Mengaktifkan Jurnalisme Warga

Oleh: Ade Tanesia

Dalam beberapa tahun terakhir ini, dunia seni rupa kerap dirundung keluhan tentang tidak adanya lagi kritik seni. Boom pasar seni rupa yang telah membawa karya perupa ke pasar internasional tidak diikuti dengan parameter dan referensi kritik yang berbobot. Hal ini bisa jadi disebabkan adanya dualisme profesi dalam infrastruktur seni rupa itu sendiri. Sekarang penulis, dosen merangkap juga menjadi kurator. Tentunya kondisi ini menyebabkan terjadinya konflik kepentingan ketika mencoba melakukan kritik. Wartawan merupakan salah satu harapan untuk dapat menulis kritik seni. Namun, itu pun tidak semudah yang dibayangkan karena memang wilayah perannya berbeda.

Menanggapi situasi ini, mungkin membutuhkan waktu cukup lama untuk menunggu lahirnya penulis kritik seni yang berbobot. Masa kevakuman kritik seni ini bisa diisi dengan membuka akses kepada masyarakat luas untuk menuliskan pendapatnya mengenai sebuah produk seni. Kini, akses tersebut dimungkinkan dengan adanya teknologi internet yang telah memunculkan blog, Facebook, e-mail, dan lain-lain. Dalam konteks inilah siapa pun bisa memproduksi informasi sehingga lahir para ”jurnalis seni” dari kalangan masyarakat awam.

Internet merupakan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir yang juga rawan menimbulkan ketergantungan bagi penggunanya. Beberapa pihak skeptis dengan berbagai pernyataan bahwa teknologi ini mempunyai sifat yang egaliter karena hegemoni pemakaian bahasa Inggris saja sudah menunjukkan kesenjangan. Belum lagi kesenjangan akses antara negara maju dan negara berkembang. Apa pun kritik yang muncul, kita tidak bisa memungkiri bahwa sebagian warga dunia telah hidup bersama teknologi ini. Bahkan di dalam bidang seni, teknologi ini telah menciptakan genre seni sendiri. Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah apakah teknologi ini bisa dipakai untuk memecahkan persoalan yang terjadi di dalam dunia seni rupa di Indonesia?

Menurut saya, dunia seni rupa bisa memecahkan persoalan kemandekan, baik di bidang pencatatan maupun analisisnya, melalui potensi teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian berkembang. Beberapa kurator dan seniman memang sudah memiliki blog yang berisi tulisan-tulisan mengenai pemikiran seni. Di sana pun pengunjung bisa memberikan komentar terhadap pemikirannya. Salah satunya adalah blog http://contempartnow.wordpress.com/, http://diskusisenirupa.wordpress.com/. Blog yang terakhir ini cukup menarik karena pengunjung bisa menyampaikan opini pameran, memilih perupa yang disukai berikut alasannya. Kedua blog tersebut telah diakses ribuan kali, yang pertama mencapai angka 31, 341, dan yang terakhir 14.318. Angka ini tidak menunjukkan jumlah orang, tetapi frekuensi orang mengakses, termasuk pengelolanya. Milis-milis seni pun cukup banyak dan diminati oleh kelompoknya. Undangan-undangan peristiwa seni kini sangat efektif dikirimkan melalui e-mail, Facebook, milis, dan lain-lain.

Namun, teknologi ini bisa lebih dioptimalkan untuk mendorong masyarakat awam, khususnya pencinta seni rupa, untuk mengemukakan pendapatnya tentang sebuah karya, bertanya mengenai konsep karya seorang seniman, atau bahkan hal-hal yang lebih teknis, seperti bagaimana menyimpan karya yang terbuat dari kertas. Terutama dalam dunia seni rupa, yang komunitasnya rata-rata berasal dari kelas menengah ke atas, tentu tidak asing dengan teknologi internet dan memiliki kemudahan akses. Di dunia sastra, penikmatnya lebih optimal menggunakan teknologi ini untuk bertukar informasi. Bahkan mereka menciptakan karya-karya sastra yang kemudian didiskusikan lewat dunia maya maupun jumpa darat di kafe-kafe.

Berbeda dengan penikmat seni rupa yang kerap datang ke pameran, kadang enggan untuk mengemukakan pendapatnya. Ada rasa ”takut salah” atau menganggap bahwa berpendapat bukan bagian dari kapasitasnya. Banyak yang beranggapan bahwa seni rupa harus dianalisis dengan perangkat-perangkat teoretis tertentu yang tidak mereka ketahui. Hal ini menyebabkan wilayah seni rupa menjadi ruang yang ”mewah”, ”tak terjangkau”. Citra semacam ini telah membentuk genre seni ini menjadi begitu eksklusif, dan dikonsumsi kelas tertentu. Pada titik ini, seni hanya berfungsi sebagai klangenan kelompok tertentu. Aktivitasnya hanya dielus-elus untuk mempertunjukkan status sosial kelas tertentu. Kondisi ini perlu dibongkar agar seni tidak melulu berada dalam sebuah “sangkar”. Dan teknologi internet merupakan salah satu alat untuk mengubah sekat menjadi simpul yang bisa dimasuki oleh siapa pun.

Dalam dunia seni rupa, sebenarnya sudah ada website yang mempunyai kapasitas cukup besar untuk menampung segala data, teks, visual, hingga audio visual seperti Bentara Budaya melalui http://www.bentarabudaya.com/. Para penikmat seni mungkin bukanlah kaum fakir bandwith—sebutan untuk mereka yang mempunyai kapasitas bandwith sedikit sehingga sangat lambat dalam mengakses internet. Justru mereka berlimpah akses sehingga tidak mempunyai hambatan untuk saling berkomunikasi, bertukar informasi, atau saling memberikan pendapat tentang sebuah produksi kesenian.

Opini publik ini merupakan data yang sangat penting bagi para peneliti seni untuk bisa melakukan analisis mengenai konteks sosial dalam karya-karya seniman. Hasil analisis ini merupakan teks-teks yang sangat penting untuk memaparkan perkembangan seni rupa di Indonesia ke mancanegara. Meskipun teknologi internet masih dikuasai oleh dominasi bahasa Inggris, namun sebagian perputaran uang yang ada di dunia seni rupa sebenarnya bisa digunakan untuk menerjemahkan hasil riset seni rupa yang berbobot. Menurut saya, sejarah geliat seni rupa di Indonesia sangat menarik untuk dicermati dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Persoalannya adalah minimnya pencatatan dan kendala bahasa untuk menyebarluaskan ke lintas regional. Sangat disayangkan jika pencatatan justru dilakukan oleh negara tetangga yang tidak punya sejarah panjang seni. Koleksi karya-karya maestro Indonesia yang telah masuk dalam museum-museum di Singapura merupakan awal migrasinya sejarah seni rupa Indonesia. Oleh karena itu, pencatatan mutlak harus diperjuangkan oleh masyarakat seni rupa di negeri ini. Dan pencatatan tersebut bisa diserahkan ke publik, serta tidak hanya milik para kurator, penulis, atau siapa pun yang mempunyai kuasa atas interpretasi karya seni. Pada titik inilah, teknologi internet yang ada bisa menjadi media yang mendorong terjadinya demokratisasi dalam dunia seni rupa.

Ade Tanesia, Bekerja di COMBINE Resource Institution

Sumber:

http://cetak.kompas.com/read/2009/01/11/01230624/mengaktifkan.jurnalisme.warga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud