Perpustakaan, Media Pembangkit Komunitas Literasi Pundong

Pundong merupakan salah satu kota kecamatan di Kabupaten Bantul. Letaknya di bagian selatan Yogyakarta. Untuk mencapainya, dari arah Kota Yogyakarta, kita mesti menyusuri jalan Parangtritis sepanjang 18 kilometer. Seperti daerah lainnya, akhir Mei 2006, Pundong merupakan salah satu kawasan yang mengalami rusak parah akibat gempa. Rumah, sekolah, sarana publik, tak terkecuali perpustakaan juga hancur. Bahkan, guyuran hujan selama tiga hari pascagempa melumat sebagian besar koleksi pustaka di sana. Buku pelajaran, majalah, novel, media pengajaran lainnya, lumat bak bubur donat.Perpustakaan di Pundong tersebar di setiap sekolah, dari sekolah dasar hingga lanjutan atas. Sebelum gempa, perpustakaan-perpustakaan di Pundong hanya melayani kebutuhan bacaan siswa, terutama bacaan penunjang pelajaran di sekolah. Fasilitas di tiap perpustakaan sangat beragam, dari yang memiliki ruang khusus hingga menempel dengan ruang lainnya. Banyak perpustakaan sekolah dasar belum memiliki ruangan khusus. Ada yang menyatu dengan ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS), Bimbingan Penyuluhan (BP), juga ruang guru. Kondisi itu diperparah dengan langkanya tenaga khusus yang menanganinya sehingga perpustakaan bak hiasan pelengkap saja.

Perpustakaan Sekolah Dasar Negeri Seyegan merupakan salah satu perpustakaan sekolah di Kecamatan Pundong. Sebelum gempa, perpustakaan itu menempel dengan ruang guru dan tidak memiliki tenaga pustakawan. “Tiada yang istimewa dari perpustakaan ini sebelum gempa,” kata Kepala SDN Seyegan Suharyanto BA. Menurutnya, saat gempa, seluruh gedung sekolah hancur. Lebih dari 50 persen koleksi perpustakaan tak terselamatkan, lumat terguyur hujan. Kegiatan sekolah pun terpaksa digelar di tenda-tenda darurat, sebab ujian siswa mesti dilaksanakan, satu bulan lagi. Koleksi perpustakaan yang selamat meski dalam kondisi yang “mengenaskan” tetap menjadi bahan bacaan favorit siswa, bahkan ia menjadi media hiburan bagi mereka. Bacaan menjadi pelipur lara akibat gempa. “Kata mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sini itu disebut biblioterapi,” ungkapnya.

Mengutip pepatah bijak, di balik setiap peristiwa selalu ada hikmahnya. Beberapa bulan selanjutnya, proyek rekonstruksi bangunan tiba. Proyek pembangunan umumnya hanya melakukan pendirian ruang-ruang kelas untuk kegiatan belajar mengajar. Tidak ada alokasi untuk pendirian ruang perpustakaan. Akhirnya, Suharyanto memanfaatkan satu ruang kelas untuk perpustakaan. Lokasi yang ia pilih pun sangat strategis, ruang dekat gerbang masuk sekolah. Kini, pengunjung yang datang menandai perpustakaan sebagai ciri khas SDN Seyegan.

Permasalahan besar dalam pendidikan dasar adalah rendahnya kemampuan baca siswa. Tak sedikit siswa kelas 4 yang belum lancar membaca. Siswa lebih menyukai kegiatan tontonan dari pada membaca. Rendahnya kemampuan baca siswa menyebabkan sang kepala sekolah pun harus memutar otak. Ia sadar, kemampuan baca yang rendah itu sangat menghambat aktivitas belajar siswa. Pada pertemuan dengan wali murid, ia mengajak orang tua membantu dan mendampingi anak-anaknya melakukan aktivitas membaca. Ia mengirimkan surat resmi pada setiap orang tua murid. Ia juga bekerja sama dengan guru-guru kelas untuk memotivasi siswanya berkunjung ke perpustakaan saat jam istirahat, baik melalui penugasan maupun pekerjaan rumah. Namun, sempitnya waktu istirahat dan banyaknya aktivitas siswa di luar sekolah menyebabkan usaha tersebut tak menuai hasil maksimal. Saat istirahat, siswa justru memilih berkunjung ke kantin daripada ke perpustakaan.

Lalu, muncullah ide untuk membuat jam kunjung wajib perpustakaan. Ia memasukkan satu jam wajib kunjung dijadwal pelajaran layaknya mata pelajaran lainnya. Entah apa namanya, bisa disebut muatan lokal atau lainnya, ia tak begitu merisaukannya. Ia hanya berpikir kemampuan baca siswa harus meningkat supaya kemampuan akses mereka pada pelajaran bertambah tinggi.

Setelah memasukkan jam wajib kunjung perpustakaan pada jadwal pelajaran, hasilnya luar biasa. LISC (Library and Information Studies Center) Yogyakarta, sebuah lembaga pusat studi pengembangan perpustakaan, melaporkan, usaha itu terbukti dapat meningkatkan minat baca siswa. Rata-rata siswa membaca 10-14 buku per bulan. Bahkan, ada beberapa siswa yang tiap bulannya mampu membaca 25-29 buku. Ini sebuah peningkatan yang bagus dari data sebelumnya, yaitu rata-rata siswa hanya membaca 2-6 buku per bulan.

Perlahan, Suharyanto menyusun proposal hibah bahan pustaka sebagai solusi minimnya dana sekolah untuk membeli bahan pustaka. Metodenya kadang unik dan konyol. Ia rajin menulis alamat-alamat lembaga. Informasinya ia dapatkan dari teman, poster di jalan, maupun dari kop-kop amplop surat yang ia temukan secara kebetulan terserak di jalanan. “Jika ada amplop yang ada alamatnya, saya segera kirimkan proposal,” lanjutnya sembari tersenyum simpul.

Untuk pengembangan perpustakaan perlu melatih tenaga pengelola perpustakaan. LISC selanjutnya menjadi lembaga yang memberikan pelatihan secara cuma-cuma. Pustakawan di sekolah lain mulai diajak dalam peningkatan kapasitas pustakawannya. Ada 25 pustakawan yang aktif dalam pelatihan. Lalu, muncullah forum pustakawan sekolah dasar di Kecamatan Pundong. Kegiatan utamanya melakukan pelatihan-pelatihan rutin dan bergilir dari satu sekolah ke sekolah lain. Mereka mengkaji pembinaan minat baca, pengolahan bahan pustaka, klasifikasi, katalogisasi, sirkulasi, dan lain-lain. Tak berlebihan jika perpustakaan dianggap sebagai generator pembangkit komunitas literasi di Pundong.

Yossy Suparyo, Staf Manajemen Pengetahuan CRI Yogyakarta

Unduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud