Berdayakan Kaum Bersarung di Ladang Karet

Komunitas Petani Karet (Kompak) Cilacap

Februari memiliki makna khusus bagi warga Cigintung. Itu menandai gerakan pembebasan petani dari jerat tengkulak.

Membebaskan petani dari jerat tengkulak adalah awal gerakan Kompak (Komunitas Petani Karet) Desa Cigintung, Kecamatan Wanareja, Cilacap. Berkerja sama dengan Lakpesdam, sebuah lembaga kajian dan pengembangan sumber daya manusia di Nahdlatul Ulama (NU), 27 kepala keluarga anggota Kompak bisa melunasi hutang pada tengkulak. Setelah itu, mereka menata organisasi secara modern dan meningkatkan posisi tawar dalam penentuan harga.Cigintung terletak di bagian barat Kabupaten Cilacap. Dari arah kota, desa itu dapat ditempuh dengan angkutan umum yang sayangnya karena sebagian jalanan yang dilalui rusak dan banyak berlubang hingga membutuhkan waktu tiga jam menuju ke sana. Bisa juga menggunakan kereta api kelas ekonomi turun di Stasiun Cipari, lalu disambung dengan jalan darat sekitar satu jam.

Kontur geografis Cigintung adalah perbukitan. Di atasnya, terhampar ladang palawija, umbi-umbian, cengkeh, dan kelapa. Secara ekonomi, warga Cigintung hidup di bawah garis kemiskinan, terlebih setelah beberapa waktu yang lalu cengkeh sempat mengalami penurunan harga yang cukup drastis. Pada 1990-an, para pemuda lebih memilih menjadi buruh urban di kota, menjadi kuli bangunan, ataupun pembantu rumah tangga (PRT), maklum mereka hanya jebolan sekolah dasar.

Kompak memang baru berdiri pada Februari 2007. Namun sebagai komunitas, Kompak telah ada sejak 18 tahun yang lalu. Perintisnya adalah Muhammad Daldiri, seorang guru ngaji lulusan sebuah pesantren di Banyuwangi. Kiai Daldiri, biasa warga menyebutnya, lahir 38 tahun yang lalu di Wangon, batas wilayah Cilacap dengan Banyumas. Lulus dari pesantren, Daldiri menjadi guru ngaji di sebuah pesantren di Cilongok, Banyumas. Di sanalah, hatinya tertambat pada seorang santriwati asal Cigintung. Berbekal reputasi sebagai guru ngaji di pesantren, Daldiri segera diminta menjadi pengasuh pengajian, dari anak-anak, remaja, ibu-ibu, hingga umum. Untuk menghidupi keluarganya, Daldiri mengolah ladang karet dan membuka warung.

Bertanam karet

Dua kilometer dari Desa Cigintung terdapat perkebunan karet seluas ribuan hektar yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Melihat harga karet yang cukup tinggi, terbersit dalam otak Daldiri untuk menanam pohon karet di ladangnya pula. Ide itu sempat ditertawakan oleh sebagian warga, terlebih saat ia menjual tanahnya di Banyumas sebagai modal membeli tanah di Cigintung yang rencananya hendak ia tanami karet.

“Saya sering mengamati kerja-kerja pengolahan karet di PTPN. Lalu, saya jual tanah di Banyumas untuk beli tanah di sini. Setelah tujuh tahun, pohon karet yang saya tanam bisa dinikmati hasilnya. Akhirnya, petani lainnya coba meniru, ladang yang tadinya ditanami cengkeh, kelapa, dan umbi-umbian lalu berpindah ke karet,” ungkapnya.

Pada 1996, pohon karet milik Daldiri mulai dapat disadap. Ketika itu, hasilnya belumlah seberapa. Baru menjelang Idul Fitri, Daldiri seolah mendapat durian runtuh. Harga karet melonjak sehingga ia mendapat pemasukan yang lumayan. Kemudian, warga lainnya iri dan tertarik mengikuti langkah Daldiri. Satu demi satu, petani Cigintung mulai menanam pohon karet. Menurut data Kompak (2008), 99% warga Cigintung telah beralih profesi menjadi penyadap karet.

Awal migrasi ke karet, minimnya pengetahuan tentang dunia perkaretan menjadi kendala utama. Selain kualitas bibit yang rendah, cara tanamnya pun tak beraturan. Pohon-pohon karet tak dirawat pula, bahkan sama sekali tidak dipupuk. Akibatnya, getah yang dihasilkan sangat sedikit. Penghasilan yang mereka peroleh tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, maka banyak petani berhutang pada tengkulak. Itulah sumber petaka bagi petani. Karena terikat hutang, mau tak mau mereka harus menjual hasil karetnya pada sang tengkulak. Bahkan, dalam penentuan harga pun, petani tidak memiliki posisi tawar hingga harga karet stagnan.

Bebaskan petani

Kondisi di atas jelas membuat Daldiri gelisah. Ia pun mendekati para petani. Setelah salat Isya, biasanya, para jamaah tidak langsung pulang, tetapi saling bercengkerama ngalor-ngidul, orang Cigintung menyebutnya sebagai lailatul ijtima’. Kesempatan itu dimanfaatkan olehnya untuk mengajak jamaah membicarakan akar masalah petani. Kadang obrolan berjalan santai, kadang jadi serius layaknya melakukan pembahasan persoalan penting (bahtsul masail). Daldiri mengusulkan pembentukan organisasi agar semua masalah petani bisa dibicarakan bersama-sama. “Awalnya, banyak petani yang ragu, tapi setelah kita saling bertukar argumen, mereka sepakat membentuk Kompak,” ujarnya.

Sebagai jamiah NU, Daldiri menghubungi Lakpesdam untuk membantu segala tetek-bengek pendirian organisasi maupun manajemen pengelolaannya. Dari pelatihan dan pertemuan yang difasilitasi Lakpesdam, disimpulkan penyebab kemiskinan petani adalah rendahnya harga jual karet. Hal itu akibat petani terjerat hutang pada tengkulak. Karena itu, langkah awal organisasi adalah mencari cara mengeluarkan petani dari jerat hutang tengkulak.

Pucuk dicinta ulam tiba. Lakpesdam sepakat memberi pinjaman lunak tanpa bunga pada Kompak. Dengan dana tersebut, anggota dapat melunasi hutangnya pada tengkulak. Kini, petani bebas menjual hasil karetnya sesuai harga pasar. Bahkan, Kompak bisa memasarkan sendiri pada distributor besar.

Setelah satu tahun lepas dari jerat tengkulak, petani mulai merasakan dampaknya. Harga karet yang sebelumnya hanya Rp 18.000 per kilogram meningkat menjadi Rp 22.500. Rata-rata, petani dapat menghasilkan 120 kg karet mentah per dua minggu, maka mereka dapat mengantongi penghasilan Rp 2.700.000. Selain itu, limbah karet juga laku dijual. Untuk limbah tanpa olahan (lum) dihargai Rp 7.500 dan limbah olahan (wasing) harganya Rp 8.000 per kg. Kompak menjual wasing ke perajin sandal di Tasikmalaya. Wasing selanjutnya menjadi bahan baku produksi alas sandal. Selain itu, petani sering mengikuti pelatihan atau kunjungan ke kelompok petani karet lainnya. Dari pertukaran pengetahuan dan informasi tersebut, petani dapat meningkatkan produktivitas. “Sebelum ada pelatihan, butuh tujuh pohon untuk mendapat satu mangkok. Sekarang, Kompak memiliki resep sendiri sehingga satu mangkok hanya 2-4 pohon,” ujarnya.

Ngepos di mushola

Keberhasilan Kompak tidak dapat dilepaskan dari ghirah (semangat) keagamaan warga. Kegiatan-kegiatan keagamaan seperti yasinan tiap malam Jumat, pengajian Muslimat tiap Jumat pagi, dan forum-forum bahtsul masail dijadikan forum untuk membahas permasalahan kemasyarakatan dan perekonomian warga.

“Para ulama menganjurkan supaya kita menjadi orang yang mampu secara keduniaan, tetapi hati kita jangan bergantung pada urusan dunia (hub ad-dunya). Terlebih jika harta yang kita dapatkan bisa menjadi modal ibadah, maka menjadi bagian dari ibadah itu sendiri,” ujar Daldiri sembari berbagi cerita masa-masa di pesantrennya dulu.

Mushola di Cigintung menjadi serbaguna. Bila petani ingin bertukar pikiran, biasanya mereka datang ke mushola. Kadang, Daldiri menjadi narasumber utama, di samping beberapa pengurus lainnya. Aktivitas petani juga tidak menghalangi rutinitas ibadah mereka. Pagi hari, biasanya petani mulai menyadap sekitar pukul 6.00, jadi mereka bisa salat subuh. Lalu, pukul 10.30 pengolahan telah selesai sehingga petani bisa salat duhur berjamaah. Terlebih, perempuan bisa membantu menyadap karet sehingga dapat mempercepat pekerjaan.

Akhir-akhir ini, petani sering mengeluhkan kelangkaan pupuk. Selain langka, harga pupuk juga sangat mahal. Padahal petani menggunakan lebih dari satu macam jenis pupuk, ada Urea, IMPK, TS, dan lain-lainnya. Sempat terbersit untuk meminta bantuan dari dinas perkebunan, namun petani masih trauma dengan mereka. Maka Kompak menggiatkan kembali pembuatan pupuk kandang dan kompos secara mandiri.

“Dulu, setelah Gunung Galunggung meletus, cengkeh di sini banyak kena masalah; daunnya keriting, dan lain-lain. Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Dinas Perkebunan menyuruh petani untuk menyemprot pohon dengan obat yang mereka rekomendasikan. Alih-alih masalahnya selesai, justru pohon cengkeh banyak yang mati,” kenangnya.

Tantangan lain  yang dihadapi petani adalah rendahnya pengetahuan pengelolaan keuangan keluarga. Seberapa pun penghasilan mereka akan cepat habis. Kompak menggunakan forum pengajian Muslimat sebagai media penyadaran para ibu rumah tangga agar mengambil peran dalam pengelolaan keuangan keluarga, terutama untuk simpanan pendidikan anak dan kesehatan. Ibu-ibu mesti menyisihkan sebagian penghasilan untuk membeli pupuk, pembibitan, perawatan mesin, dan lain sebagainya. Daldiri acapkali membuat ungkapan nyentrik, misalnya, jangan pikirkan shadaqah sebelum perut Anda kenyang. Anehnya, kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan justru makin semarak sebab warga berhasil mencapai taraf hidup yang baik.

Kompak juga sering dikunjungi petani-petani dari daerah lain, baik perorangan atau kelompok. Sekarang Kompak mendampingi para petani dari Somagede, Banyumas. Selain melatih cara menanam karet, juga menyuplai bibit dan peralatan-peralatan lainnya, mulai dari pisau, gilingan, cuka, dan mangkok.

Karet ala Kompak

Karet adalah pohon yang multiguna. Semua bagian karet, mulai dari pohon, daun, buah, dan akarnya dapat dimanfaatkan. Daun karet yang masih muda bisa untuk sayur, rasanya enak seperti daun ketela pohon. Selain untuk bibit, biji karet (klenthang) juga bisa dijadikan bahan pecel. Kayunya, biasanya, dipotong 1-1,5 meter lalu menjadi bahan baku mebeler.

Bibit karet dihasilkan dari biji buah karet. Petani menyemai biji-biji dalam kantung plastik (polyback) yang telah diisi campuran tanah dan pupuk. Ada juga yang mencabuti bibit yang tumbuh di bawah pohon. Jenis karet di Cigintung bisa mencapai enam macam. Bibit yang bagus diperoleh dari teknik perkawinan, misalnya, teknik three in one; yaitu tiga jenis bibit yang berbeda dikawinkan, namun hanya satu yang dibiarkan tumbuh. Hasilnya, satu bibit unggul dengan tiga akar.

Pohon karet ditanam dengan jarak 4×6 m. Sebelumnya, lahan harus diolah dan diberi pupuk kandang atau kompos. Saat pohon masih berumur 0-3 tahun, di sela-sela karet, petani bisa menanam padi gogo, palawija, sayur-mayur, umbi-umbian, dan lain sebagainya. Jenis pohon karet yang akan ditanam juga harus mempertimbangkan akses lahan atas sinar matahari. Jenis karet yang ditanam di lahan yang mendapat sinar matahari sejak pagi jelas berbeda dengan jenis karet di lahan yang hanya mendapatkan sinar matahari sore. Jadi, jenis karet yang ditanam di lahan pada kemiringan ke timur dengan lahan pada kemiringan ke arah barat tentu berbeda kualitasnya.***

Yossy Suparyo, Staf Manajemen Pengetahuan CRI Yogyakarta

Unduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud