Format TV Komunitas yang Ideal

Oleh: Aryani *)

BELAKANGAN, perdebatan tentang TV komunitas kembali menghangat di jajaran wilayah opini. Asumsinya, TV komunitas merupakan media lemon socialism atau media yang menawarkan hal-hal yang seringkali ditelantarkan oleh broadcaster komersil. Kebanyakan broadcaster commercial, lebih menganakemaskan jenis program yang hanya sekadar menjual aspek komersialnya saja. Namun, kehadiran TV komunitas dan TV publik seakan (maunya) mampu menjawab keterbatasan yang dipunyai oleh broadcaster komersil.

Tawaran program ideal yang lantas akan dikenalkan oleh TV komunitas ataupun TV publik adalah jenis program dengan nilai-nilainya yang tidak mampu dipenuhi oleh stasiun TV komersial. Yakni jenis program yang mengandung nilai depth education dan depth information. Proyek idealis, memang, manakala menafsir kehadiran TV komunitas ataupun TV publik. Sehingga, apa yang menjadi mimpi TV komunitas dan TV publik adalah jenis stasiun TV, yang memang belum pernah dibayangkan sebelumnya untuk bisa hadir dalam konstelasi media penyiaran TV di tanah air.

Persoalan sepeti apakah TV publik dan TV komunitas yang ideal di Indonesia pada saat ini, memang sepenuhnya belum terjawab. Hanya saja, sampai saat ini kelahiran TV komunitas dan TV publik yang hadir dengan siarannya yang terbatas, sudah tentu masih menemui jalan buntu, dalam rangka menafsir bentuk siaran programnya yang paling ideal. Kelahiran banyak TV publik dan TV komunitas untuk fase sekarang ini memang tak lebih dari eforium untuk melakukan pemberontakan pada jenis siaran TV yang selama ini hanya dilakukan oleh stasiun TV pusat saja. Jika pusat mampu, kenapa daerah tidak mampu? Ini pertanyaan yang cukup mendasar dan menuntut jawaban yang serius.

Bagaimanapun, istilah TV komunitas dan TV publik, masih sebatas wacana dengan sedikit realitasnya yang riil. Dalam sebuah diskusi panjang antara pemerintah dan DPR beberapa waktu lalu, istilah penggunaan TV komunitas dan TV publik memang tengah diperjuangkan. Oleh pemerintah TV komunitas seakan ditafsir dalam maknanya sebagai sebuah bagian. Bukan mewujudkan sebuah kesatuan, ke-Indonesiaan secara utuh. Persoalan integrasi. Mungkin yang paling mengganggu penggunaan istilah publik dan komuitas.

Sedangkan pemerintah sampai saat ini masih menilai bahwa, publik yang dimaksudkan dalam pengaksesan siaran TV masih ditafsir sebagai sebuah fakta layaknya era Orba, dengan publik yang homogen. Sementara perkembangan yang fantastis saat ini, setiap wilayah ingin tampil dalam identitasnya, keunikan dan keberagamannya. Hanya dengan penyebutan komunitas dan publik saja, kebutuhan aktualisasi akan terpenuhi. Sebab, sekian lama, masyarakat dengan potensi budaya dan bargaining politik yang rendah tidak pernah terjabarkan wajahnya secara konkret dalam mimbar besar siaran TV.

Di tengah perdebatan panjang inilah nasib TV komunitas dan TV publik diperjuangkan. Output akhir seperti apa, belum jelas benar bentuknya. Yang jelas, pengaturan apakah TV komunitas ataupun TV publik layak untuk hidup, hanya orientasi politik pemilik kekuasaan saja yang bisa memprediksikan. Sebesar apapun kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat lantaran peran TV publik dan TV komunitas, mungkin belum terdeteksi sepenuhnya.

Sekadar ”Dendam”

Pengalaman di Amerika mengungkapkan fakta yang menarik. Di benua Paman Sam, saat ini, telah terdapat sebanyak 1.500 stasiun TV. Dari jumlah tersebut, mereupakan akumulasi dari stasiun TV komersiil dan TV publik. Sebanyak 360 stasiun di antaranya adalah stasiun TV komunitas dan stasiun TV publik. Dan sejak tahun 1990, lebih dari 100 juta penduduk rumahan (household), sudah mengakrabi stasiun TV publik dan TV komunitas.

Sungguh menarik, jika sebuah masyarakat sudah terbias dengan kehadiran stasiun TV komunitas ataupun TV publik. Untuk bisa membangun pemirsa setia dari siaran TV komunitas dan publik, sudah tentu membutuhkan proses. Namun, sekadar catatan penting, bahwa kemunculan TV komunitas dan TV publik adalah sebuah upaya untuk bisa menangkap peluang baru dan menghadirkan wacana baru dalam siaran TV. Memprediksikan proses yang tampaknya bisa panjang, tersirat sebuah optimisme.

Karena, ada begitu banyak keinginan dari beragam kalangan untuk bisa mempunyai stasiun TV sendiri. Minat besar dari kalangan pemerintah daerah, kaum agamawan, pengusaha daerah, kaum burh, tani, bahkan partai politik ataupun akademisi mempunyai minat yang tinggi untuk bisa mempunyai stasiun TV komunitas dan TV publik. Keinginan besar ini sangat beralasan. Alasan-alasan yang sangat rasional menjadi dasar keinginan untuk bisa mendirikan stasiun TV komunitas ataupun TV publik.

Keingian untuk mempunyai stasiun TV sendiri pada banyak wilayah dan komunitas, bisa didasarkan pada beberapa hal. Pertama, penyederhanaan manajemen pengelolaan TV. Selama ini, yang sering diopinikan adalah, mendirikan stasiun TV itu membutuhkan dana yang besar, tinggi dan tinggi pula risiko bisnisnya. Investasi yang sangat besar, jelas tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh mereka yang tidak berduit. Tetapi, semuanya terpatahkan dari pendirian TV komunitas di beberapa daerah yang sudah berjalan, ternyata dengan uang puluhan juga saj bisa berdiri stasiun TV yang sederhana. Contoh pengalaman di Banyuwangi (Escape TV), Pemalang (P-TV), Pematang Siantar TV dan yang lain.

Mematahkan mitos bahwa industri TV butuh modal besar sudah terjadi. Namun hitungannya, dengan modal yang sedikit, juga tidak mungkin bisa menjalankan mekanisme dan sistem yang canggih layaknya stasiun TV besar. Sejauh ada perbedaan orientasi, maka secara manajemen mendirikan stasiun TV publik ataupun komunitas bukanlah persoalan yang sulit. Terlebih, kemajuan teknologi pemancar dengan daya jangkau kian luas dan harganya yang relatif terjangkau, makin memuluskan lahirnya TV publik dan stasiun TV komunitas di banyak baru.

Hadirnya TV komunitas dan TV publik, sudah tentu melahirkan beragam bentuk efisiensi dan efektivitas pada segenap aspek. Secara modal, tercipta efisiensi karena dengan modal kecil, kelompok kecil masyarakat sudah bisa merasakannya. Atau, masyarakat akan lebih sering bisa mendapatkan kontribusi pengetahuan informasi yang justru menyimpan nilai kontekstualitasnya yang tinggi dari adanya stasiun TV yang dekat dengan diri mereka.

Kedua, ingin melakukan pembongkaran terhadap sentralisme media siaran TV yang sudah dibakkan oleh investasi besar di pusat. Upaya pembongkaran ini lebih bersifat struktural. Yakni, dengan hadirnya stasiun TV daerah, komunitas dan stasiun TV publik, akan terpatahkan banyak hal yang selama ini dirasa timpang. Yang terjadi adalah, selama ini pusat kekuasaan Jakarta tampaknya cukup angkuh untuk tidak memberi porsi wilayah pinggiran melakukan pembacaan, penafsiran teks. Entah itu teks sosial, politik, ekonomi atau yang lain. Pengopinian yang terjadi, semuanya ala Jakarta.

Upaya inilah yang sebenarnya tengah diperjuangkan secara serius dan intens. Sehingga, ketika muncul stasiun TV komunitas dan stasiun TV publik, yang lantas terjadi adalah upaya untuk bisa melepaskan diri dari bentuk hegemoni yang tercipta dari penciptaan opini ala pemerintah pusat, pakar dan ahli dari Jakarta, politisi Jakarta dan yang lain. Memang cukup melegakan, bisa lepas dari hiruk pikuk politisasi keadaan dan kondisi yang seolah-olah mengalami pembenaran.

Mencari format

Eforia besar kelahiran TV komunitas di banyak tempat sungguh membanggakan. Tetapi, di luar eforia tersebut, tampaknya masih terdapat kebingungan yang besar. Kebingungan untuk bisa mencari dan menemukan format yang paling ideal menyangkut TV komunitas.

Ada sinyalemen, bahwa sebagian besar TV komunitas yang sudah tumbuh di banyak tempat, menyisakan kebingungan. Artinya, mereka tidak tumbuh dalam sebuah semangat komunitas, berkarakter komunitas, yang benar-benar mewakili sebagian besar keinginan publik peminat dan pemirsanya. Misi untuk bisa hadir dalam bentuknya yang ideal, belum sepenuhnya ketemu. Bahkan, sekadar ingin melayani kepentingan yang melahirkan stasiun TV komunitas saja.

Jika fakta yang muncul seperti ini, maka bukan tidak mungkin jika, ada ketakutan tinggi manakala TV komunitas justru mengalami reduksi kualitas dari makna yang dikibarkan. Ketidakseriusan dalam memahami hakikat TV komunitas akan menjadikan TV komunitas sebagai alat politik, untuk skala politik daerah. Penggunaan TV komunitas sebagai alat politik, bukan tidak mungkin terjadi. Dalam konstelasi politik yang kritis, TV komunitas akan menjadi alat politik yang canggih.

Sementara, pengalaman di banyak negara maju, justru TV komunitas bisa menjadi medium yang efektif digunakan oleh komunitas kepentingan lain. Bukan satu kelompok kepentingan saja. Ini yang seharusnya dikaji lebih serius menyangkut kelangsungan dan eksistensi TV komunitas. Jangan sampai tesis McQuaill (2000:198) menjadi kenyataan, yakni: …the content of the media, always reflects the interest of those who finance them!”***

*) Penulis adalah seorang peneliti pada Institut Studi Arus Informasi Media (ISAIM) Yogyakarta

Sumber:

http://atvki.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=62:format-tv-komunitas-yang-ideal&catid=36:opini&Itemid=62

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud