Keintiman sebagai Wujud Komunikasi Antartetangga

Oleh Biduk Rokhmani

“Saya tidak ingin terlihat seperti dukun yang kelihatan sakti dari jauh tapi justru dengan tetangga di samping rumahnya saja tidak tahu. Saya sadar banyak hal yang belum bisa saya pahami dari tetangga di sekitar saya, sebab saya tidak pernah bisa tuntas mengenal mereka, banyak hal yang masih harus saya pelajari dari para tetangga itu”.Itulah penggalan kalimat pembuka yang keluar dari mulut Hanindawan saat saya memulai pembicaraan dengannya di warung soto ayam dan sapi Bati’ah yang terletak di Jalan Sam Ratulangi Nomor 33, Joho, Manahan, Solo. Sosok sederhana yang berperan besar sebagai motor Teater Gidag Gidig itu tetap saja bersahaja.

Keinginan besarnya untuk mengenal dan dikenal ‘tetangga’-nya itulah yang melatarbelakangi lahirnya konsep Teater untuk Tetangga dan Thoprak Pendhapan. Konsep itu lebih mengarah kepada bahwa antara kelompok teater yang satu dengan yang lain harus saling mengenal dan mendukung. Juga, sebuah kelompok teater harus bisa menciptakan keintiman dengan warga masyarakat di sekitarnya.

“Apalah artinya jika seorang seniman teater hanya besar di pentas panggung gedung kesenian tapi dia tidak membumi dengan lingkungannya. Saya tidak pernah risi dicap sebagai seniman kampung karena kerap mementaskan teater dari kampung ke kampung dengan stage yang apa adanya. Biar saja orang mau memberi saya label apa, karena prinsip saya tetangga itu lebih penting daripada memimpikan Broadway tapi justru tidak pernah mengerjakan apa-apa. Saya sendiri tidak pernah menjadikan Jakarta sebagai kiblat dalam berkesenian,” ucapnya.

Meski konsep ‘nangga’ itu baru bernama pada tahun 1999, namun gagasannya sendiri telah hadir sejak awal Teater Gidag Gidig didirikan di akhir tahun 1976. “Selama ini saya menangkap kesan di masyarakat itu teater merupakan sesuatu yang menegangkan dan menyeramkan. Untuk itulah saya ingin sekali meleburkan suasana tegang itu menjadi akrab, menyenangkan, dan teater adalah bagian dari hidup kita semua. Saat mentas di kampung-kampung itu saya selalu berusaha melibatkan warga setempat dalam proses produksi, minimal mereka getok-tular guna mempublikasikannya paling tidak itu bisa menekan biaya publikasi, dengan begitu akan terjalin bentuk komunikasi antara teater dengan warga,” terang Hanin, panggilan akrabnya.

Masih jelas diingatnya, Teater Gidag Gidig pertama kali pentas di kampung Banyudono, Boyolali pada Desember 1976. Dari sanalah nama Gidag Gidig lahir. Awalnya, sekumpulan anak-anak SMA yang intens berlatih teater di daerah Pasar Kembang, Solo itu bahkan belum mempunyai label untuk sanggar teater mereka. Maka saat mendapat tawaran mentas di Banyudono itulah tercetus nama Gidag Gidig. “Waktu itu tidak ada artinya, kami sepakat memakai nama itu karena terkesan lucu dan unik. Belakangan saja nama itu baru dimaknai dengan sikap percaya diri dan agak congkak,” jelas pria yang kini juga bekerja di Taman Budaya Jawa Tengah – Surakarta itu.

Meski dirinya dan Gidag Gidig juga tidak alergi mementaskan lakon teater di gedung kesenian, namun mimpi terbesarnya justru menyuguhkan kesenian di tengah-tengah ruang sosial yang bukan mengedepankan fasilitas dan pemenuhan tata artistik.  Melainkan terjalinnya kebersamaan dan keintiman dengan warga komunitas sehingga sebuah peristiwa kesenian itu akan berhasil dibangun secara bersama-sama.

Guna menciptakan suasana intim itu tentu saja tidaklah mudah. Banyak proses yang harus dilalui. “Kalau pentas di gedung kesenian itu fasilitasnya sudah ada, orang yang datang memang berniat dan konsentrasi nonton. Sedangkan jika manggung di kampung-kampung itu kan terbuka, tempatnya bermacam-macam, pokoknya serba simpang-siur, tapi justru di sanalah bagaimana kecepatan adaptasi terhadap publik itu diuji. Saya belajar banyak dari karakter warga yang beragam di setiap kampung yang didatangi Teater Gidag Gidig untuk manggung,” tandasnya.

Keintiman itu menurut Hanin merupakan media utama supaya komunikasi antara seniman dan penikmat seni dapat terjalin. Meski begitu, tidak dipungkirinya bahwa komunikasi utama dalam sebuah pementasan adalah adanya pemahaman antara pemain dan penonton terhadap lakon yang tengah dipentaskan. “Kadang saya juga berusaha melibatkan pononton untuk menciptakan suasana yang dialogis antara penonton dan pemain. Jadi penonton itu tidak berperan pasif, mereka datang menonton pentas teater tapi di sana hanya bengong, malah bisa jadi justru tidak paham apa yang sebenarnya lakon yang sedang dipentaskan. Saya lebih suka kalau setiap peran yang saya bawakan itu bisa komunikatif dengan penonton,” tegas Hanin.

Meski setiap kali mentas, lakon yang dipentaskan oleh teater “kampung” itu didasarkan naskah yang telah disusun, tidak menutup kemungkinan adanya improvisasi dari pemain. Bahkan jika memungkinkan dimunculkan dialog interaktif dengan melihat kondisi penonton yang notabene adalah warga kampung sebagai setting panggung pentas tersebut.

Teater Ruang Keluarga
Teater Gidag Gidig sendiri sebenarnya juga tengah menggagas konsep pementasan lain. Yakni teater di ruang keluarga. Hanindawan mendapat gagasan untuk menyelenggarakan pentas teater di ruang keluarga itu dari adanya penyelenggaraan resepsi pernikahan. Pentas eksklusif ini hanya merupakan pentas kecil dengan tiga orang pemain yang memanfaatkan ruang tamu sebuah keluarga sebagai setting panggung.

“Bahkan penontonnya bisa jadi hanya anggota keluarga. Sistemnya seperti nanggap itu lho karena si pengundang harus membayar antara Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. Namun si penanggap ini boleh mengundang kerabat maupun siapa saja yang dikehendaki,” ulasnya.

Sejak gagasan ini diluncurkan oleh Gidag Gidig pada Januari lalu, telah ada tiga keluarga yang nanggap. Pertama kali mereka menjajal mentas di ruang keluarga atas undangan seniman tari Sardono W Kusuma. Lantas berturut-turut pentas dilanjutkan di rumah keluarga Ariyonoseno dan ruang tamu Museum Radya Pustaka, Solo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud