Kepewartaan Warga

Irama gamelan mengalunkan gending-gending Jawa. Upacara Merti Dusun di Dusun Tutup Ngisor, Magelang resmi dimulai setelah ritual pembukaan yang dipimpin sesepuh dusun. Sang dalang segera memainkan wayang kulit di panggung yang dibuat secara khusus di dalam pendopo. Warga dusun, tua, muda, maupun anak-anak duduk bersila memenuhi ruang lesehan di depan panggung.

Dusun Tutup Ngisor terletak di lereng barat Gunung Merapi, masuk wilayah Desa Sumberan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Dusun ini dihuni oleh 60 keluarga yang memegang teguh tradisi dan adat istiadat. Tradisi dan adat makin terjaga dengan adanya Ada Padepokan Cipto Budoyo yang didirikan oleh Romo Yoso Sudarmo pada 1937.

Upacara Merti Dusun diadakan setiap tahun sebagai lambang perwujudan syukur warga kepada Sang Maha Pencipta. Kegiatan ini diawali dengan bersih dusun secara bergotong-royong dan dilanjutkan dengan bersih kubur. Hari berikutnya ada acara kenduri yang diikuti oleh seluruh kepala keluarga. Lalu, pada malam harinya digelar pentas wayang kulit.

Menurut Sitras Anjilin, Pimpinan Padepokan Cipto Budaya, Merti Dusun menjadi ajang saling sapa dan pertemuan warga dusun. Adat dan tradisi ini juga menjadi cara bertahan warga dari pengaruh buruk budaya asing yang gencar disosialisasikan oleh pelbagai media massa arus utama.

Demikian gambaran kegiatan Merti Dusun di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumberan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang yang diunggah Ikhwadunin Compas, pegiat radio komunitas Sutet FM yang berlokasi di Kecamatan Dukun, Magelang (9/6/2009). Tulisan berjudul Merti Dusun, Media Pelestari Budaya dan Tradisi, memberikan gambaran bagaimana warga mengelola informasi di daerahnya. Tulisan sepanjang empat paragraf itu merekam peristiwa di Dusun Tutup Ngisor secara apik dan jelas.

Pada hari yang sama, di Makasar, pegiat Jirak Celebes, menceritakan kegiatan kampanye penghentian pekerja usia anak-anak. Kampanye itu dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Tamangapa, Makasar, di mana banyak keluarga pemulung yang mengajak anak-anaknya mengais rezeki. Mereka meyakinkan para keluarga pemulung untuk menyekolahkan anaknya sehingga di masa mendatang bisa menjadi tenaga trampil. “Lewat pendidikanlah, keluarga pemulung dapat memutuskan mata rantai kemiskinan,” demikian rayuan mereka pada para pemulung.

Di Kabupaten Kuningan, Pedro, warga Desa Babakanmulya, Kecamatan Jalaksana, menulis kegiatan Kelompok Taruna Tani BAINA, mengelola usaha pembenihan dan pembesaran ikan. Jenis ikan yang dikelola di antaranya ikan nila, mas, gurame, dan lele. Persediaan ikan basah di Kuningan hanya 40 prosen dari kebutuhan konsumsi ikan warga. Sisanya, 60 prosen, masih bergantung pada suplai daerah lain. Menurut Pedro, kurangnya ketersediaan ikan disebabkan oleh sedikitnya persediaan benih ikan yang bermutu dalam jumlah cukup dan terus-menerus.

Pelbagai tulisan seperti di atas terus-menerus dikirimkan oleh para pewarta warga di 28 kota yang difasilitasi oleh CRI lewat Portal Suarakomunitas. Umumnya, mereka adalah warga desa yang bermukim di daerah pelosok. Ada pewarta yang tinggal di lereng-lereng gunung, ada yang bermukim di daerah lembah, dan ada juga pewarta yang tinggal di daerah-daerah kepulauan yang sulit dijangkau transportasi. Di Pulau Sumatra, pewarta warga tersebar di Nangroe Aceh Darussalam, Medan, Lampung, dan Bengkulu. Di Pulau Sulawesi, ada di Makasar dan Kendari. Di Kalimantan ada pewarta warga di Pontianak dan Banjar Baru. Di Nusatenggara, pewarta warga tersebar di Pulau Lombok. Sementara itu, di Pulau Jawa pewarta warga ada di Jogjakarta, Cilacap, Wonosobo, Sidoarjo, Lumajang, Malang, Pekalongan, Cirebon, dan lain-lainnya.

Kemunculan Pewarta Warga

Gairah untuk membuat, menggunakan, dan menyebarluaskan informasi merupakan perkembangan yang menggembirakan. Kegiatan pewarta warga dapat dimaknai sebagai bentuk desentralisasi informasi. Sebelumnya pengelolaan informasi terpusat di tangan media. Kini, pewarta warga mampu menjadi “anjing penjaga” saat media arus utama tidak berfungsi.

Dewi (2008) mengatakan kegiatan pewartaan warga memiliki dampak positif. Pertama, pewarta warga memberikan ruang bagi peran serta warga dalam pengelolaan informasi. Keterlibatan warga sebagai pewarta membuktikan adanya pergerakan yang dilakukan oleh para pelaku media dan pembacanya. Kedua, bagi media arus utama, pewartaan warga menyediakan potensi untuk meningkatkan loyalitas dan hubungan saling percaya dengan pembacanya. Pewartaan jenis ini, ungkapnya, mampu memberikan ruang bagi warga untuk menegakkan hak-hak informasi mereka.

Mengapa perkembangan pewarta warga bisa demikian pesat? Menurut Hermanto (2008) sebagian besar pewarta warga awalnya dari tindakan iseng, lama-kelamaan mereka sadar bahwa pengelolaan dan berbagi informasi sebagai sebuah pilihan. Apabila warga mampu berbagi informasi maka pengetahuan dan kemampuan mereka dalam menyelesaikan permasalahan akan meningkat. Selain itu, kegiatan ini mengubah cara pandang perwartaan yang sebelumnya yang hanya menempatkan warga sebagai objek pemberitaan. Lewat kegiatan pewartaan warga, warga tidak hanya menjadi objek atau konsumen media semata, tapi warga juga dapat menjadi produsen informasi.

Di Indonesia, pewartaan warga dipengaruhi oleh kegiatan radio siaran. Pada 1983, Radio Suara Surabaya (SS) memiliki program siaran informasi lalu-lintas. Lalu, program itu berkembang menjadi konsep interaktif. Konsep ini mengubah cara kerja radio, apabila sebelumnya komunikasi yang bersifat satu arah, yaitu radio ke pendengar, konsep interaktif memberikan kesempatan pada pendengar untuk aktif memberikan informasi dan menyampaikan pendapatnya. Konsep interaktif menciptakan hubungan dua arah, yaitu antara pendengar dengan penyiar dan pendengar dengan pendengar. Siapapun pendengar bisa memberi tanggapan atau komentar dari pernyataan narasumber maupun pendengar lainnya. Itulah yang disebut dengan demokrasi dalam siaran radio (Suparyo, 2008).

Hal serupa dipopulerkan oleh Radio Elshinta, Jakarta, melalui program laporan pendengar. Pendengar bisa menyampaikan informasi melalui telepon ke radio layaknya seorang pewarta. Program ini mendapat respon bagus para pendengarnya. Sembari menunggu kemacetan lalu-lintas, warga saling bertukar informasi mengenai situasi lalu-lintas di sekitarnya. Dari situlah ragam berita mulai berkembang luas, dari pewartaan peristiwa yang bersifat lokal hingga peristiwa-peristiwa nasional.
Kemajuan teknologi informasi dewasa ini juga memengaruhi minat warga pada kegiatan peliputan atau pewartaan. Kapan pun dan di mana pun, semua orang dapat merekam dan mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Lewat kamera dijital, kamera tangan (handycam), atau perekam suara, informasi dapat direkam dan dibagikan pada warga lainnya.

Kelahiran radio komunitas di pelbagai pelosok daerah semakin menguatkan posisi pewartaan warga. Ketika pengguna internet makin meluas ,warga yang mempunyai akses makin menemukan saluran untuk menyampaikan pendapatnya. Tak heran jika lantas bermunculkan blog atau web yang menerapkan model pewartaan warga, seperti suarakomunitas, siar, forumwarga, pasarkomunitas, dan lain-lain.

Bagaimana dampak pengelolaan informasi yang secara langsung didapatkan oleh warga? Hermanto (2008) menggambarkan dampak kegiatan perwartaan warga sebagai berikut:

Sukiman, pegiat Radio Komunitas Lintas Merapi tampak sumringah. Ia baru saja menerima surat elektronik dari sejumlah warga negara Indonesia yang tinggal di Jepang yang menyatakan kesediaannya ikut menggelontorkan dana untuk kegiatan penanaman pohon di desanya, Sidorejo, yang habis terlibas awan panas dan lahar saat kawah Gunung Merapi aktif pada pertengahan 2006.

Awalnya ia iseng mengunggah tulisan tentang rencana kegiatan penanaman pohon sebagai upaya penyelamatan sumber air di lereng Gunung Merapi dalam portal Jalin Merapi Ia tak menyangka tulisannya ditanggapi oleh pembaca. Ada yang menyumbang bibit, uang, maupun tenaga. Idenya pun cukup ‘nakal’, setiap keluarga di sepanjang jalan yang ditanami pohon berkewajiban untuk merawat pohon itu.

Hal serupa dialami oleh Muhdi, pegiat radio komunitas Jaringan Tani Mandiri (JTM Fm) di Andong, Boyolali. Pria lulusan sekolah lanjutan pertama ini menyebarluaskan hasil wawancara dengan kepala desanya tentang kondisi jalan yang rusak. Imbasnya warga sadar bahwa mereka berhak untuk meminta pelayanan fasilitas umum yang layak pada pemerintah daerah. Sekarang kondisi jalan raya Andong telah beraspal mulus dan nyaman dilalui.

Suatu waktu, informasi dari warga dapat lebih andal dibanding pewarta media arus utama. Pewarta warga tidak direpotkan dengan alat-alat yang beresiko dan harus berhati-hati saat dibawa ke lapangan. Pewarta warga bisa secara spontan merekam peristiwa-peristiwa yang terjadi saat mereka berada di tempat kejadian. Sementara itu, pewarta media arus utama biasanya mendapatkan gambar setelah mendapatkan informasi.

Mimpi Atas Pewartaan yang Berpihak pada Warga

Meski awalnya pewartaan warga dimulai dari keisengan, pewartaan warga merupakan geliat baru dalam dunia kepewartaan. Di tengah kegersangan pewartaan media massa arus utama, pewartaan warga muncul sebagai pilihan baru. Warga menangkap peristiwa yang ada di daerahnya lalu menuliskannya tanpa perlu risau dengan tekanan kepentingan ekonomi, kekuasaan, maupun tiras.

Ada kalangan yang khawatir hasil pewartaan warga tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena pewarta warga umumnya tidak memiliki bekal pengetahuan kepewartaan yang baik, layaknya pewarta pada media arus utama. Hal tersebut dibantah oleh Hermanto (2008), ia  berpendapat secara teknis bisa jadi kemasan pewartaan warga tidak sebagus para pewarta pada media massa arus utama. Namun, isinya mampu menangkap kenyataan yang sesungguhnya. Perhatikan contoh tulisan pewarta warga berikut ini:

“Juli tahun lalu, Radisem meninggalkan tanah air dengan perasaan bangga. Ia akan menjadi TKW di Malaysia yang nantinya bisa membawa pulang Ringgit dalam jumlah banyak. Bukan ringgit yang didulang, justru nasib buruk yang diterima. Beberapa hari yang lalu Radisem pulang dalam kondisi mengenaskan.”

Berita di atas ditulis oleh pewarta warga yang kebetulan tetangga korban. Saat media arus utama tidak memuat peristiwa ini, pewarta warga mampu menuliskannya. Kutipan berita di atas menunjukkan keperpihakan pewartanya pada peristiwa tragis yang dialami warga. Peristiwa seperti ini terjadi di pelbagai daerah namun tidak tersebarluaskan oleh media massa arus utama.

Kisah menarik lainnya diwartakan Nurhadi, pewarta warga di Indramayu. Awalnya, warga gembira dengan berlakunya Peraturan Daerah (Perda) Pendidikan yang menjamin pendidikan warganya terpenuhi. Pemerintah Kabupaten Indramayu mewajibkan warga untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Siapapun yang melanggar aturan ini akan dikenakan sanksi kurungan penjara 5 tahun atau denda 50 juta rupiah (Suarakomunitas, 17/11/2008). Perhatikan paragraf berikut ini:

Secara spontan warga Indramayu berbondong-bondong menyekolahkan anaknya. Namun, di tengah jalan warga merasa terjebak. Mereka dihantui tagihan biaya sekolah yang semakin mahal. Sementara itu, jaminan akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu tidak bisa ditepati pemerintah, anak-anak miskin tidak terbebas dari biaya sekolah.

Ibe, pewarta dari Kowane, Sulawesi Tenggara, menuliskan nasib para siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Satu Atap Saponda, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, yang kekurangan guru.

Siswa kelas 1-3 sekolah ini tidak belajar matematika karena gurunya pergi mendulang emas. Selama ini kegiatan belajar mengajar difasilitasi oleh 5 guru yang semuanya berstatus honorer. Hingga hari ini belum ada upaya serius yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Konawe untuk menambah tenaga pengajar sekolah ini. Pemerintah Kabupaten Konawe seharusnya mau menambah tenaga pengajar dan mengubah status honorer menjadi pegawai negeri bagi para pengajar di sekolahnya.

Pewartaan warga mampu menggeser dunia pewartaan menuju segi atau cara pandang ala warga. Hal itu sesuai dengan salah satu tugas yang diemban dunia kepewartaan, yaitu memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. “Memantau kekuasaan penting dilakukan agar demokrasi berjalan tegak,” kata Sutawijaya, pegiat Suarakomunitas.

Pengarusutamaan Pengetahuan Lokal

Ada kecenderungan yang muncul dari derasnya pewartaan media massa arus utama, yaitu pembaca cenderung kaya informasi yang bersifat global tapi miskin akan informasi lokal. Mereka mampu menyebutkan nama sungai terbesar di dunia dibanding nama sungai di desanya. Lalu, lahirlah generasi yang tercerabut dari pengetahuan lingkungannya.

Pelbagai simulasi yang dilakukan pada pelatihan pewartaan warga yang diselenggarakan oleh CRI menunjukkan sebagian orang sudah mulai acuh dengan lingkungannya. Bayangkan, nama sungai yang sering mereka jumpai terlupakan, sebaliknya nama sungai di negeri orang sangat hafal. Salah satu manfaat pewartaan warga adalah mengajak pembaca menengok kembali pengetahuan-pengetahuan yang dekat dengan lingkungannya. Hal itu terbukti dengan banyaknya khasanah lokal yang muncul dalam materi yang disampaikan pewarta warga.

Widarto menulis makanan tradisional desanya, Gholak, yang sudah sulit dicari (Suarakomunitas, 5/5/2009). Di desanya, Serut, Kecamatan Kuwarasan, Kabupaten Kebumen hanya tersisa satu penjual gholak. Makanan yang berbentuk angka delapan dengan panjang 12-15 cm dan diameter 4-6 cm ini terbuat dari tepung krekel. Tepung krekel adalah sebutan untuk tepung singkong yang telah dijemur. Tepung krekel dicampur dengan parutan kelapa, dibentuk angka delapan, lalu digoreng.

“Gholak cocok dimakan dengan gethuk dan secangkir teh atau kopi panas. Rasanya yang gurih membuat lidah terus bergoyang. Apalagi ditemani dengan alunan macapat di pagi hari,” tulis Widarto.

Mia adalah pewarta warga Desa Kertosari yang sering mengunggah kegiatan adat di desanya. Desa Kertosari yang terletak di lereng Gunung Semeru, masuk wilayah Kecamatan Pasrujambe, Lumajang, tidak pernah melepaskan adat istiadat nenek moyangnya. Keseharian mereka diwarnai beragam ritual adat yang diwariskan secara turun-menurun. Setiap malam Jumat Legi warga membuat sandingan (tatanan hidangan makanan dan minuman) untuk menjamu arwah nenek moyang. Mereka meyakini para arwah selalu pulang untuk mengunjungi anak turunnya (12/2/2009). Simak petikan tulisan berikut ini:

Ritual Sedekah Desa ini di awali dengan kenduri oleh seluruh warga di perempatan jalan desa. Esok harinya diadakan ruwatan sehari penuh dan ditutup dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Seluruh warga membuat kue untuk memeriahkan acara itu. Lalu, kue dikumpulkan di ketua Rukun Tetangga (RT)-nya masing-masing. Kue-kue yang terkumpul itu di arak ke balai desa dengan menggunakan amben atau dipan tempat tidur dan dikumpulkan jadi satu di balai desa. Saat Sedekah Desa segala aktivitas warga sehari-hari dihentikan. Sekedah desa menjadi hari libur bagi warga Desa Kertosari.

Warta menarik disampaikan oleh pewarta warga Lombok. Ia menulis perayaan Maulid Adat Wetu Telu yang dilakukan oleh Warga Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Perayaan maulid adat ini dilaksanakan pada Mei minggu kedua, bertepatan dengan tanggal 15 Rabi’ul Awal 1430 Hijriyah. Acaranya disemarakkan dengan permainan Perisaian (temetian dalam bahasa Bayan) yang berlangsung di masjid kuno, seperti di halaman masjid kuno Dusun Barung Birak, Desa Sambik Elen; masjid kuno Desa Bayan; masjid kuno Dusun Semokan Desa Sukadana dan Desa Anyar.

Permainan tradisional Suku Sasak ini dilakukan oleh dua petarung yang menggunakan rotan sebagai pemukul lawan serta perisai (ende) yang terbuat dari kulit kerbau. Sementara itu, pekembar berfungsi sebagai wasit sekaligus pendukung bagi petarung. Acara perisaian berlangsung semalam suntuk dalam suasana temaram sinar bulan purnama. Suasana menjadi semakin hidup oleh irama gamelan yang ditabuh bertalu-talu. Beberapa wanita membimbing bocah kecil dan gadis remaja memukul dua buah gong musik tradisional, lalu melamparkan ayam baker dan sejumlah uang ke arah sekaha (penabuh).

Kisah menarik datang dari Jogjakarta, pewarta warga menulis perhelatan demokratisasi ala kampung. Di RT 05/10 Warak, Sumberadi, Mlati, Sleman pemilihan Ketua Rukun Tetangga (RT) secara langsung. Masa jabatan seorang Ketua RT selama tiga tahun. Dengan masa jabatan yang tidak terlalu lama, warga lebih bisa merasakan kinerja Ketua RT. Apabila kinerja ketua RT kurang memuaskan, warga tidak menunggu jangka waktu yang lama untuk menggantinya. Pemilihan Ketua RT dengan sistem ini baru dijalankan untuk masa jabatan 2005-2008. Seluruh warga juga diperbolehkan menggunakan hak pilihnya. Sebelumnya pemilihan Ketua RT hanya diikuti oleh kepala keluarga yang mengikuti rapat RT setiap bulannya. Inisiatif warga Dusun Warak tersebut menginspirasi warga di daerah lainnya untuk melakukan hal serupa.

Menurut Wijoyono (2009) kepewartaan warga merupakan alat untuk menggali segala potensi yang ada di sekeliling warga. Kepewartaan warga melatih orang untuk perhatian pada pengembangan pengetahuan lokal. Semua media tersebut dapat digunakan untuk menyebarluaskan informasi yang dikumpulkan oleh warga. Intinya pengelolaan informasi bisa dilakukan secara mandiri oleh warga.

Pelihara Politik Ingatan

Pelbagai kegiatan cepat terlupakan sehingga kehidupan warga seperti keledai–sering terjatuh dalam lubang yang sama. Pewartaan warga menjadi metode mendokumentasikan peristiwa yang ada di masyarakat. Ia menjadi penjaga ingatan warga sehingga menimbulkan daya kritis pada peristiwa-peristiwa yang memiliki kecenderungan yang sama. Inilah politik memelihara ingatan dan melawan lupa.

Dalam portal Suarakomunitas, pewarta warga korban lumpur PT Lapindo di Sidoarjo yang tergabung dalam Radio Komunitas Suara Porong (RSP) memiliki cara unik untuk menjaga ingatan warga atas tragedi bencana lumpur yang menimpa warga Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jambon. Mereka membuat singkatan nama program siaran dengan istilah yang terkait dengan biang kerok bencana, yakni Lapindo. Seperti terpampang di jadwal siaran, ada program yang diberi nama Lapindo yang artinya Lagu Pop Indonesia. Program ini berisi siaran musik pop terkini diselingi dengan pembacaan pesan dari pendengar lewat layanan pesan pendek (short messeage service atau sms). Lapindo disiarkan pukul 08.00-10.00 dari Senin sampai Jumat.

Tina, pewarta warga Gentasari menuliskan nasib desanya dengan nada yang satir. Desa Gentasari dikenal dengan desa jamu. Ratusan warga menggantungkan hidupnya dari meramu bahan alami untuk dijadikan jamu. Tradisi ini telah berlangsung bertahun-tahun. Rahasia ramuannya diturunkan dari generasi ke generasi. Reputasi jamu asal Desa Gentasari hancur oleh ulah beberapa orang yang berlaku lancung. Mereka menggunakan aneka obat kimia agar jamu buatannya bisa bereaksi cepat pada pemakainya. Umumnya, peramu obat kimia menggunakan obat penghilang pusing, memacu nafsu makan, dan obat tidur. Cara ini terbukti menghancurkan tradisi meramu jamu tradisional yang telah berlangsung ratusan tahun. Ibaratnya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Kini, tradisi dan pondasi usaha jamu tradisional warga Desa Gentasari hancur oleh segelintir orang yang ingin mengeruk kekayaan secara cepat (Suarakomunitas, 28/11/1008).

Menurut Isnu Suntoro (2009), ahli teknologi informasi CRI, genap sebelas bulan sejak diluncurkan pada Juli 2008, portal Suarakomunitas telah mendokumentasikan 1.029 tulisan pewarta warga dengan 2.012 buah komentar. Sementara itu, Siar telah merekam 1.663 buah tulisan warga dan Jalin Merapi telah mendokumentasikan 832 buah hasil karya pewarta warga. Dari statistik tersebut, tak berlebihan apabila pewartaan warga mampu menjadi alat memelihara ingatan warga. Warga bisa melakukan temu kembali informasi sehingga pelbagai kejadian masa lalu bisa diingat kembali secara mudah.

Objektivitas Kepewartaan Warga

Apakah warga yang tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan pewartaan bisa menulis berita secara berimbang? Pertanyaan seperti ini muncul akibat dari kekaprahan kerja pewartaan arus utama yang menonjolkan sisi kepewartaan sebagai dunia yang rumit, sehingga tanpa keahlian yang khusus, mustahil kerja itu dapat dilakukan. Padahal hakikatnya, setiap orang tidak mampu merekam suatu peristiwa secara sama. Setiap pewarta akan menangkap peristiwa yang sama dengan segi atau sudut pandang yang berbeda-beda dan gaya yang sangat beragam.

Menurut Ishwara (2005: 44-47) makna objektivitas dalam dunia pewartaan itu bersifat dinamis. Awalnya pewartaan dianggap objektif bila si pewarta bertindak sebagai penonton dari berita yang diliput. Pewarta tidak diperbolehkan berpihak dalam mengumpulkan dan menyajikan fakta. Pewarta adalah pengamat yang netral. Lalu, pemahaman ini mulai dipertanyakan pada era 1950an. Banyak pewarta yang melihat unsur adil sebagai prinsip yang penting. Akibatnya, pewarta lebih memilih standar kejujuran dibanding sekadar membawa berita.

Objektivitas dalam pewartaan warga lebih mengutamakan sisi keadilan berita. Keadilan dalam kepewartaan akan terpenuhi bila (1) berita itu lengkap, pewarta tidak diperkenankan mengabaikan fakta yang penting, (2) berita harus sesuai, pewarta tidak boleh memasukan informasi yang tidak sesuai, (3) berita harus jujur, pewarta tidak adil bila secara sadar maupun tidak membimbing pembaca ke arah yang salah atau menipu, dan (4) berita harus lugas dan terus terang, berita itu tidak adil bila wartawan menyembunyikan prasangka atau emosinya di balik kata-kata halus yang mengaburkan makna yang sesungguhnya.

Ambil contoh, seorang warga menuliskan tentang minimnya kepedulian dan layanan kesehatan bagi warga di desa. Warga itu menuliskan layanan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di desanya tidak maksimal. Lalu dalam tulisan tersebut warga menyatakan petugas medis sering tidak berada di tempat sehingga kantor layanan tidak bisa diakses oleh warga. Biaya yang harus dibayarkan untuk layanan kesehatan juga mahal. Tulisan itu tidak disertai hasil wawancara dengan petugas medis, tapi hanya berupa kesaksian-kesaksian dari warga termasuk dirinya.

Pembaca yang arif tidak akan menuntut pewarta warga mampu mengemas informasi seperti hasil pewartaan media arus utama. Pembaca sadar pewarta warga tidak memiliki peralatan dan pengetahuan pengemasan seperti pewarta pada media arus utama. Oleh karena itu, pembaca akan menempatkan diri sebagai bagian dari warga yang juga memiliki kewajiban untuk melengkapi kelemahan dari tulisan pewarta warga.

Pembaca akan mengajukan pertanyaan pada dirinya bagaimana melengkapi tulisan sebelumnya. Misalnya, pembaca tahu bagaimana layanan jaminan kesehatan masyarakat untuk orang miskin. Setelah membaca tulisan itu ia akan melengkapi data dengan menuliskan bagaimana cara orang miskin bisa mengakses jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin. Bagi warga yang menikmati layanan bagus dapat menceritakan bagaimana langkah yang dilakukan oleh desanya untuk memberikan layanan kesehatan yang bagus. Sementara itu, pihak dinas kesehatan yang merasa tulisan itu tidak memberikan ruang bagi lembaganya untuk memberikan klarifikasi juga bisa langsung menambahkan tulisan.

Itulah uniknya pewartaan warga. Pembacanya harus mengikuti tulisan secara terus-menerus hingga gambaran peristiwa yang sesungguhnya dapat didapatkan. Objektivitas selalu bersifat fungsional dan berubah mengikuti dinamika peristiwa. Suatu kebenaran bisa senantiasa bisa diperbaiki. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Selain itu, kebenaran pewartaan warga dibentuk lapisan demi lapisan. Contohnya, tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi, kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap. Setiap pembaca memiliki hak untuk melengkapi fakta, data yang belum dituliskan pada tulisan sebelumnya. Jika hal ini dilakukan maka pembaca menjadi bagian dari kerja pengelolaan informasi. Inilah fase yang disebut sebagai demokrasi informasi.

Yossy Suparyo, Staf Manajemen Pengetahuan CRI Yogyakarta

Unduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud