Gugatan Ditolak, Akankah “Kendi Abadi” Tetap Mengalir? : Penambangan Karst Ancam Ratusan Mata Air

Teriknya matahari tak menyurutkan semangat ratusan warga Pegunungan Kendeng, Rembang untuk bertahan di halaman  gedung Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Semarang, (16/4). Pun halnya dengan hujan yang sempat mengguyur sekitar seperempat jam tak membuat mereka goyah untuk meninggalkan tempat itu. Sementara di dalam ruang sidang, membludaknya peserta sidang membuat beberapa ibu berkebaya mesti duduk di lantai. Tujuan mereka satu: mengawal sidang putusan  atas gugatan   izin pertambangan semen oleh PT. Semen Indonesia atau yang dulu dikenal dengan PT. Semen Gresik.

Sama-sama mengawal jalannya sidang, ratusan warga itu nyatanya terbagi menjadi dua kubu yang bertentangan. Mudah saja mengenali kedua kubu itu. Mereka yang mengenakan atribut payung merah putih dan ikat kepala bertuliskan “Semen Gresik” merupakan kubu yang mendukung pembangunan pabrik semen.

Sementara warga yang kontra terhadap pembangunan pabrik semen terlihat dari caping yang biasa mereka kenakan saat bertani di sawah. Mereka khawatir, penambangan karst sebagai bahan baku semen di Gunung Watuputih, Pegunungan Kendeng akan mengancam keberadaan ratusan mata air yang menjadi sumber penghidupan warga, terutama petani. Mata air itulah yang selama ini menghidupi warga dari generasi ke generasi sehingga mereka menyebut pegunungan Kendeng sebagai “Kendi  Abadi” (kendi: tempat air minum dari tanah liat, Jawa-red), karena perut pegunungan itu selalu memancarkan air untuk hidup mereka.

“Thok…thok..!” Ketokan palu hakim pun bertalu, mengiringi langkah gontai warga bercaping yang mayoritas petani itu. Beberapa wanita berkebaya dan berselendang bahkan meneteskan air mata saat bergabung dengan warga di halaman gedung PTUN. Keputusan hakim telah dikeluarkan, menyebutkan  bahwa gugatan warga tidak dapat diterima dan pembangunan pabrik semen dapat terus berjalan.

Sidang gugatan tersebut sejatinya sudah berjalan sejak November 2014 hingga April 2015. Sidang ini berawal dari gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama enam warga Rembang yang menggugat Surat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen oleh PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2012. Tidak tanggung-tanggung, tergugat dalam kasus ini adalah Gubernur Jawa Tengah. Dalam sidang putusan tersebut, hakim menolak gugatan warga dan WALHI karena telah kadaluarsa.

“Mengadili, dalam penundaan, menolak permohonan penundaan pelaksanaan surat keputusan objek sengketa. Dalam eksepsi, menerima eksepsi tergugat dan tergugat II intervensi tentang tenggang waktu. Dalam pokok sengketa menyatakan gugatan para penggugat tidak diterima,” kata Susilowati Sihaan, Ketua Majelis Hakim PTUN Semarang saat membacakan hasil putusan.

Menurut hakim, penggugat setidaknya sudah mengetahui perihal pembangunan pabrik pada penjelasan Wakil Bupati Rembang pada 22 Juni 2013 tentang telah terpenuhinya seluruh izin. Selain itu, pihak tergugat mengklaim mereka sudah melakukan sosialisasi ke warga dengan menempel di kantor kecamatan dan mengumumkan sosialisasi melalui website Badan Lingkungan Hidup. Karena itu, hakim menilai gugatan yang didaftarkan oleh penggugat tertanggal 1 September 2014 berdasarkan hitungan kasuistis sudah melebihi batas waktu 90 hari atau sudah kedaluarsa. Hakim pun mengenakan biaya perkara sebesar Rp 313.500 kepada para penggugat.

Siti Rakhma Mary Herwati selaku kuasa hukum warga yang menolak pabrik semen awalnya berharap majelis hakim memeriksa pokok perkara sampai akhir. Hal tersebut agar memperjelas substansi dari gugatan yang diajukan bahwa izin lingkungan itu melanggar hukum dan melanggar asas-asas umum pemerintahan. Namun, ternyata majelis hakim hanya memeriksa eksepsi dari pihak tergugat dan tergugat intervensi mengenai jangka waktu 90 hari sehingga dianggap kadaluarsa.

“Kami akan banding dengan putusan ini,” tegas Siti Rakhma Mary Herwati menanggapi putusan sidang tersebut.

Senada dengan Siti, Yudianto Simanjuntak yang juga menjadi kuasa hukum penggunggat  mengungkapkan, majelis hakim tidak melihat pokok persoalan sehingga mengabaikan fakta-fakta hukum.

“Ada satu hal yang tidak bisa kita harapkan dari proses persidangan ini karena majelis hakim tidak melihat persoalan yang sangat penting karena majelis tidak melihat pokok persoalan dan mengabaikan fakta-fakta hukum,” ungkap Yudianto Simanjuntak.

Petani Rembang yang menolak pembangunan pabrik semen merasakan kekecewaan yang mendalam atas putusan sidang itu. Meski demikian, kekalahan pada putusan sidang kali ini bukanlah akhir dari segalanya. Harapan masih membuncah di sanubari mereka. Penolakan pembangunan pabrik semen akan terus mereka perjuangkan, karena mereka yakin kebenaran ada di tangan mereka, warga petani yang terdampak langsung penambangan karst.

“PTUN bukan jalan satu-satunya. Saya akan tetap maju dan terus berjuang. Kami harus menyelamatkan Ibu Bumi yang sudah minta tolong ini,” kata Sukinah, petani Rembang yang rumahnya terletak satu kilometer dari rencana penambangan.

Benarkah Sosialisasi Dilakukan?

Siti Rakhma Mary Herwati mengakui, warga memang baru belakangan mengetahui adanya SK Gubernur tentang izin penambangan itu. Hal itu karena sebelumnya mereka tidak pernah mendapatkan sosialisasi dari pemerintah. Di lain pihak, pemerintah mengklaim bahwa sosialisasi tentang akan adanya penambangan itu telah dilakukan. Klaim pemerintah itu dikuatkan dengan kesaksian dua saksi ahli dari pihak tergugat yang mengatakan bahwa izin lingkungan ditempel di kantor kecamatan.

Atas klaim itu, Siti Rakhma Mari Herwati menyanggah bahwa masyarakat tidak pernah melihat adanya  penempelan sosialisasi di kantor kecamatan tersebut.  “Hanya elit desa saja yang mengetahui penempelan itu,” sanggahnya.

Lagi-lagi, hakim mempertimbangkan bahwa izin lingkungan tersebut sudah dipublikasikan melalui website Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah. Dengan adanya publikasi online, masyarakat dianggap sudah tahu. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah masyarakat pernah membuka website tersebut?

Warga merasa, sosialisasi izin pertambangan belum dilakukan pemerintah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Empat, kata sosialisasi berarti harus dikenali, dipahami, dan dihayati oleh masyarakat. Masyarakat yang menolak pembangunan pabrik mayoritas adalah petani yang akrab dengan cangkul, arit dan caping yang jarang berkunjung ke kantor kecamatan. Jangankan mengakses website, sebagian besar dari mereka bahkan tidak mengenal apa itu website.

“Masyarakat baru mengetahui pabrik semen, ujug-ujug alat berat datang. Ketika dibawa ke persidangan teman-teman (warga penolak pabrik semen) selalu dikalahkan” kata Gunretno aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang melanjutkan aksinya bersama sekelompok mahasiswa  dari UIN Walisongo, Universitas Semarang dan Universitas Diponegoro ke  kantor Gubernur Jawa Tengah.

Menyelamatkan ‘Kendi Abadi’

Secara hukum, ada tiga regulasi yang menegaskan cekungan air tanah Watuputih adalah kawasan lindung geologi. Mulai dari Perda Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011, Perda Provinsi Jateng No.6 Tahun 2010 yang semuanya tetang Tata Ruang Wilayah, hingga Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 26 Tahun 2011. (Ming Ming Lukiarti, Kombinasi Ed.56/Juni/2014). Regulasi-regulasi tersebut sudah tercantum dalam pokok perkara gugatan warga Rembang dan WALHI yang diajukan ke PTUN Semarang. Sayangnya, bukan dijadikan bahan pertimbangan bahkan diperiksa pun tidak.

Selain regulasi, hasil survei lapangan Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang menemukan adanya 49 goa dan 109 sumber mata air alami di Pegunungan Kendeng. Sumber mata air inilah yang kemudian digunakan oleh warga di 14 kecamatan di Kabupaten Rembang untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari.

“Ancaman terhadap karst adalah ancaman petani terhadap hak petani untuk mendapatkan hak atas air untuk kehidupan sehari-hari dan pertanian,” kata Yudianto Simanjuntak ketika memberikan orasi di hadapan pendukung tolak semen.

Sementara itu, kuasa hukum tergugat intervensi dari PT Semen Indonesia, Sadly Hasibuan, menyampaikan putusan hakim terhadap kasus ini bukan tentang menang dan kalah. Namun, ia menyebut putusan ini merupakan kemenangan bersama masyarakat Kabupaten Rembang. Sebab, atas putusan PTUN Semarang ini, bukan berarti PT Semen Indonesia akan meninggalkan warga yang masih menolak.

Sadly mengatakan, justru nantinya semua pihak, termasuk yang saat ini kontra, tetap akan dirangkul dan digandeng untuk bersama-sama memajukan dan mewujudkan kesejahteraan warga Rembang. Sadly juga menegaskan, sangat menghargai langkah-langkah yang akan diupayakan para penggugat pascaputusan ini. ”Sebab, masih ada waktu 15 hari kepada penggugat untuk mengajukan banding,” katanya menegaskan.

Upaya terus dilakukan warga tolak semen bersama lembaga swadaya masyarakat dan mahasiswa. Bertahan di tenda perjuangan sebagai aksi penolakan sudah dilakoni warga Rembang selama 300 hari lebih sejak peletakan batu pertama pendirian pabrik semen pada 16 Juni 2014 lalu. Warga juga sudah melakukan aksi unjuk rasa di setiap sidang di PTUN Semarang, Kantor Bupati Rembang, Kantor Gubernur Jawa Tengah, bahkan sampai di Istana Presiden Jakarta. Dukungan solidaritas mengalir dari beberapa individu maupun kelompok dari Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Palembang, Malang dan daerah lain di Indonesia. Perjuangan-perjuangan tersebut tak lain untuk menjaga ‘Kendi Abadi’ agar terus mengalir.

Oleh: Maryani (Pegiat Combine Resource Institution)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud