Kelola Sampah Wisata, Cegah Kerusakan Lingkungan

Oleh : Apriliana Susanti
Staf Publikasi CRI

infografis-halaman-15
Di balik keindahan setiap destinasi wisata, ada jejak muram bagi lingkungan sekitarnya, yakni sampah. Sampah yang menjadi salah satu permasalahan terbesar dalam setiap kegiatan pariwisata belum menjadi perhatian mayoritas pengelola wisata di Indonesia saat ini. Pengelola wisata lebih berfokus pada bagaimana mendatangkan sebanyak-banyaknya wisatawan untuk mengejar hasil ekonomi yang lebih besar. Padahal, semakin banyak kunjungan wisatawan, semakin meningkat pula sampah yang dihasilkan. Jika dibiarkan saja, sampah-sampah itu bisa menjadi bom waktu yang dapat merusak lingkungan.

Sebagai destinasi wisata, sampah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi pengelola wisata Desa Nglanggeran, di Kecamatan Patuk, Gunungkidul, DI Yogakarta. Sugeng Handoko selaku pengelola wisata Desa Nglanggeran menuturkan,  setiap wisatawan yang datang di tempat ini rata-rata meninggalkan tiga sampah plastik, mulai dari sisa botol minuman hingga sisa kemasan snack. Jumlah itu belum termasuk sampah organik seperti sisa-sisa makanan, kertas pembungkus makanan, dan sebagainya. Jika kunjungan wisatawan pada tahun 2015 mencapai 235 ribu pengunjung, total sampah plastik yang dihasilkan sebanyak 235 ribu botol plastik dan 470 kantong plastik sisa camilan dalam setahun.

Meningkatnya jumlah sampah tidak bisa dihindari dengan semakin banyaknya jumlah pengunjung ke sejumlah objek wisata di Desa Nglanggeran. Terlebih lagi, kesadaran mayoritas wisatawan Indonesia untuk membuang sampah pada tempatnya masih kurang.

Pengelola wisata telah mengupayakan berbagai cara untuk meminimalisir volume sampah wisata. Sosialisasi agar wisatawan membawa kembali sampah mereka setelah turun dari gunung terus gencar dilakukan. Tong-tong sampah pun ditempatkan di berbagai titik pendakian Gunung Api Purba agar memudahkan wisatawan untuk membuang sampah. Selain memasang papan-papan himbauan, pengelola juga menekankan kearifan lokal pada wisatawan. Semisal, larangan membuang sampah sembarangan di tempat-tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat. Kearifan lokal itu terbukti ampuh meningkatkan kesadaran wisatawan untuk membuang sampah di tempat-tempat yang telah disediakan.

“Kesadaran pengunjung untuk membawa sampahnya semain meningkat. Pada tahun-tahun awal pembukaan menjadi desa wisata, sampah plastik dari gunung bisa mencapai 10-15 trash bag (kantong sampah-red) bahkan lebih. Sekarang, berkurang menjadi 6-8 trash bag dan semoga akan semakin berkurang terus,” jelas Sugeng Handoko, (18/9).

Kegiatan membersihkan sampah di gunung pun menjadi rutinitas mingguan tim pengelola untuk  konservasi kawasan tersebut. Setiap hari Rabu dan Sabtu pagi, ada beberapa tim dari pengelola wisata yang menyisir sampah di Gunung Api Purba. Berbekal kantong sampah plastik, tim-tim itu akan mengambil sampah-sampah dari tong-tong sampah dan di sepanjang jalan yang mereka sisir. Mereka akan membawa turun sampah-sampah itu  untuk kemudian diangkut oleh petugas sampah ke lokasi pengolahan sampah desa.

Kelola sampah mandiri
Jika pada tahun-tahun sebelumnya sampah-sampah wisata diambil oleh truk sampah Dinas Pekerjaan Umum Gunungkidul, tahun 2016 ini sampah sudah dikelola mandiri oleh desa. Pengelolaannya dilakukan oleh unsur lembaga desa KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dan pengelola wisata. Saat ini, ada tiga pengelola dari kedua unsur tersebut dan tiga petugas pengangkut sampah. Para petugas mengambil sampah wisata dari objek wisata setiap dua hari sekali. Mereka kemudian memilah lagi sampah-sampah itu menurut jenisnya, yakni sampah organik dan sampah anorganik.

Sampah anorganik terutama plastik dan tisu menjadi sampah terbanyak yang dikelola TPS (Tempat Pembuangan Sementara) saat ini. Sampah-sampah itu masih dipilah lagi menjadi sampah yang masih bisa didaur ulang dan dijual seperti botol plastik dan sampah yang tidak bisa dijual atau didaur ulang lagi. Selama enam bulan pengelolaan sampah di TPS ini, petugas sudah memilah 1,25 ton sampah plastik yang bisa dijual. Sampah-sampah tersebut dijual ke pedagang rongsok dengan harga Rp 2.600 per kilo gram. Uang penjualan sebesar Rp 3.250.000 masuk kas pengelola wisata. Sementara sampah yang tidak bisa dijual lagi diambil oleh Dinas PU Kabupaten Gunungkidul untuk kemudian didistribusikan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Sukiran, ketua pengelola TPS mengatakan, biaya operasional rata-rata yang dikeluarkan pengelola TPS sebesar Rp 3 juta. Biaya tersebut meliputi biaya operasional kendaraan pengangkut sampah, listrik, BBM pengangkut sampah, upah petugas, dan lain-lain. “Biaya operasional itu belum termasuk biaya operasional mesin pengolah sampah. Saat ini memang mesinnya belum berjalan karena volume sampahnya baru dari tempat wisata saja, jadi masih sedikit,” katanya, (18/9).

TPS mandiri di Desa Nglanggeran bukan semata untuk mengelola sampah wisata, namun juga sampah warga, terutama sampah anorganik. Namun, warga masih terbiasa menimbun atau membakar sampah anorganik di kebun mereka. Padahal, pemerintah desa sudah mengadakan sosialisasi kepada warga agar mereka mau membuang sampah di TPS. Kondisi ini tentu berseberangan dengan gerakan 3R (Reuse, Reduce, dan Recycle) yang dicanangkan oleh pemerintah desa setempat.

Salah satu pedagang makanan di objek wisata Embung Nglanggeran, Mujiyem, mengakui masih menimbun atau membakar semua jenis sampah dari warungnya. “Biasanya (sampahnya) ditimbun di halaman rumah atau dibakar,” akunya, (17/9).

utama-4-hal-20-tps-mandiri-di-desa-nglanggeran-untuk-mengelola-sampah-wisata-dan-sampah-warga
Pemerintah desa berencana memasukkan pengelolaan TPS ini di bawah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) pada tahun 2017. Kepala Desa Nglanggeran, Senen, mengungkapkan pihaknya telah meningkatkan anggaran pengelolaan TPS ini untuk tahun depan. Sosialisasi kepada warga sudah mulai dilakukan tahun ini dan akan semakin gencar dilakukan tahun depan. “Harapannya, warga mau membuang sampah mereka di TPS, terutama sampah yang tidak bisa didaur ulang agar tidak mencemari lingkungan,” kata Senen, (18/9).

TPS di Nglanggeran baru beroperasi sekitar Maret 2016 di Dusun Gunung Butak, sekitar 1,5 kilometer dari kantor sekretariat Gunung Api Purba. TPS ini berdiri di lahan seluas 500 meter persegi dan bangunan seluas 12 x 16 meter persegi. Pembangunannya dibantu Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DIY. Selain bangunan, bantuan juga meliputi motor pengangkut sampah dan mesin pengolah sampah yang rencananya dioperasikan tahun 2017.

Urusan sampah wisata, jika tidak dikelola dengan baik berpotensi merusak lingkungan. Kerjasama berbagai pihak sangat penting dilakukan. Pengelola wisata dan pemerintah wajib mengelola sampah-sampah wisata. Kesadaran wisatawan dan warga setempat untuk membuang sampah pada tempatnya pun harus lebih meningkat.

Infografis Tantangan Pariwisata Berbasis Komunitas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud