Peran Strategis Media Komunitas Membangun Desa Wisata

Oleh: Destha Titi Raharjana, S.Sos.M.Si*

Dukungan dan pelibatan masyarakat dalam sistem pariwisata sangatlah diperlukan. Sebagai bagian tak terpisahkan dari destinasi, masyarakat perlu diajak, didengar, serta dilibatkan, termasuk saat hendak merintis desa wisata.  Hadirnya program pemberdayaan masyarakat disektor pariwisata lewat desa-desa wisata harus menjadi bukti bila suara akar rumput serta pelibatan komunitas dalam menentukan bentuk pariwisatanya dapat dipertanggungjawabkan dan berkelanjutan.

Media komunitas wilayah perdesaan akan turut mendorong terjadinya transformasi. Lewat pariwisata dan media komunitas yang terbangun menjadikan warga desa bertransformasi menjadi subjek bagian tak terpisahkan dari elemen pembangunan wisata. Pengarusutamaan suara dan energi komunitas seyogyanya menjadi bahasa yang wajib disuarakan oleh segenap stakeholders. Pasca dihentikan hibah PNPM Mandiri Pariwisata bukan berarti desa wisata harus mati sosial. Bersama media komunitas, desa-desa wisata diharapkan mampu meraih peluang dan membuka akses baik secara internal ataupun eksternal untuk mendorong penguatan diera global ini.

Peran Rakyat dalam Membangun Wisata

Desa wisata merupakan satu bagian sosial dari pembangunan destinasi wisata yang lebih menekankan pada proses partisipasi warga setempat. Sebagai sebuah unsur “baru” yang dikenal masyarakat perdesaan, desa wisata sepatutnya dirancang dengan seksama dengan tidak mengabaikan dan mencerabut nilai-nilai sosial budaya setempat atau bahkan memberikan dampak negatif dalam kehidupan sosial masyarakat setempat.

Bila kita cermati, maraknya pengembangan wisata alternatif yang mengarah pada aktivitas rural tourism, dengan kentalnya nuansa dan lingkungan alam yang masih relatif asli serta budaya komunitasnya relatif lama sudah dijalankan. Di Indonesia desa-desa wisata ini tumbuh dengan mengandalkan atraksi alam dan budaya yang unik. Kawasan pedesaan kini menjadi bagian dari entitas bisnis kepariwisataan sehingga patut diperhitungkan sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan (Nasikun, 1997).

Disadari atau tidak bila tulang punggung dari aktivitas wisata di lingkungan pedesaan ditentukan oleh kualitas lingkungan desa itu sendiri (Raharjana, 2012). Ini artinya bahwa lingkungan pedesaan dengan segenap unsurnya merupakan sumberdaya dan berbagai aktivitas wisata yang dapat ditemukan keasliannya di desa setempat**. Sumberdaya yang terdapat di pedesaan dapat dikembangkan dalam model wisata alam yang diintegrasikan dengan aspek lainnya. Komponen sosiokultural pariwisata di pedesaan sangat bergantung pada kualitas lingkungan, tidak hanya lingkungan fisik semata namun juga lingkungan sosial budaya.

Model wisata ini lebih memberikan peran masyarakat dan melibatkan dalam proses pengembangannya, mulai dari gagasan, perencanaan, implementasi, pengelolaan, hingga pemanfaatan. Untuk itu perlu disiapkan sumber daya manusia yang matang agar proses partisipasi aktif berjalan dengan baik, sehingga peran masyarakat menjadi nyata (Hermantoro, 2013). Hakekat dari partisipasi masyarakat merupakan bentuk peningkatan daya tawar bagi masyarakat itu sendiri, sehingga posisinya menjadi seimbang dengan pemerintah ataupun investor. Hal ini juga berfungsi sebagai kekuatan untuk mengontrol kebijakan yang diambil pemerintah, sehingga terjadi sinergi antara sumber daya lokal, kekuatan politik pemerintah, dan sumber daya dari luar atau investor. Partisipasi dari masyarakat ini diharapkan dapat meminimalisir terjadinya proses marginalisasi bagi masyarakat lokal yang dalam hal ini Community Based Tourism (CBT) menjadi kerangka acuannya.

Pariwisata berbasis masyarakat membuka peluang untuk mengoptimalkan potensi sosial, budaya, hingga ekonomi  masyarakat untuk mengimbangi peran pelaku usaha sosial besar (jaringan korporasi multinasional). Fakta memperlihatkan profil demografi, sosial, ekonomi dan psikografi wisatawan terus berubah.

Keinginan mencari pengalaman yang menantang dan unik juga menjadi motif yang kuat untuk berwisata. Wisatawan cenderung menghindari produk yang seragam dan kemudian memilih produk unggul meskipun mahal. Pada umumnya mereka ini memilih jadi independent travel untuk mencari objek yang lebih orisinil dan mencoba dekat dengan kehidupan masyarakat setempat. Fokus perjalanan yang dirancang wisatawan model ini adalah mencari pengalaman wisata yang unik akibat dari motivasi yang sangat kental dengan hal-hal yang pribadi, seperti ekspresi diri, aktualisasi diri, pengayaan pengalaman, kontak lebih mendalam (Damanik, 2013). Walaupun cenderung berskala sosial dan menengah, peran komunitas perlu diletakkan dalam konteks kerjasama masyarakat secara global. Hubungan yang setara antara wisatawan (guest) dengan tuan rumah (host) dapat dikembangkan secara lebih mendalam agar muncul suatu relasi kemitraan yang berkelanjutan.

Media Komunitas di Desa Wisata

Kombinasi (62/Juni/2015), mengulas bagaimana upaya serius didukung dengan kerja keras yang dipersiapkan warga Barepan secara kolektif untuk menjadikan dusunnya bukan semata menjadi “objek penangkap”, sosial tempat singgah atau ampiran, namun menjadikan dusun ini sebagai “objek penahan”, sosial dusun yang mampu menjadikan pilihan utama bagi wisatawan guna meluangkan waktu live in tinggal bersama warga Barepan.

Hal ini tentunya tidak berlebihan karena dusun ini memiliki letak yang strategis dan ketersediaan sarana penunjang untuk menjadi daya tarik wisata sangatlah memadai. Atas dukungan Combine Resource Institution (CRI), dan FMYY Jepang, warga dusun ini berhasil mengembangkan radio komunitas berlabel MGM FM dengan dukungan penuh anak-anak muda yang tergabung dalam Amoeba (anak muda Barepan) serta perangkat dusun setempat. Mereka secara perlahan namun pasti mencoba untuk berbenah dan bergerak menata dan mengemas potensi dusun untuk bagian penting bagi keberadaan candi Borobudur. Menjadi warga Barepan sebagai pemain dan mendapatkan bagian dari kue pariwisata merupakan sebuah proses yang terus diupayakan dengan tidak meninggalkan lokalitas di dalamnya.

Media komunitas lahir sebagai perlawanan dari media mainstream yang secara umum lebih banyak dikuasai dan dikontrol oleh negara atau pemilik modal. Beragam bentuk media komunitas yang saat ini banyak dijumpai di kalangan akar rumput, mulai dari media cetak dan elektronik. Hadirnya media komunitas yang dirasakan sesuai dengan kebutuhan akar rumput dipandang sebagai jawaban bagi masyarakat ketika media pada umumnya dipandang kurang mampu memberikan informasi yang selaras dengan kehidupan dan kebutuhan warga. Lewat radio komunitas sebagai contoh seperti yang dikerjakan teman-teman di dusun Barepan, Wanurejo, Magelang diharapkan akan menjawab kebutuhan sekaligus kebuntuan mengenai informasi seputar perkembangan pariwisata khususnya di sekitar Candi Borobudur dan Indonesia pada umumnya. Sholeh UG, penggiat media komunitas menyatakan media komunitas berkewajiban untuk mampu membaca masyarakat. Membaca dalam arti memahami kebutuhan masyarakat, bukan sekedar menuruti keinginan (www.balairungpres.com).  Dengan demikian, radio komunitas sebagai salah satu bentuk media komunitas kehadiran dan keberadaannya sangat strategis.

Setidaknya tiga peran sosial yang dapat dimainkan, satu, mendorong gerakan sosial. Radio komunitas, seperti halnya yang tengah berproses yaitu MGM FM di Dusun Barepan secara nyata telah mampu hadir sebagai alat penggerak sosial kemasyarakatan, khususnya mendorong kaum muda setempat untuk mendapatkan penyaluran dan pemanfaatan waktu luang mereka secara positif. Lewat sarana ini juga dapat disuarakan informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan situasi kondisi yang benar-benar diperlukan masyarakat Barepan secara lebih khusus.  Peran kedua, radio komunitas sebagai alat atau sarana pemberdayaan. Urgensi sentral radio komunitas  yang dibentuk oleh komunitas sebagai jembatan penghubung antar segenap komponen masyarakat dengan segala sosial dan jenis kelamin.

Lewat radio komunitas, setidaknya media ini berfungsi untuk lebih memberdayakan sekaligus memberikan posisi tawar bagi para pendengar yang mayoritas warga setempat untuk mendapatkan informasi secara proposional. Informasi yang memang dibutuhkan warga dusun dan bisa menjadi ajang sosial asah, asih dan asuh. Lewat radio, sepatutnya pemberian informasi mengenai pariwisata terkait dengan dampak dan manfaatnya dapat secara kontinu diberitakan ataupun diwacanakan dalam setiap kesempatan. Banyak narasumber lokal sekitar Borobudur yang sudah banyak menyelami asam garam pariwisata setempat yang dapat dijadikan  mitra dialog agar warga Barepan dan sekitarnya dapat memahami apa yang sebenarnya berlangsung selama ini mengenai pariwisata di kampung halamannya.

Selanjutnya, peran ketiga, radio komunitas merupakan wujud atas keragaman kepemilikan serta konten media. Situasi ini berbeda dengan media penyiaran yang dikelola oleh swasta ataupun pemerintah. Keduanya, sebagai media arus besar telah memiliki patokan dan bahan berita tersendiri, yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan warga pendengar. Untuk itu dengan adanya radio komunitas hadir untuk memenuhi kebutuhan keberagaman konten siaran dan kepemilikan, seperti dituangkan dalam UU No.32/2002 tentang Penyiaran. Salah satu tantangan yang dihadapi untuk kelangsungan radio komunitas adalah aspek pendanaan karena UU Penyiaran tidak memberikan sosial bagi radio komunitas untuk mencari sumber dana dari iklan komersial.  Situasi seperti sepatutnya menjadi cambuk bagi warga dan pengelola radio komunitas secara kreatif dan berdedikasi tinggi untuk tetap bersedia menjadikan radio komunitas sebagai sarana media sosial untuk mendorong kemerdekaan dalam memperoleh hak informasi. Salah satunya, mungkinkah sebagian dari pendapatan desa yang diperoleh dari dana desa dapat dialokasikan untuk mendukung operasional radio komunitas ini?

Radio komunitas dan desa wisata memiliki spirit yang sama yakni pada aras pemberdayaan. Keduanya memberikan penekanan pada peran sentral masyarakat. Sehingga dengan demikian kebutuhan informasi yang sesuai dengan atmosfir dan karakter warga setempat dapat diakomodir oleh pengelola radio komunitas. Demikian halnya dalam pengembangan desa wisata, tentunya sangat memerlukan pelibatan warga.

Dapat dianalogikan bahwa berbeda mengurus hotel dengan mengelola desa wisata. Di desa wisata segala keputusan yang dihasilkan ditentukan dan ditetapkan atas nama kolektifitas, bukan person sementara bagi hotel segenap keputusan dikendalikan manajemen. Oleh sebab itu tak kalah penting di desa wisata diperlukan figur yang mampu mengelola, dipercaya dan amanah untuk menjalankan bisnis ini. Ditunjang dengan keberadaan media komunitas, sebagai contoh radio komunitas di Dusun Barepan ini tentunya peluang untuk terus menyuarakan dan memberikan informasi yang transparan seputar usaha wisata yang sudah berjalan selama ini dapat lebih digiatkan.

Berbagai jalinan kerja sama dapat digandeng, misalnya dengan ASITA (Association of The Indonesian Tours And Travel Agencies/ Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia -red), Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia-red) ataupun akademisi yang diminta talk show secara cuma-cuma untuk memberikan pencerahan bagi warga dusun. Event-event besar ataupun sosial yang ada di sekitar desa dapat pula diwartakan sebagai berita untuk mendatangkan wisatawan dari tempat lain. Sehingga radio komunitas dapat sebagai media pemasaran yang efektif dan efisien. Tidak banyak desa-desa wisata di Indonesia yang memiliki radio komunitas.  Keberadaan rakom MGM FM di Dusun Barepan mesti dioptimalkan agar mampu menjadi media promosi dan penjaga semangat kolektivitas warga.

*Penggiat wisata komunitas, peneliti di Pusat Studi Pariwisata UGM. [email protected]

** Kelengkapan sebuah desa untuk menjadi desa wisata diharapkan bila di desa tersebut wisatawan memperoleh, apa yang mereka lihat atau cari (something to see), apa yang dapat dikerjakan (something to do), apa yang wisatawan dapat beli (something to buy) dan apa yang dapat dirasakan (something to fell) oleh wisatawan. Keempat aspek inilah yang sekiranya harus mampu diolah guna menjadikan pengalaman total (total experiences) bagi wisatawan sehingga mereka akan loyal dan merekomendasikan desa kita untuk menjadi tempat wisata. Dan, perlu juga dipahami bisnis wisata dengan label desa wisata semestinya jangan dipandang sebagai business as usual, namun juga bagaimana bisnis desa wisata ini dapat diarahkan menjadi socioentreprenuer yang dapat memberikan peluang setara antar warga desa untuk maju bersama secara berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud