Semangat Kartini Kendeng Mendobrak Tambang

Berbalut kebaya kain hitam polos dengan rambut disanggul cepol seadanya dan beralaskan sandal jepit sederhana, Gunarti  menyapa Yogyakarta, (9/4). Berdiri di ruangan Wisma Djoglo Yogyakarta tempat berlangsungnya konferensi nasional tentang air, suara petani itu tercekat ketika ia menyanyikan sebait lirik lagu “Ibu Pertiwi” untuk desanya di kaki Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah.

“Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati,
Air matamu berlinang, mas intanmu terkenang”

Tak sanggup menyelesaikan lagunya, Gunarti pun dengan lantang menyuarakan penolakannya terhadap rencana pendirian pabrik semen di daerahnya. “Yang kami pertahankan adalah air, sebagai sandaran penghidupan kami. Kalau bukan kami yang menjaganya, tanah air kami akan kembali dijajah pengusaha asing,” tegasnya dalam Bahasa Jawa.

Gunarti adalah salah satu tokoh warga Samin atau biasa disebut Sedulur Sikep yang hidup di sepanjang Pegunungan Karst Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Seperti halnya Gunarti, mayoritas warga di Pegunungan Kendeng memang menolak kehadiran pabrik semen. Penolakan itu karena sebagian besar karst Pegunungan Kendeng telah menjadi sumber pengairan bagi pertanian warga di sana.

Pegunungan Kendeng sejatinya memang menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Ratusan mata air yang tersimpan di dalam perutnya menjadi tumpuan ribuan warga di Grobogan, Pati, Blora, dan Rembang. Air yang melimpah membuat daerah ini menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Tengah.

Sebagai pegunungan karst, Kendeng memiliki cadangan batu gamping yang menjadi bahan baku semen dengan kualitas unggul. Kekayaan akan batu gamping itulah yang menarik beberapa pabrik semen untuk menambang di sana. Tentu saja, rencana penambangan itu ditentang keras oleh masyarakat di sekitarnya. Warga khawatir, penambangan akan mengancam ratusan mata air yang menjadi tumpuan hidup mereka.

Penambangan di Pegunungan Kendeng bisa memicu resiko bencana ekologis banjir dan kekeringan bagi kawasan tersebut. Saat ini, terdapat 79 mata air di wilayah Sukolilo Pati dengan debit air yang relatif konstan. Mata air tersebut menjadi sumber air bagi sekitar 8000 kepala keluarga dan lebih dari 4000 hektar sawah di Sukolilo (www.mongabay.co.id).

“Gunung yang terbentuk ribuan tahun, dikepras (diruntuhkan-red) hanya dalam sehari saja,” ujar Gunarti saat tim Majalah Kombinasi menemuinya, (9/4).

Gunarti tak pernah membayangkan perjuangannya dan teman-temannya akan sampai sejauh ini. Sebelum rencana pendirian pabrik semen itu menggema, wanita desa yang tak pernah mengenyam pendidikan formal ini hanya bersuara di dalam masyarakatnya saja.

“Kalau dulu masalahnya banjir karena sungai diberi jlarang (pagar dari bambu untuk membendung sungai-red) sama pencari ikan,” kenang Gunarti. Ia melanjutkan, “Kalau sekarang, banjirnya terjadi karena (Pegunungan) Kendeng digunduli untuk ditambang.”

Rencana penambangan tak hanya mengancam kelestarian tanah dan air Pegunungan Kendeng saja, namun juga merusak tata sosial masyarakatnya. Iming-iming akan adanya lapangan pekerjaan membuat sebagian warga mendukung berdirinya pabrik semen, sementara sebagian warga lainnya menolak mentah-mentah rencana penambangan tersebut. Pro dan kontra yang muncul ternyata berujung sangat runcing dalam keseharian warga.

“Sekarang kalau ada warga yang sakit yang menjenguk sedikit, bahkan ada yang tidak dijenguk. Demikian juga kalau ada yang hajatan. Sangat berbeda dengan dulu,” ungkap Gunarti.

Sosok Gunarti sedikit banyak mencerminkan semangat Kartini ratusan tahun lalu. Meresapi semangat kekartinian masa kini tak sebatas berkonde dan berkebaya saja, namun juga aksi nyata memperjuangkan tanah air Pegunungan Kendeng, tempat hidup dan menghidupi keluarga mereka.   Membayangkan lumbung padi di desanya akan berubah menjadi kubangan lumpur jika pabrik semen itu berdiri, Gunarti pun membacakan sebuah puisi berbahasa Jawa.

“Yen bumi pertiwi arep dideki pabrik-pabrik/Terus ditambang rino wengi/Dudu wong tani tok sing bakalan cutesnanging banyu, wit-witan, lan ugo kewan-kewan ugo bakalan cutes,  cures, tumpes, ludes/Nganti kapan panguoso ngrusak alam?/Mbesok kapan panguoso eling alam?/Ojo nunggu ibu pertiwi murka”

(Kalau bumi pertiwi akan didirikan pabrik-pabrik/Lalu ditambang siang malam/Bukan petani saja yang akan habis, namun air, pepohonan, dan juga hewan-hewan juga akan habis, binasa,  dan musnah/Sampai kapan penguasa merusak alam?/Kapankah penguasa mengingat alam?/Jangan menunggu ibu pertiwi murka)

Bagi para kartini Pegunungan Kendeng ini, sejahtera bukan diukur dari banyaknya perusahaan yang berdiri di wilayah mereka. Sejahtera adalah saat mereka bisa hidup dari alam sekaligus menjaganya tetap lestari. Sejahtera adalah saat bisa merasa tenteram hidup bermasyarakat tanpa ancaman dan ketenteraman itu muncul ketika mereka tidak terancam oleh rencana penambangan itu.

“Masih banyak tantangan yang harus kita hadapi untuk menjaga bumi kita agar tetap bisa dinikmati oleh anak cucu kita nanti,” pungkas Gunarti sebelum melanjutkan perjalanannya kembali ke desa tercintanya, Desa Sukolilo di kaki Pegunungan Kendeng yang menawan sekaligus tertawan.

Oleh : Apriliana Susanti (Pegiat Combine Resource Institution)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud