Desaku yang Subur, Desaku yang Terlupakan

Oleh: Rahma Maliana *

Tanah bertuah negeri beradat.  Itulah slogan dari Kabupaten Serdang Bedagai, sebuah kabupaten  di Provinsi Sumatera Utara. Meski menjadi penghasil padi dan kaya akan wisata pantai,  tidak serta merta menjadikan desa-desa di kabupaten ini dilirik pemerintah.

Cinta Air adalah salah satu desa di Kecamatan Perbaungan, Serdang Bedagai. Kontras dengan namanya, Desa Cinta Air nyatanya adalah desa yang  kekurangan air.  Penyebabnya, desa ini cukup dekat dengan pantai yang membuat air tanahnya terkontaminasi air laut. Jika di tanah pada umumnya air baru bisa keluar saat penggalian mencapai kedalaman 8 sampai 9 meter, di Desa Cinta Air, air sudah muncul di kedalaman 3 meter. Tapi bukan air bersih yang didapat melainkan air yang keruh atau kuning. Beberapa warga telah berusaha membuat sumur bor dengan mesin mahal dengan harapan bisa mendapatkan air bersih. Namun, masih saja air keruh atau kuning yang keluar dari sumur mereka. Alhasil, banyak warga harus meminta air ke tetangga yang memiliki air bersih.

“Iya. Sepertinya ada pengaruh dari pantai yang menyebabkan air di desa kami ini jauh dari kata jernih. Tapi mau bagaimana lagilah memang sudah begitu. Saya sendiri sudah berusaha membuat sumur bor, biar enggak capek harus ngangkatin air terus dari tetangga. Tapi nyatanya malah sama saja, airnya tetap kuning dan tambah jelek saja. Kalau dipakai nyuci baju pun kuningnya lengket ke baju. Jadi, tetap harus minta ke tetangga juga,” keluh Ijum, (42), salah seorang warga di Dusun II, Desa Cinta Air.

Setiap pagi dan sore, Ijum harus mengangkut air dari tetangganya yang memiliki air bersih. Demikian halnya dengan banyak warga lainnya. Perempuan ini mengungkapkan belum ada tindakan dari pemerintah untuk menyediakan air bersih bagi warga di desanya.

Serupa dengan Ijum, Rafi, (28), seorang warga Desa Cinta Air yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang jualan rujak dan es campur keliling juga mengeluhkan sulitnya air bersih di desanya.  Ia mengungkapkan, seharusnya pemerintah bisa peka terhadap kebutuhan air bersih untuk warganya. Kepala desa harus bisa bertindak dengan membuat usulan anggaran kepada atasannya untuk penyediaan PAM air bersih di Desa Cinta Air.

“Dulu saya tinggal bersama orang tua saya kebetulan di rumah orang tua saya airnya lumayan jernih. Tapi sekarang saya sudah ngontrak rumah sendiri bersama istri saya  dan di rumah kontrakan ini walau pakai mesin atau sumur bor tapi airnya kuning. Saya jadi harus meminta air pada tetangga sebelah untuk kebutuhan jualan saya, karena kalau buat manisan buah untuk rujak pakai air di rumah saya, warna buahnya jadi hitam. Terpaksa saya harus mengangkat air dari tetangga sebelah,” ungkap Rafi.

Ironis memang. Tanah di desa ini terkenal dengan kesuburannya. Bahkan, tanpa pupuk pun pertanian di desa ini tetap menjadi andalan warganya. Namun, kesuburan itu berbanding terbalik dengan ketersediaan air bersih untuk warganya.

“Memang di desa saya ini kondisi air bersihnya sangat minim, tapi tanahnya tetap subur. banyak warga desa sini yang memanfaatkan lahan pekarangannya, seperti saya inilah yang memang suka bercocok tanam, walau tak punya lahan yang luas di sekeliling rumahpun jadilah untuk tanam sayur dan cabe. Jadi gak pernah pusinglah memikirkan harga cabe saat melambung mahal. Tapi sayangnya tidak ada pemerintah yang memperhatikan kami rakyat kecilnya.” ungkap Nawiyah, (49), salah seorang warga.

Keluhan warga akan minimnya air bersih tersebut seolah menjadi angin lalu bagi pemerintah kabupaten. Pergantian pejabat pemerintah yang selalu berganti setiap pemilu tidak memberikan pengaruh untuk Desa Cinta Air. Warga menduga, pemerintah hanya memanfaatkan sumberdaya yang menguntungkan saja seperti wisata pantai yang bertaburan di Kecamatan Perbaungan, khususnya Desa Cinta Air.

“Bukannya tidak pernah ada pejabat yang datang ke desa kami ini. Setiap mau pemilu pasti ada saja pejabat yang datang ke desa kami. Semualah dijanjikannya untuk warga. Tapi nyatanya tak pernah nampak. Sudah 26 tahun saya tinggal di desa ini ikut suami, tapi tak pernah saya lihat ada yang namanya PAM Air di desa ini, tapi saya dengar di desa lain ada. Mungkin memang sudah terlupakan desa kami ini, meski namanya Desa Cinta Air,” keluh Nawiyah.

*Pewarta Warga dari Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Tulisan merupakan salah satu karya dalam kompetisi menulis Perempuan dan Lingkungan yang diselenggarakan oleh CRI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud