Penyelenggaraan Siaran Komunitas, Terganjal Birokrasi Perizinan

Oleh Tarlen Handayani*

“Tahun 2005, kami sudah mengajukan izin. Akan tetapi sampai sekarang, IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiarannya) belum juga turun,” demikian diungkapkan editor TV Rajawali Akhfiyan Qoyyum (TV Rajawali adalah sebuah TV komunitas di daerah Rajawali, Bandung, red).  Masalah perizinan TV komunitas itu ternyata menjadi persoalan yang mengemuka dan dihadapi banyak TV komunitas.  Birokrasi perizinan yang panjang dan rumit itu, mengacu pada UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 yang diatur dalam Pasal 33 dan 34, serta PP No 51 Tahun 2005. Dalam Pasal 33, ditegaskan bahwa sebelum menyelenggarakan kegiatannya, lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran.

Ganesha TV (GTV), televisi komunitas yang digagas oleh Unit Kegiatan Mahasiswa LFM dan Himpunan Mahasiswa Teknik Elektro ITB, mengalami nasib yang sama. “Kita sempat dibredel karena tidak punya izin,” jelas Advisor GTV Tomy Rusmansjah. “Waktu itu kejadian sekitar tahun 2002 dan UU Penyiarannya belum selesai disusun. Selain itu juga ada pengaruh dari aturan normalisasi kehidupan kampus dan pemilihan rektor, jadi kegiatan mahasiswa juga dibatasi,” terang Tomy.

Soal perizinan itu menjadi prosedur yang panjang dan rumit. Dari penjelasan yang berikan anggota KPID Jawa Barat Zen Faqih, ada beberapa tahapan pengajuan izin TV komunitas yang harus di lalui. Pertama, mengajukan permohonan dengan memenuhi persyaratan administrasi. Kedua, pihak KPID akan melakukan pengecekan syarat administrasi, apakah dokumen-dokumen tersebut sah. Ketiga, KPID melakukan verifikasi faktual dengan mencocokkan proposal permohonan tersebut dengan kenyataan yang ada di lapangan. Keempat, forum dengar pendapat yang melibatkan KPID dengan unsur masyarakat. Setelah itu, KPID akan mengeluarkan surat rekomendasi untuk dibawa ke forum rapat antara pemerintah dan KPI pusat untuk menentukan alokasi frekuensi. Setelah empat tahapan itu dilalui, maka televisi komunitas yang mengajukan izin tinggal menunggu IPP.

“Prosesnya sebentar kok, ya kurang lebih setahun lah…” kata Zen. “Untuk televisi atau radio komunitas yang belum berizin, KPID berkoordinasi dengan pihak pemerintah dalam hal ini balai monitoring untuk melakukan penertiban, beberapa di antaranya malah ada yang dibawa ke pengadilan,” ungkap Zen menegaskan.

Panjangnya rantai birokrasi perizinan  membuat televisi komunitas seperti GTV, lebih memilih menggunakan media online untuk siarannya. GTV yang memulai kegiatannya pada tanggal 31 Agustus 1999 itu, awalnya, dari mengerjakan proyek-proyek untuk TV on Cable dengan memberikan informasi kegiatan seputar kampus. “Tahun 2002, kita sudah mulai online di www.ganeshatv.itb.ac.id. Duluan kita daripada Liputan 6 streaming. Lagi pula, belum ada UU yang mengatur penyiaran lewat internet jadi kita lebih leluasa,” tutur Tomy lagi.

Sementara, Zen Faqih menganggap, belum diaturnya penyiaran lewat internet menjadi kelemahan UU Penyiaran. “Hal itu belum diatur, jadi memang menyulitkan untuk menggunakan instrumen hukum apa yang bisa mengatur itu.”

Berbeda dengan GTV, Rajawali TV tidak memilih beralih ke internet untuk menyiasati soal perizinan itu karena menilai akses internet masih terlalu mahal dan belum memadai. “Belum tentu semua warga mampu berlangganan internet karena harganya masih mahal. Lagi pula, koneksinya juga masih belum memadai untuk siaran televisi lewat internet,” jelas Akhfiyan Qoyyum, yang akrab dipanggil Ian.
Tomy mengakui bahwa peralihan medium ke internet itu membutuhkan penyesuaian, karena perbedaan karakter media penyiaran. “Budaya online di ITB sudah sangat tinggi dan dewasa, tapi tetap perlu transformasi bagaimana orang-orang menyikapi TV di sebuah komputer.” Karena itu, GTV sendiri, sejak tahun 2006, mulai memfokuskan program siarannya pada e-learning  untuk program kuliah jarak jauh. Program itu juga mendapat dukungan dari SOI (School of Internet Asia).

Meski IPP belum didapat, namun Rajawali TV telah mengudara antara 1-2 jam per harinya, sejak tahun 2004, di saluran VHF kanal 8. “Karena izin masih dalam proses, pihak KPID memperbolehkan kita siaran dengan surat rekomendasi sementara,” ujar Ian. Alumni Jurnalistik Unpad angkatan 2002 itu, menambahkan bahwa pada awalnya, Rajawali TV tidak dimaksudkan sebagai televisi dakwah. “Visi-misi kita, dari awal, ingin menjadikan Rajawali TV sebagai TV yang plural dan bisa mewakili keragaman warga, tapi justru saat mengajukan izin, pihak KPID meminta kita lebih spesifik dan saat dengar pendapat pun mengarahkan kita untuk menjadi media dakwah. Kita akhirnya ikuti, biar perizinannya lebih mudah. Awal siaran kita, programnya banyak program dakwah, tapi sekarang udah lebih beragam karena KPID tidak lagi terlalu mengawasi program siaran yang kita buat. Jadi kita kembali ke misi pluralisme yang dari awal ingin kita angkat,” paparnya.

Dalam kaitannya dengan program, KPI melalui KPID memiliki tugas untuk memantau dan mengawasi penyiaran komunitas. Hal itu, menurut Zen Faqih, sesuai dengan area tugas pengawasan yang meliputi: lembaga penyiaran swasta baik TV maupun radio, radio publik yaitu radio yang dibiayai oleh negara namun bukan milik pemerintah, TV dan radio komunitas, juga TV dan radio berlangganan. Untuk mengatur program penyiaran itu, KPI menerbitkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran tahun 2007. Anehnya, ketika awal Pedoman Perilaku Penyiaran itu diterbitkan, pihak industri media menggugatnya sampai ke Mahkamah Agung, dan justru dalam hal itu, MA memenangkan gugatan pihak industri, sehingga KPI merevisi Pedoman Perilaku Penyiaran.

Zen sendiri menilai secara isi atau konten, antara lembaga penyiaran komersial dan komunitas, tidak jauh berbeda. Karenanya, KPI tidak membuat aturan yang lebih teknis dan spesifik, namun lebih ke aturan umum dan normatif. Padahal jika dicermati lebih jauh, kebutuhan media komunitas di setiap daerah tentunya sangat organik dan spesifik, dan tidak dapat diseragamkan. Aturan yang dibuat semestinya bisa lebih leluasa dan fleksibel dalam mengakomodasi kebutuhan komunitas yang berbeda.

Sebagai pengelola, Ian merasakan keberadaan Rajawali TV setelah hampir tiga tahun, membuat warga jadi lebih mengenal satu sama lain. “Persoalan warga di daerah saya adalah bahwa mereka jarang berkomunikasi satu sama lain. Setelah ada Rajawali TV, mereka jadi punya media komunikasinya sendiri. Memang tidak mudah menumbuhkan hal itu, tapi lama-lama mereka sendiri yang merasakan televisi komunitas itu sebagai kebutuhan. Dan, manfaat terbesar yang kami rasakan dari keberadaan televisi komunitas itu masalah-masalah warga yang dikomunikasikan di TV itu bisa mendapat penyelesaian yang konkret, ” jelas Ian.

Keberadaan pemerintah yang diwakili oleh KPI dan KPID di daerah masih dirasakan belum berpihak kepada komunitas. MB Wicaksana, aktivis media, memandang persoalan terpenting dari media komunitas adalah perluasan akses. “Media komunitas itu muncul karena ada persoalan ketidakterwakilan sebagian masyarakat di media yang sudah ada. Ada pihak-pihak yang dikecualikan, sehingga sulit mendapatkan akses. Perizinan yang berbelit-belit adalah salah satu perjuangan komunitas untuk mendapatkan haknya memroduksi dan mendistribusikan informasinya sendiri. Namun perjuangan hak masyarakat  atau komunitas untuk memperoleh informasi, masih sangat panjang,” tandasnya.***

*Tarlen Handayani, penulis, sehari-hari bekerja untuk Tobucil & Klabs dan Bandung School of Communication Studies.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud