Perempuan Terabaikan Saat Bencana

Perempuan di lokasi pengungsian

Saat bencana, baik kejadian alam maupun ulah manusia, posisi perempuan sering terabaikan. Dalam manajemen penanggulangan bencana, korban sering kali dianggap entitas serupa sehingga cara memperlakukannya pun sama.

Di sinilah kepekaan jender dalam distribusi bantuan menjadi penting, terlebih sebagian besar korban adalah perempuan, anak-anak, dan orang tua. Dalam bencana gempa bumi dan tanah longsor di Sumatra Barat misalnya, kebanyakan perempuan menjadi korban karena mereka tinggal di rumah dengan anak-anaknya. Ketika gempat terjadi, perempuan cenderung untuk menyelamatkan anaknya meskipun mereka tahu dirinya berada dalam bahaya.

Menurut Tanesia (2008), di Aceh dan Jogja, banyak perempuan yang meninggal sedang memeluk anaknya atau melindungi anaknya dari reruntuhan bangunan. Hal serupa terjadi di Sumatra Barat, gempa dan tanah longsor menyebabkan kematian perempuan dibanding laki-laki. Mereka tinggal di rumah dan menggendong anaknya sehingga tidak kuat berlari ke tempat yang lebih aman.

Saat pengungsian, perempuan–terutama yang sedang menyusui, menghadapi masalah serius. Tanpa makanan bergizi, produksi susu ibu untuk anak akan menurun dan mengakibatkan kurang gizi bagi bayinya. Pengungsi perempuan yang sedang hamil juga mengalami kekurangan gizi, dan kadang terjadi keguguran. Permasalahan juga muncul pada perempuan yang tengah pada masa menstruasi, mereka butuh pembalut wanita.

Sebagian besar perempuan di Sumatra Barat memegang prinsip adat dan pemeluk agama Islam yang taat. Saat di barak pengungsi dinding pembatas sangat sedikit sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan privasi saat ingin berganti pakaian dan menyusui. Perempuan juga tidak merasa nyaman di ruang terbuka bersama para pria.

Pemaparan di atas menunjukkan dampak bencana bagi wanita berbeda sehingga mereka juga membutuhkan bantuan yang berbeda pula. Selama tanggap darurat, bantuan yang diberikan ke korban sering hanya berupa mie instan, beras, dan banyak makanan kaleng. Barang-barang ini jelas penting tetapi tidaklah cukup. Donatur seharusnya tidak melupakan masalah pakaian dalam, baju wanita yang sesuai dengan budaya setempat (contoh, gaun panjang), makanan anak, pembalut wanita, dan kebutuhan-kebutuh wanita lainnya.

Sabar Rina, Direktur Radio Komunitas Padang Sago FM, Padang Pariaman

Unduh

Saat bencana, baik kejadian alam maupun ulah manusia, posisi perempuan sering terabaikan. Dalam manajemen penanggulangan bencana, korban sering kali dianggap entitas serupa sehingga cara memperlakukannya pun sama. Padahal dampak bencana bagi laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Di sinilah kepekaan jender dalam distribusi bantuan menjadi penting, terlebih sebagian besar korban adalah perempuan, anak-anak, dan orang tua.

Dalam bencana gempa bumi dan tanah longsor di Sumatra Barat misalnya, kebanyakan perempuan menjadi korban karena mereka tinggal di rumah dengan anak-anaknya. Ketika gempat terjadi, perempuan cenderung untuk menyelamatkan anaknya meskipun mereka tahu dirinya berada dalam bahaya. Menurut Tanesia (2008), di Aceh dan Jogja, banyak perempuan yang meninggal sedang memeluk anaknya atau melindungi anaknya dari reruntuhan bangunan.

Hal serupa terjadi di Sumatra Barat, gempa dan tanah longsor menyebabkan kematian perempuan dibanding laki-laki. Mereka tinggal di rumah dan menggendong anaknya sehingga tidak kuat berlari ke tempat yang lebih aman. Saat pengungsian, perempuan–terutama yang sedang menyusui, menghadapi masalah serius. Tanpa makanan bergizi, produksi susu ibu untuk anak akan menurun dan mengakibatkan kurang gizi bagi bayinya. Pengungsi perempuan yang sedang hamil juga mengalami kekurangan gizi, dan kadang terjadi keguguran. Permasalahan juga muncul pada perempuan yang tengah pada masa menstruasi, mereka butuh pembalut wanita.

Sebagian besar perempuan di Sumatra Barat memegang prinsip adat dan pemeluk agama Islam yang taat. Saat di barak pengungsi dinding pembatas sangat sedikit sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan privasi saat ingin berganti pakaian dan menyusui. Perempuan juga tidak merasa nyaman di ruang terbuka bersama para pria.

Pemaparan di atas menunjukkan dampak bencana bagi wanita berbeda sehingga mereka juga membutuhkan bantuan yang berbeda pula. Selama tanggap darurat, bantuan yang diberikan ke korban sering hanya berupa mie instan, beras, dan banyak makanan kaleng. Barang-barang ini jelas penting tetapi tidaklah cukup. Donatur seharusnya tidak melupakan masalah pakaian dalam, baju wanita yang sesuai dengan budaya setempat (contoh, gaun panjang), makanan anak, pembalut wanita, dan kebutuhan-kebutuh wanita lainnya.

Sabar Rina, Direktur Radio Komunitas Padang Sago FM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud