Internet di Pesantren; Dekat di Mata, Jauh di Hati

Sejak tahun 2004, pemerintah telah melaksanakan program pendirian telecenter di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai proyek perintis, didirikan sebuah telecenter di Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, yang letaknya berada di kompleks Pondok Pesantren Pabelan. Telecenter E-Pabelan itu berbasis pada layanan rental komputer dan internet.Pemilihan Pabelan sebagai lokasi perintis tidak lepas dari popularitas pesantren itu. Dalam sejarahnya, di Pulau Jawa, pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis agama yang memiliki akar sangat kuat. Saat ini, diperkirakan ada 15-20 ribu pesantren di seluruh Indonesia dengan konsentrasi di Jawa Timur. Pesantren Pabelan didirikan sebagai bentuk kepedulian KH Hamam  yang ingin memperbaiki kualitas masyarakat desa melalui pendidikan. Dengan latar belakang seperti itu,  pesantren menjadi salah satu institusi pemangku kepentingan dari program telecenter.

Alex Robinson, yang meneliti telecenter Pabelan tahun 2005, menemukan bahwa santri putri jarang memanfaatkan fasilitas telecenter. Ia merekam, antara bulan Juli 2004 sampai dengan Juni 2005, pemakai perempuan mencakup 33,8% sementara laki-laki 66,2%. Statistik itu mengikutsertakan pemakai dengan frekuensi kunjungan berulang kali, sehingga prosentase tidak mengindikasikan jumlah pemakai yang menggunakan telecenter. Sementara, statistik pemakaian berdasarkan usia pada periode yang sama menunjukkan tingkat yang tinggi pada rentang usia 16 sampai dengan 20 tahun.

Pengalaman tidak tampak

Santri putri wajib mendapat izin untuk keluar dari kompleks putri. Namun, santri putra tidak memerlukan izin yang sama untuk meninggalkan kompleks mereka. Selanjutnya, sebagian besar dari ruang administrasi publik seperti masjid, sekretariat siswa, dan gedung telecenter berada di lingkungan kompleks putra. Sementara, koperasi berada dalam kompleks putri. Memang tidak ada pagar yang memisahkan secara tegas antara kompleks putra dan putri, tetapi batas tersebut berlaku dan diketahui oleh anggota pesantren.

Pihak pesantren membuat aturan bahwa ruang putra dan putri di telecenter tidak boleh bercampur sehingga disediakan dua ruangan yang terpisah oleh dinding. Dengan begitu, santri putra dan putri dapat mengakses telecenter berbarengan. Namun, pada praktiknya, operator telecenter tidak membolehkan santri yang berbeda jenis kelamin untuk bersamaan menggunakan fasilitas. Dengan begitu, ketika sudah ada santri putra di dalam telecenter, santri putri tidak boleh masuk dan demikian sebaliknya. Bahkan, dengan menyatunya telecenter pada kompleks putra maka santri putra memiliki kesempatan lebih cepat mengakses telecenter.

Alokasi komputer di dua ruangan juga berbeda secara mencolok. Di ruangan sebelah timur, terdapat lima unit komputer (dua dalam kondisi rusak), sementara di ruang barat hanya terdapat satu unit komputer. Dengan begitu, aturan yang ingin mengakomodasi akses santri putra dan putri menjadi tidak efektif. Peraturan tersebut tidak berlaku untuk masyarakat nonsantri sehingga warga desa dapat memanfaatkan jasa telecenter secara bersamaan, tanpa pemisahan ruang.

Menurut pengamatan dan pengalaman operator telecenter, ada perbedaan antara perilaku pemakai perempuan dan laki-laki ketika berhadapan dengan komputer. Pada pemakai lelaki, mereka mengenal komputer dengan cara coba-coba sebelum ada penjelasan. Jika berulang kali gagal dan tidak bisa menemukan fungsi yang diinginkan maka mereka bertanya pada operator. Sementara pemakai perempuan cenderung menginginkan penjelasan di muka sebelum mencoba. Perbedaan itu belum diakomodasi dalam pendekatan pelatihan kepada santri putri.

Salah seorang pihak manajemen telecenter mengakui ada masalah gender dalam mengakses telecenter. Ia menilai santri putri kurang berminat pada komputer dan internet sehingga jarang mengunjungi telecenter. Namun, perlu ditelaah lebih jauh apakah masalah terletak pada minat atau ada hal lain yang memengaruhi pembentukan minat santri putri. Terutama bila dihubungkan pada beberapa hambatan yang telah dijelaskan sebelumnya. Lagipula, kebanyakan santri putri merupakan pengguna aktif teknologi komunikasi telepon seluler yang dapat menjadi jembatan pembelajaran teknologi sejenis.

Menumbuhkan kepekaan

Pembatasan tertulis maupun tidak tertulis dan hambatan internal maupun yang eksternal yang dialami santri putri untuk mengakses suatu bentuk teknologi informasi bukan sesuatu yang unik dan tidak dapat diprediksi. Di banyak lembaga publik, perempuan tidak diposisikan sebagai aktor kunci dalam perubahan. Oleh karena itu, diperlukan kepekaan dari pembuat kebijakan untuk memahami kondisi yang sesungguhnya.

Akses terhadap komputer dan internet sebagai bagian TIK terlihat meningkatkan kepercayaan diri dari penggunanya. Perasaan itu diungkapkan dua narasumber. Nina, nama samaran, seorang santri putri mengatakan bahwa dengan internet  ia dapat “…melihat SMA luar yang negeri-negeri bisa kayak gitu, ya kita paling tidak bisa dan tidak ketinggalan lah. Ya… nambah PD (percaya diri, red) lah.”

Sementara, Susi menjelaskan bahwa sebagai ibu rumah tangga, internet dianggap “…mengurangi kuper kita dan menambah pengalaman. Kalau dahulu internet kan hanya untuk pelajar, sekarang bisa diakses semua (warga).”

Rasa percaya diri ketika berhadapan dengan perangkat teknologi informasi memotivasi mereka untuk terus belajar agar tidak tertinggal. Pada santri putri, kebutuhan informasi yang mereka miliki belum dapat dipenuhi dengan mengandalkan koleksi perpustakaan yang masih kurang memadai. Kemampuan menggunakan komputer dan internet juga menjadi modal bagi penguasaan keterampilan di bidang lain.

Peran guru dan kiai untuk memotivasi santri putri menjadi penting karena pola pedesaan dan pesantren menempatkan mereka sebagai tokoh panutan. Keterlibatan beberapa alumni perempuan dalam pengelolaan telecenter masih belum berimbas pada keterlibatan santri putri. Program khusus bisa dilakukan untuk memberikan keleluasaan pada santri putri mengakses telecenter.

Selama ini, rumusan program TIK kurang memerhatikan sistem gender yang lekat dalam kehidupan sosial di bidang pendidikan termasuk pesantren. Alhasil, rencana program disusun menggunakan asumsi netral gender. Padahal, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Tidak munculnya pengakuan terhadap ketidaksetaraan gender mengakibatkan program yang disusun tidak tepat sasaran dan tidak mencapai target yang diharapkan.

Program telecenter adalah salah satu program yang memiliki dasar netral gender sehingga pelaksanaan di tingkat penerima belum maksimal menggunakan pendekatan yang peka gender. Satu pendekatan dianggap sesuai bagi seluruh tingkat penerima di mana pun mereka berada. Kesenjangan digital yang terjadi tidak dapat dimaknai secara sederhana karena sistem sosial membuatnya lebih kompleks. Pendit (2007) menilai bahwa kesenjangan digital tidak lagi sebatas pada aspek kepemilikan dan akses terhadap komputer dan jaringan internet, tetapi sudah bersifat relatif dan berjenjang. Sifat relatif terlihat dari posisi seseorang dalam masyarakat dan keterampilan menggunakan teknologi yang menentukan tingkat pemahaman terhadap bentuk TIK. Sementara jenjang penghasilan, pendidikan, usia, gender, dan etnik menentukan akses seseorang terhadap TIK. Oleh karena itu, ada lebih dari satu bentuk kesenjangan digital dan sifatnya pun dinamis karena dipengaruhi oleh perubahan di bidang TIK.

Banyak pelaku TIK yang kritis terhadap pemanfaatan TIK tetapi masih mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan pendekatan peka gender dalam program yang berhubungan dengan TIK. Tidak heran jika masih banyak santri putri yang tertinggal dalam keterampilan memanfaatkan komputer dan internet.

Keterlibatan aktif santri putri dalam telecenter menjadi sesuatu yang mutlak jika dihubungkan dengan keberlanjutan telecenter. Sampai saat ini, banyak pihak yang pesimis terhadap kelanjutan program telecenter. Sikap itu muncul karena belum seluruh pemangku kepentingan terlibat secara aktif dalam pengembangan dan pemanfaatan telecenter. Asumsi bahwa masuknya internet dapat menggeser struktur kekuasaan dengan memperluas distribusi media sulit terwujud jika implementasinya gagal mengakomodasi pendekatan spesifik bagi perempuan.

Masalah tidak lagi terletak pada pemilihan teknologi media dan komunikasi melainkan pada proses membangun keterlibatan pemangku kepentingan. Jenis media apa pun akan mengalami masalah yang sama jika asumsi yang mendasarinya tidak mengakar pada realitas sosial di tingkat penerima.***

Rujukan

Wanasundera, L. (2006). “Expanding women’s capacities through access to ICTs: an overview from Sri Lanka”. Dalam Gender in the Information Society: Emerging Issues, Gurumurthy et.al. New Delhi: UNDP-APDIP dan Elsevier.

Gurumurthy, A, Singh, P., Mundkur, A., Swamy, M. (2006). Gender in the Information Society: Emerging Issues. New Delhi: UNDP-APDIP dan Elsevier.

Pendit, P. L. (2007). “Serba open di jagat informasi”. Serat, No. 2, Desember 2007.

Robinson, Alex. (2007). “The E-Pabelan national ICT4PR pilot project: experiences and challenges of implementation in an Indonesian context” dalam Information Communication Technologies Human Development, Gasco-Hernandez et.al. Hershey: Idea Group.

Soemantri, Gumilar et.al. (2008). Social Transformation in Village Community through ICT: Case Study in e-pabelan Telecenter, Central Java, Indonesia. Unpublished paper. Depok: FISIP-UI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud