Radio Komunitas dan Krisis Ekologi

Radio Komunitas Gema Lestari FM di Desa Hanura

Krui adalah nama ibukota Kecamatan di Kabupaten Lampung Barat yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya. Setidaknya ada tiga jenis tanaman yang menjadi andalan Krui, yaitu damar, cengkeh, dan lada.

Budi Arman, Fasilitator Kecamatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Kecamatan Karya Punggawa, Lampung Barat, mengatakan Krui adalah penghasil damar nomor satu di dunia. Selain itu, Krui memiliki pantai yang sangat indah dan tambang uranium dan emas yang sangat potensial sebagai modal pembangunan.

Wilayah Krui merupakan perpaduan lanskap pantai dan perbukitan yang dikelilingi oleh Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sejak zaman penjajahan Belanda, warga Krui mengelola hutan sehingga kelestarian hutan menjadi tanggung jawab marga-marga masyarakat asli Lampung. Namun, pada zaman Orde Baru separohnya wilayah hutan diambil oleh pemerintah sebagai hutan negara. Pada 1970-an, Pesisir Krui menjadi wilayah kerja pengusahaan hutan. Lalu, pihak swasta masuk wilayah ini untuk mengeksploitasi hutan. Inilah asal muasal konflik di wilayah Krui yang berkembang hingga saat ini.

Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pada Agustus 2010, penulis bertemu dengan seorang warga pengelola satuan hutan masyarakat. Ia biasa dipanggil Agus. Agus tinggal di Desa Hanura, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Di rumahnya yang sederhana berdiri studio Radio Komunitas Gema Lestari. Selain pegiat radio komunitas, Agus menjabat sebagai Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat bernama Sistem Hutan Kerakyatan Lestari (SHK Lestari).

Penulis berbincang-bincang dengan Agus, Koordinator SHK Lestari dan Radio Komunitas Gema Lestari

SHK Lestari memiliki 400 anggota. Mereka mendirikan SHK Lestari sebagai media untuk memperjuangkan hak pengelolaan lahan seluas 1.000 Ha di wilayah Taman Hutan Rakyat Wan Abdurahman (8 km arah barat Bandar Lampung). Hubungan antara masyarakat dan negara sebagai pemegang otoritas hutan selalu kurang harmonis. Situasi itu terjadi hampir merata di wilayah Provinsi Lampung, terutama Lampung Barat. Sumber ketegangan berakar dari perbedaan pandangan antara masyarakat dan negara atas hak pengelolaan sumber daya alam. Ketegangan itu telah berlangsung bertahun-tahun sejak negara merampas hak pengelolaan hutan dari tangan masyarakat.

Sebaran penduduk di Provinsi Lampung cukup unik. Sebagian besar penduduk di wilayah Agus menggunakan bahasa Sunda dan Jawa dalam berkomunikasi. Kondisi ini tak lepas dari perpindahan penduduk besar-besaran pada masa penjajahan Belanda. Dua generasi orang tua Agus atau warga lainnya datang dari Pulau Jawa ke wilayah itu dan menjadi perambah hutan. Namun, semenjak penguasaan tanah oleh negara di bawah Departemen Kehutanan membatasi gerak mereka dalam memanfaatkan lahan.

Poster Pendidikan Kewargaan SHK Lestari

Lalu, lahirlah gerakan penyadaran lingkungan yang mengubah sebagian besar pendekatan dalam mengelola sumber daya alam. Agus menceritakan peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memotivasi para petani untuk berorganisasi. Hingga SHK Lestari menjadi sebuah kelompok yang dapat menguatkan pengetahuan anggotanya dalam bercocok tanam sekaligus dapat menegosiasikan kebutuhan mereka di depan perangkat negara. Setelah berorganisasi, para petani mengetahui pola penanaman yang dapat menjaga kegemburan tanah. Sementara para petani lain cenderung dengan mudah mematuhi saran Departemen Kehutanan untuk menanam jenis pohon tertentu yang mungkin dapat menghasilkan banyak keuntungan, namun merusak tata kelola dan kesuburan tanah.

Beberapa jenis tanaman, menurut Agus, memang membawa keuntungan ekonomi. Namun tanaman itu menyebabkan struktur tanah menjadi keras hingga sulit ditanami tanaman lain. Mendengarkan pemaparan Agus, penulis semakin memahami pengertian dan kearifan dalam mengelola alam yang kini semakin tergerus oleh kepentingan ekonomi sesaat.

Organisasi Rakyat Alat Menahan Krisis Ekologi

Perbedaan cara pendekatan antara negara dengan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam mudah ditemui di seluruh penjuru negeri ini. Tidak sekadar soal tanam-menanam, tapi perbedaan itu telah memasuki wilayah pembuatan kebijakan publik, misalnya pada pengaturan penguasaan tanah sebagai sumber kehidupan warganya. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah seringkali merusak kekayaan hayati. Alih-alih membangun kerjasama yang produktif dengan SHK, Departemen Kehutanan justru sibuk mempertanyakan standar-standar organisasi yang harus dimiliki oleh kelompok tersebut.

Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk melemahkan keberadaan SHK sebagai kelompok yang independen dan memaksa untuk membentuk kelompok tani yang diinginkan oleh pihak pemerintah. Kemandirian rakyat memang masih menjadi barang yang ditakuti oleh negara, hingga saat ini. Sikap menolak untuk menyerahkan retribusi yang diminta Departemen Kehutanan kepada para petani ditunjukkan oleh SHK, karena kebijakan tersebut dianggap tidak memiliki landasan hukum dan terlebih karena pungutan tersebut dianggap tidak jelas bermuara ke mana.

Perselisihan antarmanusia dalam pengelolaan sumber daya alam sejatinya akan terus demikian karena berakar dari cara pandang yang berbeda dalam melihat relasi manusia dengan isi alam. Penganut ekologi sosial akan melihat kapasitas produksi alam kiranya hanya dapat berlangsung dengan baik jika kondisi-kondisi produksi yang ada terpelihara sama baiknya. Alam bukan lah sarana untuk memuaskan kebutuhan material manusia. James O’connor yang menuangkan pemikiran Marx dalam kerangka krisis ekologi melihat degradasi ekologis terjadi sebagai dampak buruknya cara penggunaan dan transformasi sumber daya alam untuk dituangkan ke dalam bentuk akumulasi modal. Ia menyebutnya sebagai ”kontradiksi kedua” dari kapitalisme yang ditandai dengan kecenderungan krisis ekonomi akibat kegagalan pengelolaan kapasitas produksi alami ini.

Upaya Agus dan teman-temannya di SHK untuk menggorganisasi diri tidak boleh dipandang sebelah mata. Kemandirian mereka perlu didukung karena pada kelompok-kelompok semacam ini lah kita masih bisa berharap dapat menahan laju krisis ekologi. Keberadaan Radio komunitas Gema Lestari, sebagai unit informasi dan komunikasi di dalam SHK, tentunya menjadi relevan sebagai mitra yang memiliki keberpihakan yang sama saat ini.

Ranggoaini Jahja, Deputi Direktur COMBINE Resource Institution.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud