wisata menampung pengunjung. Padahal ini penting untuk melindungi situs purbakala (hal 139).

Kasus lain salah urus pengelolaan wisata juga Dalidjo temukan saat berkunjung ke Aceh. Banyak peninggalan bersejarah kerajaan Samudera Pasai terbengkalai tak terurus. Nisan-nisan bangsawan kerajaan teronggok bak batu biasa di pinggir jalan raya, berbagai suvenir peninggalan kerajaan dan dirham (mata uang kuno) bebas diperjualbelikan, kolektor ilegal bebas membeli peninggalan kuno dari masyarakat lokal yang terpaksa menjadi pemburu harta karun karena terdesak kondisi ekonomi. (Hal 155-169).

Di balik riuhnya destinasi pariwisata, kemiskinan manusia tak pelak menghiasinya. Seperti kerumunan pengemis di sekitar Masjid Agung Banten Lama, atau mereka yang meminta-minta di setiap area Wihara Avalokitesvara, Serang, Banten (hal 179).

Demikianlah porno dalam pariwisata yang dimaksud Nurdiyansah Dalidjo, memandang lekat ketelanjangan dalam perihal pariwisata di Indonesia, memahami kejujuran di baliknya. Berbagai problematika tersebut hanya segelintir yang mampu diamati dan diceritakan ulang oleh penulis. Tentu masih banyak lagi problematika tersembunyi di balik industri pariwisata di Indonesia.

Porn(o) Tour tak hanya menjabarkan permasalahan di balik pariwisata. Selayaknya buku panduan wisata, Dalidjo mengakhiri setiap catatan perjalanannya dengan anjuran atau panduan untuk mereka yang ingin berkunjung ke destinasi wisata tertentu. Tak seperti panduan wisata umum yang hanya memaparkan bagaimana cara tercepat, termudah, ternyaman,  dan termurah menuju destinasi wisata, panduan ala Dalidjo justru menyasar bagaimana cara paling beretika ketika seorang wisatawan berwisata. Panduan ini berisi berbagai anjuran apa yang boleh dan tak boleh dilakukan saat berwisata.

Ditulis dengan gaya mengalir yang enak dibaca namun penuh data dan referensi, Porn(o) Tour adalah upaya Nurdiyansah Dalidjo mendidik para pembacanya, baik wisatawan, pengelola destinasi wisata, atau masyarakat pada umumnya. Hikayat perjalanan berwisata bukan sekadar jalan-jalan demi kesenangan diri bagi wisatawan atau gelimang rupiah demi pengelola atau mereka yang berkepentingan ekonomis di dalamnya, termasuk negara. Hikayat perjalanan berwisata adalah untuk memahami bahwa di balik indahnya pesona nusantara, ada banyak masalah mengintai, mengancam keindahan pesona alam tersebut, serta keberlangsungan makhluk hidup di dalamnya: hewan di alam, maupun peradaban manusia.

Masalah ini tidak akan terselesaikan oleh wisatawan yang sekadar bersenang-senang mengagumi pesona alam sembari berteriak kencang “my trip my adventure”. Masalah tidak juga akan terselesaikan oleh pengelola wisata yang mementingkan kantong pribadi. Berbagai masalah ini harus dipikirkan bersama.

Pemahaman Dalidjo bisa dijadikan patokan awal untuk mengurai masalah ini. Buka mata, pandang lekat-lekat ketelanjangan industri pariwisata Indonesia. Pahami benar bahwa di balik lukisan mooi indieyang indah ini, ada sengkarut kemiskinan dan kerusakan lingkungan yang harus diselesaikan, diurai perlahan. Tujuannya, generasi penerus di masa depan tetap dapat menikmati keindahan nusantara tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud