Kampanye Kesehatan Reproduksi Remaja dengan Film Film/Video Komunitas: Mensikapi Realitas

Oleh: Mukhotib MD )*

Pada perhelatan perfilman Indonesia 4 tahun lalu (2004), yakni Jakarta International Film Festival (JiFFest), Festival Film Indonesia (FFI) dan Festifal Film Dokumenter Indonesia (FFDI), ada 2 (dua) buah buah film yang menarik tentang kesehatan reproduksi remaja.

Pertama, sebuah video berdurasi tujuh menit dengan judul Sorot Sani… ah.., karya M. Yusrizal/Teri Eka Santoso. Karya ini menggambarkan sosok Saniah, seorang remaja putri yang biasa mengamen di jalanan. Di balik wajahnya yang lugu, ternyata Saniah mengalami masalah kesehatan reproduksi akibat pernikahannya di usia 13 th.
Kedua, video berjudul Remaja dan Reproduksi karya Irman Pambudi, dengan durasi tujuh menit. Video ini menceritakan pengalaman remaja menghadapi menstruasi, perubahan hormon, onani dan masalah seks lainnya.

Apa yang ditawarkan oleh dua video di atas, sungguh sangat menarik, karena mencoba mengungkap berbagai persoalan aktual yang sangat keseharian dihadapi oleh para remaja, tetapi hampir tidak mendapatkan ruang dan perhatian dalam layanan kesehatan yang ada selama ini.

Tidak jarang, remaja mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi dari sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, seperti cerita dari mulut ke mulut di antara mereka sendiri, seperti onani bagi laki-laki akan mengakibatkan tulang menjadi kropos, melakukan hubungan seksual, jika hanya sekali tidak akan mengakibatkan kehamilan, dan sebagian lagi justru merasa ketakutan, karena berciuman bibir akan mengakibatkan kehamilan. Blunder semacam ini terjadi, tidak saja karena ketiadaan layanan dan informasi bagi remaja, tetapi juga karena terganggunya komunikasi antara anak remaja dan orang tua, akibat anggapan tabu untuk memperbincangkan soal-soal sistem, fungsi dan alat reproduksi.

Ketidaktahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi akan membawa akibat yang serius, seperti remaja akan mengalami kehamilan tidak dikehendaki (unwanted pregnancy), yang dalam sistem dan nilai di Indonesia, berarti petaka berkepanjangan. Turunan dari persoalan ini, remaja bisa terjebak dalam tindakan aborsi tidak aman (unsafe abortion) yang ujung-ujungnya tidak mustahil akan menelan jiwa remaja itu sendiri.

Dengan demikian, sudah saatnya, untuk mendorong dan mendesak negara untuk memberikan perhatian serius terhadap kesehatan reproduksi remaja, misalnya, dengan kebijakan mengembangkan friendly clinic system yang dikembangkan di setiap pelayanan kesehatan yang ada. Dalam tingkat kultural, penting dilakukan untuk mendudukkan kembali persoalan ‘tabu’ dalam tempat yang semestinya, dan memahamkan kesadaran baru, pendidikan kesehatan reproduksi, bukanlah pelajaran untuk melakukan hubungan seks.

Upaya mendesak negara dan melakukan perubahan kultural di atas, juga bukan sebuah pekerjaan yang sederhana. Dalam posisi inilah, film sesungguhnya bisa mengambil peranan penting sebagai alat untuk melakukan desakan kebijakan, membangun kesadaran kultural, dan sekaligus sebagai bagian dari alat pemberian layanan informasi yang efektif. Tetapi jika melihat fenomena tiga peristiwa perfilman di atas, dari ratusan film/video yang diputar, ternyata kita hanya menemukan dua judul saja yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja. Kenyataan ini, sudah seharusnya menjadi agenda refleksi bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk melakukan pembelaan terhadap pemenuhan hak kesehatan reproduksi.

Ada beberapa soal yang bisa diajukan, untuk menjawab kelangkaan film/video mengenai kesehatan reproduksi remaja jarang atau bahkan sulit ditemukan. Pertama, kesehatan reproduksi remaja belum dianggap sebagai persoalan serius, termasuk oleh insan perfilman itu sendiri. Kalau kita percaya, karya seni—salah satunya film/video, seringkali merupakan cerminan dari zaman pada saat karya itu dilahirkan, maka ketiadaan film/video yang mengangkat soal kesehatan reproduksi, merupakan jawaban tak terbantahkan dari sepinya perhatian negara dan masyarakat terhadap kesehatan reproduksi.

Kedua, elemen masyarakat yang mencoba melakukan perjuangan hak kesehatan reproduksi remaja belum menanggap penting dan efektif, film/video bisa dijadikan alat kampanye yang efektif untuk mengubah kesadaran publik mengenai hak kesehatan reproduksi remaja. Ketiga, pelaku advokasi hak kesehatan reproduksi, juga bisa dimungkinkan memiliki persepsi film/video merupakan produk yang mahal, sehingga tidak memungkinkan untuk mereka lakukan dengan keterbatasan dana yang mereka miliki.

)* Direktur PKBI DI Yogyakarta

Sumber:

http://atvki.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=69:kampanye-kesehatan-reproduksi-remaja-dengan-film-filmvideo-komunitas-mensikapi-realitas&catid=36:opini&Itemid=62

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud