Sederet Urusan Warga dengan Anggaran

Oleh Dati Fatima*

Sungguh galau perasaan Bu Surti sebut saja demikian ketika datang surat pemberitahuan dari sekolah siang itu. Anaknya yang bersekolah di salah satu SMA di Kecamatan Pundong, Bantul, diharuskan membayar biaya sekolah dalam jumlah yang sangat besar . Setelah bencana gempa 27 Mei 2006, iuran yang ditentukan pihak sekolah sebesar Rp 190 ribu tentu saja terasa sangat berat. Apalagi, melihat perinciannya, beberapa pos bukan merupakan kebutuhan mendesak. Ada biaya les sebesar Rp 50 ribu, dan ekstrawajib untuk percakapan bahasa Inggris sebesar Rp 40 ribu. Bukan karena ia tak peduli pada pendidikan anak, tetapi mengapa dalam situasi sesulit ini tidak tampak kepedulian sekolah pada beban hidup yang ditanggung warga?Ia juga tampak semakin heran, ketika sore itu, lewat berita di stasiun televisi lokal, pemerintah menginformasikan kepedulian pemerintah terhadap warga korban bencana, termasuk dalam hal pendidikan. Dalam berita itu juga disebut, pemerintah akan menanggung biaya operasional pendidikan baik yang bersumber dari dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) maupun dari dana APBD.  Ia kembali bertanya-tanya, bila memang ada kepedulian, kenapa tetap ada pungutan yang memberatkan? BOS, APBD, apa pula itu? Punya siapakah dan darimana serta untuk kepentingan apa? Pertanyaan dan kegalauan berseliweran dalam pikirannya.

Mungkin pertanyaan serupa juga akan muncul dari banyak warga. Istilah-istilah teknis seperti APBD, DIPA, hingga BOS memang kerap sekali diucapkan para pejabat dalam berbagai kesempatan. Tetapi, penjelasan minim akan arti dan posisi istilah tersebut bisa membuat banyak hal penting terlewat dari pandang masyarakat. Tulisan kali ini akan mencoba mengurai tentang persoalan tersebut.

Anggaran publik : uang milik siapa?
Mari kita mencoba mengingat-ingat. Bila kita parkir di pinggir jalan raya, atau di depan pasar, ingatkah kita kalau ditarik karcis retribusi parkir oleh petugas? Ingat pulakah kita bilamana tagihan listrik bulanan datang, ada potongan di sebelah bawah yang menunjukan persen tertentu sekitar 8% hingga 9% dari total tagihan bulanan yang juga harus ikut kita bayarkan? Pajak penerangan jalan namanya, yang melekat dalam tagihan rekening listrik bulanan itu.

Itulah dua contoh pungutan-pungutan yang ditarik negara dan dibayarkan oleh warga. Daftar pungutan akan menjadi begitu panjang bilamana kita mendata semua pungutan yang dibayarkan oleh warga negara, baik dalam bentuk pajak, retribusi ataupun pembayaran barang jasa oleh perusahaan milik negara seperti rekening listrik, telepon, dan air. Juga beberapa pungutan yang sifatnya tidak langsung, alias tidak nampak tetapi sebetulnya ada dalam komponen harga barang dan jasa yang kita bayarkan. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), misalnya, ada dalam komponen harga barang pabrikan seperti sabun, pasta gigi, gula, hingga dalam harga minyak goreng, serta juga pajak bahan bakar setiap kali kita membeli bensin atau solar.

Intinya adalah, sumbangsih masyarakat seperti inilah yang menjadi komponen dan penyumbang utama anggaran.  Ini terjadi baik di anggaran tingkat pusat (lebih dikenal dengan sebutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di tingkat provinsi dan kabupaten. Bilamana sumber utamanya adalah sumbangan masyarakat, bukankah wajar bila konsekuensi logisnya masyarakat pula yang harusnya mendapat kemanfaatan dari anggaran? Bukankah begitu juga seharusnya, bilamana penyumbang utama PAD di beberapa daerah, mulai dari Bantul hingga Gunung Kidul, berasal dari retribusi kesehatan yang dibayar orang yang berobat ke Puskesmas dan rumah sakit, serta Pajak Penerangan Jalan sebagaimana di Sleman yang dibayar rutin oleh warga setiap bulan tanpa bisa ditawar?

Siapa yang diuntungkan oleh anggaran?
Jika sebelumnya kita mengurai sumber-sumber penerimaan anggaran yang ternyata sumber utamanya adalah sumbangsih masyarakat, siapa yang mendapat manfaat dari sisi pengeluarannya? Logikanya, harusnya rakyat pula yang mendapat porsi utama.  Betulkah demikian?

Salah satu fungsi utama anggaran adalah sebagai mekanisme untuk mengatur prioritas dan alokasi belanja negara dan daerah.  Bila menjadi prioritas dalam pembangunan, maka begitu juga dalam hal anggaran, akan mendapat prioritas. Belanja anggaran ini juga memegang peranan penting dalam membuat bagaimana hak-hak warga negara bisa dilindungi, dihargai, dan yang utama juga dipenuhi. Apa saja hak dasar warga yang harus dipenuhi oleh negara ini? Pendidikan dan kesehatan, serta hak untuk mendapat tempat bernaung adalah beberapa hak dasar yang diterima dan disepakati masyarakat internasional termasuk juga Pemerintah Indonesia.

Bila menjadi prioritas, otomatis pula anggaran berorientasi pada upaya menjamin supaya tidak ada warga yang terlantar tanpa mendapat pengobatan yang layak, tak ada bayi-bayi yang terkena malnutrisi dan gizi buruk tanpa mendapat perawatan dan pencegahan, anak-anak bisa mengenyam pendidikan dasar, hingga semua orang bisa memiliki tempat bernaung yang memadai dan layak. Tetapi kondisinya, Indonesia adalah salah satu negara dengan rangkaian rendahnya derajat kehidupan warga. Ratusan ribu balita mengalami gizi buruk dan kurang, ribuan anak terpaksa putus sekolah dan jutaan warga hidup dalam standar yang sangat rendah. Sayangnya, masalah-masalah ini justru tidak mendapat respons memadai dari kebijakan anggaran. Anggaran kesehatan masih sangat jauh dari cukup, demikian juga anggaran pendidikan biarpun Undang-undang Sisdiknas mengatur alokasi minimal sebesar 20% di luar gaji guru untuk anggaran pendidikan.

Sementara pada saat yang bersamaan, korupsi di Indonesia adalah termasuk dalam daftar korupsi terparah di dunia. Korupsi ini juga ditandai dengan banyaknya kasus korupsi anggaran, baik yang melibatkan anggota legislatif maupun pejabat eksekutif. Kita juga dihadapkan dengan situasi di mana proyek-proyek mercusuar yang tidak berkaitan langsung dengan pemenuhan hak dasar justru menyerap anggaran yang luar biasa besar. Proyek infrastruktur yang super canggih, dalam beragam bentuk justru dibarengi dengan penggusuran rakyat kecil, adalah contoh nyata yang membuat anggaran semakin mengabaikan hak masyarakat miskin.

Tidak usah jauh-jauh, pascagempa, pemenuhan hak atas perumahan masih harus kita lihat dalam bulan-bulan terakhir ini. Apakah anggaran untuk dana rekonstruksi rumah sebesar Rp 749 miliar untuk tahap I dan Rp 945 miliar untuk tahap II di DIY pada tahun 2006 ini akan bisa dikelola dengan baik sehingga setiap warga yang berhak bisa terlayani? Masih harus kita tunggu.

Diam saja tidak cukup
Persoalan-persoalan pendidikan sebagaimana cerita di awal, kiranya juga menunjukkan betapa masih banyak masalah pemenuhan hak dasar yang terlewat dan terabaikan, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.  Untuk pendidikan ini, contoh Bantul sungguh menarik. Sebelum gempa, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan dalam APBD 2006 sebanyak Rp 265,8 miliar.  Jumlah ini mencapai 44.8% dari total APBD. Setelah bencana, Dinas Pendidikan Bantul mengeluarkan SK No 422/0978, tentang Pembebasan Biaya Penerimaan Siswa Baru, Syukuran, Perpisahan, dan Rekreasi, serta Pungutan-Pungutan yang Membebani Oorang Tua. Surat edaran ini juga menyebut bahwa siswa tidak harus menggunakan seragam. Pemerintah dalam surat edaran tersebut menyebut bahwa biaya pelaksanaan pendidikan  dibebankan kepada Biaya Operasional Sekolah (BOS) dari APBN dan porsi dari APBD. Sementara, bupati juga berkomitmen bahwa separuh dari Rp 54 miliar Dana Tak Tersangka APBD Perubahan Bantul 2006, akan diperuntukkan bagi pendidikan. Logikanya, kasus-kasus seperti yang dialami Bu Surti di muka tidak perlu terjadi.

Tetapi, dalam banyak kesempatan, penulis bertemu dengan banyak wali murid yang mengeluhkan biaya pendidikan yang justru semakin mahal, bahkan setelah gempa terjadi. Orang tua wali juga tidak memiliki kuasa untuk menolak kebijakan pungutan ini. Beberapa sebabnya adalah karena informasi tentang kebijakan tidak terbuka kepada masyarakat, atau bilamana ada yang protes malah mendapat sikap yang tidak bersahabat serta anak bisa terancam di sekolah karena ‘dicing’ oleh pihak sekolah.

Walau begitu, ini tidak berarti upaya pengawasan masyarakat terhadap kebijakan dan praktik penganggaran menjadi tidak bisa lagi dilakukan. Logikanya, pengawasan warga terhadap anggaran merupakan pengawasan apakah uang-uang yang disumbangkan warga, bisa dikelola oleh negara dengan baik dan dipergunakan kembali untuk kepentingan warga?

Partisipasi publik dalam pengawasan anggaran bisa dilakukan di mana pun, dan dalam bentuk apa pun. Lewat rembuk di kampung, melalui dialog dengan pihak sekolah, atau publikasi secara sederhana tentang hak-hak warga untuk ikut mengawasi Orang tua wali juga tidak memiliki kuasa untuk menolak kebijakan pungutan ini. Beberapa sebabnya adalah karena informasi anggaran melalui acara di radio komunitas, bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Mulai dari yang paling dekat, adalah awal yang baik, karena anggaran ada di dekat kita, dan karenanya pula, anggaran adalah urusan warga. Kita bisa memulainya, hari ini dan seterusnya!

[Penulis bekerja di Institute for Development and Economic Analysis (IDEA), Yogyakarta]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud