Radio Komunitas Sebagai Radio Darurat : Membangun Komunikasi dan Informasi Partisipatif di Masa Tanggap Bencana

Radio darurat. Kata ini memang tidak pernah dikenal dalam regulasi penyiaran di Indonesia, pun belum ada definisi baku mengenai apa itu radio darurat. Padahal, negara ini memiliki potensi ancaman bencana yang cukup besar.

Meski demikian, dalam praktiknya radio darurat sudah sering hadir dalam upaya tanggap bencana di Indonesia, mulai saat erupsi Merapi, longsor Banjarnegara, hingga erupsi Sinabung. . Tentu saja, hal ini tak lepas dari kegigihan para aktivis penyiaran di Indonesia. Mereka menemukan saat tanggap bencana, pola komunikasi di daerah yang mengalaminya selalu menjumpai banyak masalah
Definisi radio darurat justru akan bisa kita dapatkan dari berbagai pengalaman praktis di lapangan. Berikut pengalaman yang dapat membantu pendefinisian tersebut.
Belajar dari Tsunami Aceh sampai Gempa Jogja
Lahirnya radio komunitas di Aceh tak lepas dari munculnya AERNET (Aceh Emergency Radio Network) yang digawangi Combine Resource Institution (CRI) saat terjadi tsunami Aceh pada 2004 silam. Radio komunitas yang dikelola langsung oleh warga Aceh ini ikut mengawal masa tanggap bencana sampai dengan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Kehadiran radio komunitas sebagai radio darurat ini untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan kosongnya media informasi melalui saluran udara yang sebelumnya diisi oleh stasiun radio swasta. Pada masa pemulihan pasca bencana, radio komunitas menjadi media penghubung komunikasi dan informasi antara masyarakat yang terkena dampak dengan pihak lain seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah daerah. Tak hanya itu, melalui radio komunitas masyarakat juga dapat berkomunikasi antarmereka dalam rangka penyembuhan trauma, hiburan dan pendidikan.

Pengalaman di Aceh itu menginspirasi banyak orang ketika gempa bumi menimpa Yogyakarta dan sebagian wilayah di Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Saat itu, para aktivis penyiaran dari berbagai latar belakang seperti radio komunitas dan LSM berinisiatif mendirikan radio darurat bernama Swara Punakawan. Seperti halnya di Aceh, radio darurat ini juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan informasi yang relevan dengan korban bencana alam. Hadirnya Swara Punakawan diharapkan dapat membantu pengelolaan informasi tanggap bencana yang partisipatif.
Radio Darurat Swara Punakawan menggunakan frekuensi AM karena masih banyak alokasi ruang di sana. Selain itu proses ijin siarnya juga lebih mudah.
Selain relawan dari Swara Punakawan, para pegiat radio komunitas yang tergabung dalam Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta juga terlibat. Sebut saja seperti Radio Komunitas Angkringan, Balai Budaya Minomartani, Lima Cemara, Kopi Lurah dan K FM Magelang. Selama 31 Juli 2006 sampai 30 September 2006, Radio Darurat Swara Punakawan ini aktif menyediakan informasi tentang masalah yang sedang dihadapi korban hingga tentang penyembuhan trauma korban. Informasi-informasi tersebut dihimpun oleh jurnalis radio komunitas yang turun langsung ke lapangan.

Radio Darurat Sora Sinabung
Erupsi Gunung Sinabung yang terjadi sejak September 2013 sampai awal Maret 2014 membuat resah warga. Bukan saja durasinya yang sangat lama, namun saat pertama erupsi terjadi, Gunung Sinabung sudah ratusan tahun “tertidur”. Saat itu, alat komunikasi seperti handy talkie (HT) dan telepon selular belum bisa digunakan secara optimal. Padahal informasi yang akurat dan aktual sangat dibutuhkan.
Berbekal pengalaman dari pengelolaan radio darurat saat tsunami Aceh, gempa Yogyakarta dan Jateng, erupsi Merapi dan erupsi Kelud, dibentuklah radio darurat di Sinabung. Beberapa pihak yang berpartisipasi dalam pembentukan radio darurat ini seperti CRI, Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI), Radio Komunitas Lintas Merapi FM, dan Jaringan Radio Komunitas Sumatera Utara dengan dukungan dari FMYY Jepang.
Mengudara dari Media Center di halaman kompleks Kantor Kecamatan Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara, Radio Darurat Sora Sinabung (Suara Sinabung) ini melengkapi keberadaan media yang sudah ada.  Melalui frekuensi 107.8 FM, masyarakat dalam radius 2,5 kilometer bisa berpartisipasi mengisi program di radio darurat Sora Sinabung ini sejak pukul 07.00 sampai pukul 24.00 setiap harinya. Karena keterbatasan jangkauan siarnya, radio darurat ini melengkapi diri dengan streaming. Siarannya bisa disimak di laman (website) www.suarakomunitas.net. dengan dukungan linimasa media sosial seperti facebook dan twitter.
Pascatanggap darurat, radio ini bertransformasi menjadi radio komunitas dan dikelola warga Desa Batu Karang, Sinabung. Radio Sora Sinabung ini masih mengudara hingga sekarang.

Radio Tanggap Darurat Jemblung Bangkit
Mengudara pada 29 Desember 2014, Radio Tanggap Darurat Jemblung Bangkit menjadi pusat komunikasi dan informasi pascabencana longsor di dusun Sijemblung, Banjarnegara yang terjadi dua minggu sebelumnya. Warga di beberapa desa di Kecamatan Karangkobar, Wanayasa dan sebagian Pejawaran bisa mendengarkan informasi dari radio ini pada frekuensi 91.00 Mhz.
Kehadiran Jemblung Bangkit FM sangat berdampak positif bagi masyarakat yang membutuhkan informasi yang cepat dan akurat. Kepanikan warga akibat isu-isu yang meresahkan seperti akan adanya longsor susulan dapat dinetralisir dengan memberikan informasi yang lebih akurat baik oleh BPBD maupun pihak terkait lainnya. Tak hanya warga masyarakat terdampak bencana yang menyambut baik radio darurat ini. Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pun mengapresiasi kehadiran radio darurat.
Proses pengadaan peralatan siaran radio yang dimotori  JRKI dan JRK Jateng ini dilakukan secara gotong royong. Banyak pihak yang membantu pengadaan peralatannya seperti JRKI, Radio Komunitas Shakti FM Banjarnegara, TST Telkom Purwokerto, CRI, Karang Taruna Banjarnegara dan Jogloabang. Untuk memperkuat penyebaran informasi dan sistem komunikasi, radio yang berlokasi di Desa Karangkobar ini juga didukung dengan SMS Gateway, siaran streaming di www.sangkalajrki.net yang juga bisa diunduh di aplikasi android serta pengelolaan linimasa.
Radio darurat, harapan dan kenyataan
Melihat perjalanan radio darurat di Indonesia tersebut, terbukti pentingnya pengelolaan informasi yang baik dengan radio darurat sebagai salah satu alternatif medianya. Dalam situasi bencana, informasi sering menjadi permasalahan tersendiri terutama oleh media massa yang pemberitaannya cenderung bombastis serta mengesampingkan efek psikologis pada para penyintas. Keberadaan radio darurat yang dikelola secara bersama antara warga di daerah bencana, pemerintah, media massa serta relawan dapat mengurangi distorsi informasi tersebut.
Meski menjadi negara yang dihadapkan berbagai ancaman bencana, sampai saat ini Indonesia belum memiliki regulasi radio darurat. Padahal regulasi itulah yang akan melindungi dan mengatur keberadaan termasuk alokasi frekuensi khusus untuk radio darurat.
Karena itulah penyelenggaraan radio darurat yang selama ini dilakukan sesungguhnya memang tidak pernah dibenarkan dalam regulasi penyiaran kita, meski faktanya sangat dibutuhkan di lapangan. Dalam praktiknya kemudian, para aktivis penyiaran berpegang pada prinsip bahwa cara-cara darurat dibenarkan untuk digunakan ketika menghadapi situasi darurat. Frekuensi yang dipakai untuk siaran pun menggunakan frekuensi yang masih kosong agar tidak mengganggu radio lain yang sudah memiliki ijin menggunakan frekuensi.
Hingga kini, belum banyak daerah yang yang memasukkan radio sebagai bagian dari sistem informasi dan komunikasi kebencanaan di rencana kontinjensi (suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi-red) mereka. Campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mempermudah koordinasi lintaspihak dalam upaya tanggap bencana serta sekaligus meningkatkan eksistensi keberadaan radio darurat.
Radio komunitas yang dijadikan radio darurat ini selain bisa dioperasikan melalui frekuensi analog FM, juga bisa dioperasikan menggunakan streaming yang bisa diakses pula melalui aplikasi android. Keberadaan jejaring media sosial seperti youtube, twitter dan facebook sangat mendukung kegiatan penyiaran darurat, termasuk untuk memublikasikan kondisi riil lokasi bencana kepada dunia luar.

Radio darurat masa depan
Pada akhirnya legalitas keberadaan radio darurat yang terbukti dibutuhkan ini kembali pada seberapa kuat kehendak pemerintah. Perlindungan dan pengaturannya dapat melaluiproses revisi UU Penyiaran atau menyusun Peraturan Bersama antara Menteri Kominfo, Mendagri dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Bentuknya bisa mengenai alokasi frekuensi khusus radio darurat, mekanisme perijinan, mekanisme pendirian dan strategi fasilitasinya. Untuk mendukung berjalanannya sistem informasi, perlu ada mekanisme yang mewajibkan penyedia layanan internet memberikan perhatian khusus saat terjadi bencana di wilayah Indonesia.
Radio darurat juga penting menjadi bagian dari sistem informasi dan komunikasi yang tertuang dalam rencana kontinjensi bencana, baik di tingkat nasional oleh BNPB, tingkat daerah oleh BPBD dan tingkat desa oleh Tim Siaga Desa. Jika selama ini inisiatif datang dari masyarakat, sudah saatnya negara menyambutnya dengan regulasi yang melindungi dan menguatkan keberadaan radio darurat sebagai media tanggap darurat, dan radio komunitas sebagai media untuk membangun kesiapsiagaan, membangun masyarakat yang tangguh dan hidup nyaman bersama ancaman.

Oleh: Sinam M Sutarno*/Kombinasi Edisi 60-Februari 2015-Merajut Semangat Bersama Radio Darurat

*Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI)

One thought on “Radio Komunitas Sebagai Radio Darurat : Membangun Komunikasi dan Informasi Partisipatif di Masa Tanggap Bencana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud