Pariwisata Berbasis Masyarakat di Nglanggeran : Pemberdayaan Warga untuk Pariwisata yang Berkelanjutan

Oleh : Apriliana Susanti
Staf Publikasi CRI

utama-3-hal-16-tingkat-urbanisasi-terutama-di-kalangan-anak-muda-menurun-karena-pariwisata-memunculkan-berbagai-lapangan-kerja
Lebih dari 600 warga Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul DI Yogyakarta berkumpul di lapangan desa pada Sabtu siang yang terik,(17/9). Dalam balutan kebaya, surjan, dan kostum tradisional beraneka warna, mereka menyemarakkan kirab tahunan dalam rangkaian ritual bersih desa atau rasulan. Mulai dari anak-anak hingga para orang tua berpartisipasi dalam ajang kesenian tradisional terbesar di Desa Nglanggeran. Ada jathilan, tarian anak-anak, gejhog lesung, sholawatan, tayub, dan masih banyak lainnya. Tiga gunungan hasil pertanian warga diarak untuk diperebutkan para peserta dan penonton kirab. Beberapa wisatawan lokal dan manca tampak tak ingin melewatkan even yang langka itu.
Setelah Desa Nglanggeran dibuka menjadi tujuan wisata pada 2007 lalu, partisipasi warga dalam kegiatan-kegiatan desa semakin meningkat. Partisipasi itu tampak dari keterlibatan warga dalam semua rangkaian kegiatan bersih desa yang berlangsung selama dua hari, 17-18 September 2016.

Bersih desa yang dulunya sekadar ritual tahunan kini dikemas menjadi atraksi wisata. Warga ingin wisatawan tak hanya mengenal Nglanggeran dari Gunung Api Purbanya saja, namun juga keunikan budayanya. Inilah menariknya. Pariwisata menjadikan warga semakin peduli terhadap kelestarian budaya lokal. Mereka menyadari, kelestarian budaya menjadi kunci keberlanjutan desa wisata yang bertumpu pada kolektivitas warganya.

“Dulu kegiatan budaya (rasulan) tidak sebesar ini. Sekarang, setiap dusun punya kelompok seni yang nggak hanya ditampilkan setahun sekali saat rasulan, tapi kadang juga ditampilkan untuk menyambut wisatawan,” jelas Suadi, warga Dusun Nglanggeran Kulon, (17/9).

Berdayakan warga
Keterlibatan warga desa ini merupakan ciri khas dari bentuk pariwisata berbasis komunitas atau masyarakat (Community Bassed Tourism) yang diusung Desa Wisata Nglanggeran. Setiap kegiatan pariwisata di desa ini selalu memberdayakan warga setempat, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya. Ada warga yang terlibat dalam manajemen wisata, pemandu wisata, petugas parkir, penyedia homestay, penjual makanan dan minuman, pengelola sampah wisata, dan lain-lain. Pemberdayaan warga inilah yang membedakan pariwisata berbasis masyarakat dengan pariwisata konvensional  yang umumnya dikuasai oleh pemodal besar.

Sugeng Handoko, pengelola wisata Gunung Api Purba Desa Nglanggeran menceritakan, keterlibatan warga untuk ikut mengembangkan desa bukan hal yang instan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat menggerakkan partisipasi warga agar mau membangun Nglanggeran menjadi desa wisata seperti sekarang ini. Upaya itupun awalnya hanya untuk penguatan internal warga  melalui lembaga kepemudaan karang taruna sejak 1999. Berawal dari penguatan itulah muncul komitmen warga untuk konservasi kawasan selang delapan tahun kemudian.

“Berawal dari penguatan internal di karang taruna, kami punya komitmen untuk konservasi lapangan. Dampak dari kegiatan konservasi kawasan itu, orang-orang yang datang ke desa kami semakin merasa nyaman. Semakin banyak orang datang untuk hiking dan treking di gunung. Dari situlah kami berpikir, kenapa tidak dijadikan destinasi wisata?” urai Sugeng Handoko yang juga menjadi salah satu tokoh  karang taruna Desa Nglanggeran, (18/9).

utama-3-hal-12-partisipasi-warga-meningkat-sejak-dikembangkannya-cbt-di-desa-nglanggeran
Konservasi ternyata menjadikan kawasan gunung api purba menjadi lebih hijau dan lebih tertata. Konservasi itu pula yang membawa Nglanggeran menjadi desa wisata terbaik kedua di Indonesia tahun 2013.  Pada tahun 2016 ini, Desa Nglanggeran menjadi kandidat terkuat menyabet juara kategori Innovation in Non-Governmental Organization dalam ajang UNWTO (United Nations World Tourism Organization)  Award yang digelar oleh badan pariwisata dunia dari PBB.

Dua sisi
Berkembangnya Nglanggeran menjadi desa wisata tak lepas dari euforia menjamurnya ratusan desa wisata di Indonesia sejak 2009. Saat itu, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata (dulu Kemenbudpar) gencar mencanangkan desa-desa wisata di Indonesia. Desa-desa wisata itu  menawarkan beragam daya tarik seperti atraksi seni, budaya, gaya hidup, kuliner dan keunikan alam setempat. Daya tarik tersebut kemudian dikemas menjadi sebuah atraksi yang menarik para wisatawan, misalnya menjelaskan bagaimana cara pembuatan makanan atau mengolah minuman khas desa tersebut dan aktivitas lain yang ada di sana. Bentuk wisata berbasis desa seperti inilah yang kini menjadi alternatif wisata baru dalam peta pariwisata Indonesia.

Kemunculan desa wisata jelas memberi dampak yang cukup signifikan bagi masyarakatnya. Seperti terjadi di Nglanggeran, sektor pariwisata ikut menggerakkan sektor-sektor lain seperti peternakan, pertanian, penginapan dan lain-lain. Saat ini, ada setidaknya 80 warga yang menyewakan rumahnya untuk dijadikan penginapan para wisatawan atau homestay.  Sektor pertanian juga semakin menjanjikan karena petani lebih mudah menyalurkan hasil panennya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi wisatawan. Dampaknya, kesejahteraan warga meningkat.

utama-3-hal-13-alternatif-3-embung-nglanggeran-yang-sejatinya-digunakan-untuk-mengairi-kebun-buah-di-sekelilingnya-kini-juga-dibuka-untuk-wisata
Lebih menggembirakan lagi, tingkat urbanisasi menurun karena pariwisata memunculkan berbagai lapangan kerja bagi warga. Ada lebih dari 150 warga yang bergabung menjadi pengelola wisata. Itu belum termasuk dengan usaha-usaha kecil milik warga seperti warung makan, toko kelontong, dan lain-lain yang kini mulai menjamur di sekitar objek-objek wisata (lihat: Infografis Desa Wisata Nglanggeran). “Dulu tidak ada lapangan pekerjaan di desa ini. Sekarang, banyak anak muda yang kembali ke desa,” ujar Sri, warga Dusun Nglanggeran Kulon yang pernah merantau di Singapura sebelum kembali ke desanya beberapa tahun silam, (17/9).

Jumlah kunjungan wisata yang meningkat juga berdampak pada meningkatnya pendapatan pemerintah, baik di tingkat daerah maupun tingkat desa. Tahun 2015 lalu, ada 235 ribu wisatawan yang berkunjung ke Desa Nglanggeran dengan penerimaan retribusi wisata mencapai Rp 1,5 miliar setahun. Senen, kepala Desa Nglanggeran memaparkan, 60 persen dari retribusi wisata yang disetorkan oleh pengelola wisata ke Pemkab Gunungkidul masuk kembali ke kas desa.

“Desa wisata membuat pendapatan desa meningkat. Jika tahun 2004 lalu pendapatan desa sekitar Rp 10 juta per tahun, pada 2015 lalu meningkat menjadi 24 kali lipatnya,” papar Senen, (18/9).

Desa Nglanggeran yang dulunya terpencil kini menjadi jujugan wisatawan dan para peneliti serta pemerintah desa-desa lain yang ingin belajar tentang desa wisata. Setelah dibuka menjadi desa wisata dan berkembang seperti saat ini, pemerintah pusat dan daerah memberi perhatian lebih baik dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan SDM masyarakat melalui pelatihan-pelatihan. “Padahal, dulu sangat sulit meminta bantuaan dari pemerintah. Dulu jalanan di desa ini terjal dan berbatu. Penerangan jalan juga kurang,” tutur  Senen.

Meningkatnya kegiatan pariwisata di desa wisata mendorong warga untuk berlomba-lomba menjadi penyedia jasa yang berorientasi pada uang. Warga desa yang dulunya menggantungkan hidup pada hasil pertanian, kini banyak yang berpindah haluan dengan menjadi pedagang makanan dan minuman karena dirasa lebih menguntungkan. Fenomena itu pun dialami Nglanggeran dan desa-desa wisata lain di Gunungkidul.

“Dampak dari dibukanya sebuah kawasan wisata adalah terjadinya transformasi kultural mata pencaharian masyarakat Gunungkidul yang dulunya agraris menjadi pariwisata,” kata Budi Martono, selaku General Manager GeoparkGunung Sewu di Gunung Kidul saat menyampaikan workshop tentang pengelolaan GeoparkGunungsewu di gedung Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, (30/8).

Transformasi mata pencaharian tersebut tidak serta merta terjadi pada seluruh warga Nglanggeran. Senen mengatakan, warga yang mengelola homestay dan jasa pariwisata lebih banyak berasal dari tiga dusun yang berdekatan dengan objek-objek wisata, yakni Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan, dan Gunung Butak. Geliat pariwisata terlihat dari lebih siapnya warga di ketiga dusun tersebut dalam menyambut wisatawan. Hal itu tampak dari beberapa warga yang merenovasi rumah mereka agar lebih nyaman untuk penginapan wisatawan.  Demikian juga dengan bertambahnya warga yang mengelola warung-warung makanan di seputar objek wisata. Kondisi tersebut tidak ditemukan di dua dusun lain, yakni Dusun Karangsari dan Dusun Doga.

Pemerintah Desa Nglanggeran tidak menampik pariwisata memunculkan kesenjangan ekonomi di desanya. Namun demikian, baik pemerintah desa maupun pengelola wisata telah berupaya merangkul warga dari lima dusun di Desa Nglanggeran untuk bergabung menjadi pengelola wisata. “Petugas pengelola wisata saat ini sudah berasal dari 5 dusun yang ada di desa ini. Kami mengupayakan untuk pemerataan dan peningkatan keterlibatan warga dalam mengelola wisata di desa kami,” kata Senen.

Sementara itu, pengelola wisata mengakui, kemampuan berbahasa asing yang minim masih menjadi PR untuk mereka. Padahal, setelah UNESCO menetapkan kawasan karst Gunungsewu (meliputi Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan) sebagai geopark dunia, akses untuk dikenal secara global semakin terbuka lebar. Terlebih, Gunung Api Purba Nglanggeran sebagai pintu masuk GeoparkGunungsewu di propinsi Yogyakarta berpeluang menarik lebih banyak wisatawan mancanegara. Tantangannya, tuntutan untuk bisa menghadirkan wisata yang edukatif, konservatif, dan menarik tak bisa ditawar lagi. “Pengelola memang masih terkendala dengan kemampuan berbahasa asing. Beberapa mahasiswa UGM (dari Manajemen Kajian Pariwisata-red) rutin datang ke sini untuk melatih kami berbahasa inggris,” kata Sugeng Handoko.

Sebelum dibuka menjadi kawasan wisata, Gunung Api Purba digarap oleh masyarakat setempat. Penebangan pohon dan penggalian batu gunung untuk dijual menjadi pemandangan yang biasa pada masa itu.  Warga menutup mata akan ancaman longsor yang bisa terjadi sewaktu-waktu karena tanah yang makin rentan karena penebangan dan penggalian tersebut. “Dulu nenek moyang kami hanya melihat gunung ini sebagai gunung batu saja. Mereka belum melihat peluang wisata yang bisa dikembangkan seperti sekarang. Hasil yang bisa kami nikmati bersama-sama dari gunung ini dulunya hanyalah panen pisang yang ditanam bersama-sama oleh warga,” cerita Sugeng.

Dibukanya Gunung Api Purba Nglanggeran sebagai tujuan wisata memberi harapan baru bagi kelestarian  ekologi di kawasan ini. Pengelolaan lahan di gunung kini fokus pada konservasi kawasan. Tidak ada lagi penebangan liar ataupun penggalian batu-batu gunung. Masyarakat pun semakin menyadari pentingnya menjaga satwa langka gunung terutama kera gunung dan macan cecep. Padahal, dulu satwa langka itu banyak diburu warga. Tanaman keras dan buah-buahan lebih banyak ditanam di gunung untuk habitat dan sumber pakan bagi satwa-satwa tersebut.

Pariwisata memang membuat lingkungan di Gunung Api Purba Nglanggeran menjadi semakin tertata. Namun demikian, pariwisata juga telah meningkatkan volume sampah, terutama sampah plastik di kawasan tersebut (lihat: Kelola Sampah, Cegah Kerusakan Lingkungan).  Ini tentu menjadi tantangan besar bagi pengelola wisata setempat. Pengelolaan sampah wisata mutlak dilakukan untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang lebih besar pada masa mendatang.

Pariwisata, dimana pun itu, selalu memiliki dua sisi yang berbeda: peluang di satu sisi dan tantangan di sisi lainnya. Desa wisata yang mengusung bentuk pariwisata berbasis komunitas pun tak luput dari keduanya. Pariwisata di Desa Wisata Nglanggeran telah berdampak positif bagi pemberdayaan warga. Meski begitu, masih banyak tantangan yang harus dihadapi ke depannya. Penguatan internal warga terus menjadi perhatian, baik sebelum dan setelah kawasan itu dibuka menjadi kawasan wisata seperti saat ini.  Tujuannya, agar warga lebih siap dan berdaya dalam menjawab tantangan pariwisata global.  Warga yang berdaya bisa menjadi modal besar bagi keberlanjutan pariwisata di kawasan itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud