Panduan yang dimaksud antara lain cara bertahan saat bencana dan contoh berita yang dibutuhkan komunitas pendengar radio untuk memerangi kemiskinan. ”Dalam bencana, stasiun radio bisa saja hancur. Namun, radio bisa langsung mengudara dalam seminggu bila pengelola menyimpan satu pemancar, satu mikrofon, dan satu mixer di tempat aman,” ujar Basnet yang berbasis di Nepal.
Perwakilan radio komunitas wanita Amarc, Bianca Miglioretto, mengatakan, radio komunitas merupakan benteng terakhir informasi ketika semua arus informasi terputus selama bencana. ”Radio komunitas sangat mudah didirikan, tak perlu daya jangkau luas maupun tenaga banyak. Radio komunitas juga tercepat dalam menyebarkan informasi bagi masyarakat,” katanya.
Dari 44 perwakilan radio komunitas yang hadir dalam acara hasil kerja sama Amarc, Combine Resource Institution (CRI), dan Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) ini, 10 orang di antaranya berasal dari Indonesia. Peserta antara lain berasal dari Fiji, India, Banglades, Jepang, dan Australia. ”Kami memilih Indonesia karena kami anggap radio komunitas di Indonesia sudah berpengalaman menghadapi bencana,” kata Miglioretto.
Beberapa radio komunitas di Indonesia yang berperan besar saat bencana antara lain Radio Lintas Merapi di Deles, Klaten; Radio Angkringan FM di Desa Timbulharjo, Sewon, Kabupaten Bantul; serta sejumlah radio komunitas di Aceh dan Nias.
”Radio kami fokus pada aktivitas Merapi, terutama di saat waspada. Radio ini ada setelah Merapi meletus pada 1994,” kata pengelola Radio Lintas Merapi, Sukiman. (IRE)