Jalan Panjang Memperjuangkan Hak Atas Informasi

Tidak semua pihak bisa menerima asas keterbukaan informasi. Tak jarang, upaya warga untuk memperoleh informasi harus melalui proses rumit, bahkan memakan waktu yang panjang.

Kematian anak-anak yang menjadi korban tenggelam di lubang bekas galian tambang di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) memunculkan berbagai pertanyaan. Pasalnya, lubang bekas galian tambang tersebut terletak di sekitar kawasan pemukiman. Selain itu, tidak ada aktivitas pembenahan ataupun pengamanan yang memadai dari perusahaan penambang di sekitar kawasan tersebut.

Kondisi itu memicu Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim untuk meminta informasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) serta Izin Usaha Pertambangan (IUP) di beberapa wilayah di Provinsi Kaltim. Upaya tersebut lantas menuai berbagai penolakan dari pihak pemerintah daerah. Ketika diwawancarai pada 8 Mei lalu, aktivis Jatam Kaltim Kahar Al Bahri mengungkap hal tersebut. Ia menguraikan proses panjang yang harus dilalui Jatam Kaltim dalam memperjuangkan hak atas informasi publik.

Mengejar informasi seputar tambang

Pada 24 Desember 2011, tiga orang anak meninggal akibat tenggelam di bekas lubang tambang di Kota Samarinda, Kaltim. Peristiwa ini mendorong Jatam Kaltim meminta dokumen Amdal dan IUP di wilayah Kaltim, khususnya di Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) kepada instansi pemerintah yang terkait.

Selang beberapa minggu setelah peristiwa kematian tiga orang bocah di lubang tambang itu, Jatam Kaltim mengirimkan surat kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Samarinda. Namun, surat yang dikirimkan pada 12 Januari 2012 itu tidak ditanggapi. Setelah beberapa kali mengirimkan permohonan, pihak BLH justru menolak mentah-mentah pengajuan tersebut. Salah seorang petinggi BLH bahkan mengancam para aktivis Jatam. Dalam sebuah forum, pejabat BLH tersebut mengundang para aktivis Jatam Kaltim dan menyampaikan bahwa dokumen Amdal yang diminta bersifat rahasia. “Kami tidak akan membuka (informasi). Kalau mau berkelahi, ayo, kita buka baju!” kisah Kahar Al Bahri menirukan ucapan pejabat BLH kala itu.

Saat itu, Komisi Informasi (KI) Provinsi Kaltim belum berdiri. Baru pada 12 Juni 2012, sebulan setelah KI Provinsi Kaltim berdiri, Jatam Kaltim kembali mengirimkan surat permohonan dokumen Amdal kepada BLH Kota Samarinda. Seperti surat-surat sebelumnya, permohonan tersebut tidak ditanggapi.

Salah satu aktivitas pertambangan yang didokumentasikan Jatam Kaltim. [Sumber foto-Dok. JATAM KALTIM]

Selanjutnya, setelah kembali mengirimkan surat permohonan Amdal pada 27 Agustus 2012, Jatam Kaltim akhirnya mengirimkan surat keberatan kepada walikota Samarinda. “Sikapnya sama seperti BLH, menganggap dokumen informasi publik ini bersifat rahasia,” ungkap Kahar.

Pihak Jatam Kaltim pun akhirnya mengajukan sengketa ke Komisi Informasi Daerah. Pada 11 Desember 2012, sengketa informasi pertama pun dilangsungkan di KI Provinsi Kaltim yang diawali dengan proses mediasi. Sayangnya, tidak ada satupun aparat BLH Kota Samarinda yang hadir. Mediasi pertama tersebut pun dibatalkan.

Seminggu berselang, tepatnya pada 17 Desember 2012, proses mediasi kedua dilangsungkan. Pada proses itu, pihak BLH yang hadir malah mempertanyakan legalitas Jatam Kaltim sebagai organisasi. “Di dalam forum, mereka mengatakan tidak percaya dengan Jatam. Jatam adalah organisasi yang tidak terdaftar, kata mereka. Mereka lebih banyak mempermasalahkan soal administrasi,” jelas Kahar. “Tapi kami pikir bahwa kami mengikuti undang-undang, Jatam adalah organisasi yang mempunyai badan hukum dan jelas memiliki akta notaris,” lanjutnya.

Akhirnya disepakati bahwa dokumen Amdal akan diserahkan jika Jatam Kaltim menyerahkan dokumen kelembagaannya. Tanggal 22 Januari 2013 disepakati sebagai waktu penyerahan dokumen Amdal. Namun, tiba-tiba BLH mengeluarkan pernyataan di media bahwa mediasi yang telah dilaksanakan cacat hukum. Kesepakatan untuk saling menyerahkan dokumen pun dilanggar.

Akhirnya, sesuai UU KIP, Jatam Kaltim mengajukan hasil sengketa tersebut untuk dieksekusi oleh pengadilan. Pada Februari 2013, Jatam Kaltim mengirim surat kepada pengadilan tinggi Kota Samarinda agar mengeksekusi hasil putusan KI. Oleh pengadilan, BLH diberi waktu selambat-lambatnya delapan hari untuk menyerahkan dokumen tersebut.

Perintah tersebut ditaati BLH. Dokumen selanjutnya diserahkan kepada Jatam Kaltim melalui juru sita pengadilan Samarinda. “Yang bikin kami kaget adalah waktu itu penyerahannya diserahkan satu minggu per dokumen, dan serah terimanya dilakukan setiap hari Rabu,” jelas Kahar.

Bukan hanya sekali Jatam Kaltim mengajukan sengketa informasi di KI. Pada 17 Desember 2013, Jatam kembali mengajukan permintaan atas informasi publik. Kali ini, Jatam Kaltim mengajukan permohonan informasi publik terhadap Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam permohonan tersebut, Jatam Kaltim meminta beberapa dokumen terkait pertambangan, antara lain Rencana Kerja SKPD Pertambangan tahun anggaran (TA) 2012, Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD Pertambangan TA 2012, Surat Keputusan IUP se-Kabupaten Kukar, serta Laporan Pemantauan Ketaatan Internal Perusahaan Pertambangan tahun 2011.

Seperti gugatan sebelumnya, permintaan informasi tersebut ditolak. Lewat surat yang dikirimkan pada 2 Januari 2014, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Kukar menyampaikan penolakannya. Jatam Kaltim pun mengajukan keberatan atas penolakan tersebut dengan mengirimkan surat keberatan pada 22 Januari 2014.

Hasilnya, Distamben Kukar menanggapi surat keberatan tersebut dengan ajakan pertemuan mediasi dan klarifikasi pada 28 Februari 2014. Distamben Kukar menyatakan bersedia menyerahkan data yang diminta Jatam Kaltim, kecuali SK IUP Batubara se-Kabupaten Kukar.

Menanggapi hal tersebut, pada 17 Maret 2014 Jatam Kaltim pun mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Kaltim. Pada 16 April 2015 KIP mengabulkan permohonan informasi yang diajukan Jatam Kaltim. Namun, putusan KIP dengan Nomor: 0003/REG-PSI/III/2014 itu ditanggapi Distamben Kukar dengan pengajuan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Samarinda. Putusan KIP tersebut justru diperkuat oleh putusan PTUN Samarinda pada 11 Agustus 2015.

Putusan PTUN Samarinda tak lantas membuat Distamben dan Pemkab Kukar mau menyerahkan data yang diminta Jatam Kaltim. Puluhan pengacara pun dikerahkan oleh Distamben dan Pemkab Kukar untuk mengajukan kasasi atas putusan PTUN Samarinda. Namun, dalam putusan yang dikeluarkan pada 16 Februari 2016, kasasi tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung.

Pada 9 Mei 2016, Jatam Kaltim lantas meminta pelaksanaan putusan. PTUN Samarinda kemudian menyatakan bahwa putusan Komisi Informasi Nomor 0003/REG/PSI/III/2014 tanggal 16 April 2015 tersebut dapat dilaksanakan pada tanggal 16 Mei 2016.

Distamben Kabupaten Kukar pun kembali melakukan perlawanan. Pada 16 Mei 2016, melalui PTUN Samarinda, pihak Distamben dan Pemkab Kukar mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. PTUN Samarinda kemudian mengirimkan berkas permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA) Nomor : 17/G/2015/PTUN-SMD pada 19 Juli 2016.

Perjuangan selama hampir tiga tahun itu pun berbuah manis. Setelah pada 15 Agustus 2016 Jatam Kaltim mengajukan anmaning (pelaksanaan eksekusi putusan), penyerahan dokumen pun disetujui. Akhirnya, pada 30 Agustus 2016, Distamben Kabupaten Kukar mengirimkan surat pemberitahuan untuk penyerahan dokumen IUP kepada Jatam Kaltim.

Membuka informasi kesehatan

Kisah Jatam Kaltim bukan satu-satunya contoh dalam memperjuangkan hak atas informasi. Di bidang kesehatan, isu keterbukaan informasi pun masih menjadi kendala. Donnie Satria, pasien gagal ginjal sekaligus pendiri komunitas Ginjal Kita di DI Yogyakarta mengisahkan pengalamannya dalam mengakses informasi seputar pelayanan medis bagi pasien gagal ginjal.

Donnie merupakan salah seorang pasien gagal ginjal yang memilih CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis) sebagai metode pengobatan. CAPD merupakan satu dari tiga mekanisme dalam penanganan pasien gagal ginjal selain cuci darah rutin atau hemodialisa (HD) dan transplantasi/ cangkok ginjal. CAPD dilakukan dengan pencucian darah dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut) dan cairan dianeal. Dengan mekanisme ini, cairan dianeal bagi pasien gagal ginjal tak ubahnya penyambung nyawa.

Di Indonesia, pasien CAPD telah ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sehat (BPJS). Hal tersebut telah dijamin dalam Permenkes No 52 tahun 2016 pasal 19 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan. Namun, saat Permenkes No 52 tahun 2016 tersebut digulirkan, yang terjadi di lapangan sungguh di luar dugaan.

Salah satu upaya yang ditempuh melalui media.
[Sumber foto: Dok. Donnie Satria

Awalnya, pada Oktober 2016, Donnie mendapat kabar bahwa distribusi cairan dianeal akan terlambat. Bahkan setelah dua minggu lebih cairan dianeal yang telah diurus pasien belum sampai ke rumah. Keterlambatan distribusi cairan dianeal inilah yang menjadi pemicu Donnie dan rekan-rekannya sesama pasien gagal ginjal dalam memperjuangkan informasi ketersediaan cairan tersebut.

Menurut Donnie, salah satu penyebab keterlambatan adalah ketidaksesuaian harga antara RSUP Sardjito dengan mitra penyedia dianeal. Pihak Enseval selaku importir dianeal menaikkan harga karena menurut mereka harga beli di Baxter (produsen dianeal) juga naik.

Donnie Satria, salah seorang pendiri Komunitas Ginjal Kita.
Sumber: Dokumentasi Donnie Satria

Sementara itu, pihak Sardjito tetap ingin menggunakan harga lama (sesuai Permenkes No 59 tahun 2014 pasal 19). “Tepat dua minggu dianeal terlambat, teman-teman (pasien gagal ginjal-red) sudah mulai gelisah. Pasien yang mempunyai cairan berlebih akhirnya harus merelakan sebagian cairannya kepada pasien yang stok cairannya sudah menipis,” kisah Donnie. “Apabila ada pasien yang meninggal, sisa dianealtersebut langsung diminta oleh pasien yang cairannya menipis,” lanjutnya.

Usai menunggu lebih dari dua minggu, Donnie dan pasien CAPD lainnya belum juga mendapatkan cairan dianeal. “Aku dan semua pasien CAPD tentunya, benar-benar sudah kebingungan karena cairan stok cadangan sudah menipis,” urai Donnie. Ia dan teman-temannya pun berinisiatif meminta bantuan Lembaga Ombudsman Daerah DI Yogyakarta (LOD DIY) untuk mengadvokasi pasien. Mereka juga menyebarkan informasi terkait persoalan tersebut ke media massa.

Perjuangan mereka akhirnya membuahkan hasil. Pada 21 Januari 2017, cairan dianeal datang. Meski demikian, hingga saat ini, ketersediaan cairan masih sering menjadi keluhan Donnie dan pasien lainnya. Informasi seputar ketersediaan cairan yang mereka butuhkan pun belum sepenuhnya disosialisasikan.

 

 

Baca juga :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud