Peran Strategis Radio Komunitas

Paradigma Radio Komunitas dan Konteks Penyiaran di Indonesia

Tidak ada dokumen yang diketahui menyebutkan kapan pertama kali radio komunitas ada dan berdiri. Bahkan isitilah tersebut baru terdengar dan cukup dikenal semenjak advokasi Rancangan Undang-Undang Penyiaran sekitar awal tahun 2000-an.

Namun jika kita membalik-balik ingatan ke era akhir 80-an atau awal 90-an, maka kita akan bertemu dengan istilah radio gelap atau radio ilegal. Ciri-ciri radio ini antara lain menjalankan siaran tanpa memiliki ijin, tayangan menu acaranya meniru radio swasta, dan acap dikejar-kejar aparat karena sering mengganggu frekuensi lainnya, termasuk frekuensi penerbangan. Jenis radio ini seringkali juga bersiaran dengan cara on and off (kadang-kadang mengudara kadang tidak, tergantung dengan mood penyiarnya). Radio jenis ini memiliki kesan negatif karena dari ciri-ciri yang disebutkan di atas sehingga radio ini menjadi tidak begitu disenangi oleh kelompok penyiaran lainnya. Bahkan kesan tersebut masih kuat hingga saat ini, termasuk di beberapa daerah.

Beberapa kalangan menyebutkan inilah cikal bakal radio komunitas di Indonesia, radio yang berbeda dari radio komersial dan radio milik pemerintah (RRI) kala itu. Meskipun jika mengacu pada definisi yang ada dalam Undang-Undang Penyiaran nomor 32 tahun 20023, ciri-ciri yang disebutkan di atas sangatlah jauh dari isi pasal dalam Undang-Undang tersebut.

Radio komunitas tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi hampir seluruh negara di dunia juga mengenal istilah tersebut. AMARC (Asosiasi Penyiar Radio Komunitas Dunia) sendiri tidak mendefinisikan secara ketat apa itu radio komunitas, tetapi paling tidak ada dua indikator yang menjelaskan hal tersebut, yakni: not for profit (tidak untuk mencari keuntungan) dan independent (mandiri)4. Kedua indikator ini hanyalah untuk binding (pengikat) dari segala tipikal radio komunitas yang ada. Misalnya, radio komunitas di Afrika Selatan, mereka bisa saja memiliki badan hukum Perseroan Terbatas (PT)5, tetapi misi yang dijalankan tetap saja membangun kesadaran warganya untuk concern pada kepentingan masyarakat lokal/setempat (public interest), atau di Swiss misalnya, Radio komunitasnya menyuarakan kepentingan masyarakat, meskipun radio tersebut juga mencari penghasilan dan mendapatkan dana rutin dari anggaran pemerintah lokal.6 Kedua contoh di atas ingin memberikan gambaran bahwa definisi masing-masing negara berbeda, akan tetapi tetap ada indikator yang dapat mengindentifikasi bahwa sebuah stasiun radio tersebut adalah radio komunitas.

Untuk kasus Indonesia kedua indikator yang merupakan prinsip dari AMARC tersebut di atas dapat diterima, namun dengan berbagai diskusi dan pertimbangan (sewaktu advokasi RUU Penyiaran berlangsung), soal banyak keterbatasan dalam definisinya juga diperdebatkan, dan akhirnya ditentukan seperti dalam Undang-Undang Penyiaran, radio komunitas di Indonesia didefinisikan sebagai lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen dan tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.

Dipandang dari kondisi makro, radio komunitas saat ini tengah mengalami masa transisi yakni perubahan dari image sebagai radio (yang dianggap) ilegal menjadi radio komunitas. Mengapa disebut demikian? Dari uraian di atas membuktikan bahwa pada periode sebelum awal 2000 an, “radio komunitas” merupakan bentuk penyiaran yang banyak memiliki berbagai ciri negatif, dan secara perlahan beralih dan menata diri menuju radio legal dan melakukan penyesuaian dalam visi dan misinya yang berbasis pada komunitasnya. Dalam uraian kasus-kasus pada bagian belakang nanti dapat diamati bagaimana praktek-praktek yang dilakukan oleh radio komunitas dapat disebut sebagai praktek yang sebenarnya dari sebuah radio komunitas.

Dalam menata dan melakukan penyesuaian tersebut di atas bukan tanpa kendala. Kendala utama terletak dari sistem perundang-undangan dan peraturannya yang hingga kini masih belum memiliki kepastian yang jelas. Tarik menarik kepentingan antar pihak diduga merupakan penyebab ketidakjelasan tentang hal tersebut. Meskipun demikian, proses yang terjadi di dalam radio komunitas seharusnya tetap berjalan. Demikian pula tantangan yang harus dihadapi oleh radio komunitas tidaklah sedikit. Yang paling utama adalah bagaimana menempatkan posisi stasiun tersebut sebagai radio yang benar-benar berbasis pada komunitas. Kedua hal tersebut tak mudah dijalani. Soal yang pertama dibutuhkan energi yang cukup untuk mengawal proses tersusun dan disepakatinya aturan perundangan yang ada. Tantangan untuk merubah posisi (repositioning) membutuhkan proses yang cukup panjang dan lama. Untuk itulah keberadaan NGO ataupun pihak-pihak  yang memiliki konsen terhadap perkembangan radio komunitas dan juga asosiasi radio komunitas tersebut diperlukan.

Pilar Penyiaran di Indonesia, dan Peran Penting Radio Komunitas di Indonesia

Dalam Undang-Undang disebutkan ada empat jenis penyiaran, (1) Penyiaran Publik, (2) Penyiaran Komersial, (3) Penyiaran Komunitas dan (4) Penyiaran Berlangganan. Penyiaran komersial dan berlangganan memiliki karakter dan prinsip yang mirip satu dengan lainnya yakni berbasis pada industri (bisnis) dan berorientasi pada kepentingan mencari keuntungan. Sementara dua jenis penyiaran yang lain yakni publik dan komunitas memiliki karakter yang berbeda dari dua yang disebutkan pertama, yakni berorientasi kepada kepentingan publik dan masyarakat. Radio komunitas pada dasarnya memainkan peran yang hampir sama dengan media masa pada umumnya, hanya saja pada wilayah (level of playing field) yang terbatas. Dibatasinya jangkauan layanan jenis media penyiaran ini justru diharapkan dapat memberikan layanan secara lebih spesifik dan membuka partisipasi secara lebih sempurna kepada komunitasnya. Semakin luas jangkauan siaran akan semakin sulit mendapatkan partisipasi dari masyarakat, karena apapun media ini merupakan refleksi kebutuhan komunitasnya. Dengan demikian ada pula fungsi kontrol sosial yang dimilikinya, fungsi menghibur, mendidik dan menginformasikan berita yang benar-benar merefleksikan kebutuhan komunitasnya.7

Untuk memperjelas posisi strategis penyiaran komunitas dalam pemenuhan hak akan informasi dan komunikasi masyarakat dapat dilihat dari peta media penyiaran di Indonesia. Saat ini jumlah radio swasta,  dan juga RRI dan RSPD tidak kurang dari 1.500 stasiun (data perkiraan penulis). Dari peta jangkauan siaran seluruh radio tersebut tidak sepenuhnya menjangkau kawasan pemukiman yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Penyebab utamanya selain dari segi jangkauan sulit (wilayah pedalaman), banyak wilayah yang tidak terjangkau tersebut bukan merupakan “wilayah komersial”, sehingga tidak menarik untuk dibangun penyiaran komersial. Sehingga selain peran sebagai media alternatif yang memenuhi kebutuhan spesifik komunitasnya, juga peran pemenuhan hak akan informasi dan komunikasi masyarakat.

Penyiaran Komunitas sebagai Media Alternatif


Selama ini kita mendapatkan informasi yang disebarkan melalui media melulu berasal dari pusat (Jakarta) atau kota-kota besar (ibukota Propinsi atau kabupaten). Lalu apa masalahnya? Apakah informasi tersebut kurang akurat? Bukan, yakinlah bahwa informasi tersebut cukup akurat. Tetapi pertanyaan yang mendasar adalah apakah informasi tersebut dibutuhkan oleh masyarakat? Untuk masyarakat di Aceh Tengah, misalnya  apakah hanya membutuhkan informasi tentang banjir di Bandung Selatan? Atau informasi tentang pelanggaran HAM di Papua? Masyarakat lokal butuh informasi seputar kejadian di Indonesia, tetapi mereka juga membutuhkan informasi tentang situasi yang terjadi di sekitarnya. Hampir semua masyarakat melihat Televisi swasta nasional yang beritanya nyaris sama, masyarakat juga mendengarkan radio yang sajiannya juga nyaris mirip, banyak hiburannya.

Bukan hanya itu, berbagai kritikan terhadap media siaran mainstream semakin memperjelas motif di belakang tayangan berita dan informasi yang berasal dari mereka. Beberapa kritikan terhadap media mainstream muncul sebagai berikut8 Media membahayakan moral publik; atau Media dikendalikan hanya oleh kalangan berada, kalangan bisnis, …. Lebih jauh, kontrol itu ada pada sedikit tangan penuh kuasa. Ini jelas mengancam prinsip dasar informasi dan gagasan yang bebas terbuka; Media hanya menjadikan masyarakat sebagai penonton, bukan pelaku; Media memberitakan lebih banyak dari kejadian sebenarnya dsbnya. Kritikan-kritikan ini sekaligus membuktikan bahwa media mainstream tidak bebas dari kepentingan, sehingga informasinyapun menjadi tidak bebas. Masih ingatkah kita akan berbagai iklan layanan masyarakat (PSA) pada saat UU Penyiaran hendak di sahkan tahun 2002 yang lalu? Hampir semua televisi nasional menayangkan PSA yang bersifat mendiskreditkan peran KPI, atau bahkan disebutkan UU Penyiaran mematikan pers Indonesia, dsbnya. Ini adalah bentuk penolakan para pemilik stasiun terhadap disahkannya UU penyiaran tersebut. Akan tetapi karena mereka memiliki power, maka yang terjadi adalah mereka mempengaruhi opini publik terhadap keberadaan UU Penyiaran melalui cara-cara semacam itu. Bahkan hingga kini tak satupun berita atau informasi mengenai sepakterjang KPI ditayangkan dalam televisi. RRI tak berbeda. Pada masa Orde baru bagaimana represinya pemerintah menggunakan tangan RRI untuk mengharuskan media radio komersial menerima relay sepanjang hari. Sementara kemasan beritanya telah dipenuhi oleh jargon dan propaganda pemerintah. Media Penyiaran komunitas justru tidak dapat mendominasi kepentingan individual atau kelompok interest tertentu. Media penyiaran komunitas, karena dikuasai oleh komunitasnya, maka ia harus benar-benar dapat bertanggungjawab kepada komunitasnya.

Penjelasan di atas hanya ingin memberikan gambaran betapa kekuatan di balik media mainstream begitu kuat mengatur isi. Dari penjelasan di atas, dapat ditafsirkan ada kebutuhan yang belum terpenuhi oleh masyarakat, terutama informasi berkaitan dengan kondisi sekitarnya. Namun demikian ada yang lebih strategis dan mendasar dari peran radio komunitas ketimbang sebagai media yang memberikan alternatif informasi (community radio as a media alternative).

Ada esensi mendasar yang harus diperhatikan ketika radio komunitas ingin ditempatkan sebagai bagian dari komunitasnya. Paling tidak, beberapa ciri-ciri dibawah ini harus menempel dalam badan radio komunitas

Berskala lokal dan mendorong partisipatif warga. Karena tipologinya yang mendorong partisipasi warga masyarakat, maka skala terbatas merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan. Dengan keterbatasan jangkauan diharapkan dapat memberi kesempatan pada setiap prakarsa warga komunitas untuk tumbuh dan tampil setara sejak tahap perumusan program siaran, pengelolaan hingga kepemilikan. Untuk mampu menjawab kebutuhan komunitasnya, radio tersebut haruslah membangun partisipasi warga masyarakatnya seluas mungkin. Ketika kelompok masyarakat terlibat dalam proses untuk merumuskan program dan thema siaran, maka dari proses tersebut telah mengindikasikan terbangunnya proses yang demokratis. Semakin banyak yang terlibat – dengan proses yang tepat – akan membangun keragaman dalam berbagai konteks dan semakin menumbuhkan proses yang partisipatif. Dari sisi ini, radio tersebut dapat menjadi alat bagi terciptanya proses partisipasi dalam masyarakat. Memang, mengelola partisipasi tidaklah mudah, semakin banyak orang/individu yang terlibat didalamnya, maka pengelolaan partisipasi semakin sulit. Oleh karenanya, radio komunitas memiliki jangkauan yang terbatas adalah untuk memudahkan pengelolaan partisipasi tersebut dan sekaligus mengelola proses keterlibatan warga komunitasnya dalam penyiaran yang dijalankan.
Teknologi siaran yang dipergunakan sesuai dengan kemampuan ekonomi komunitas dan bukan bergantung pada campur tangan pihak luar. Untuk membangun sense of belonging yang tinggi, maka partisipasi masyarakat dalam hal penyediaan peralatan sesuai dengan kemampuannya merupakan hal penting yang harus dipertimbangkan, meskipun bukan tidak mungkin sumber pembiayaan dari luar komunitas (hal ini memerlukan pendekatan yang tepat agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari). Sudah banyak cerita yang menyebutkan bahwa peralatan yang didatangkan dan didukung pihak luar akan menjadi bermasalah saat terjadi kerusakan, yakni keengganan warga masyarakat untuk memperbaikinya, dan sebaliknya dengan pembiayaan yang keluar dari kantong warga secara kolektif, akan mendapat dukungan penuh dari warga masyarakat manakala terjadi kerusakan pada peralatan tersebut. Pada sisi lain, seringkali pengelola radio terjebak pada keinginan memiliki peralatan yang mutakhir dan canggih, sehingga memaksakan diri untuk membeli peralatan tersebut melalui kantong sendiri yang pada gilirannya memunculkan konflik ”kepemilikan” diantara pengelola tersebut.
Didorong oleh misi kebaikan bersama komunitas dan bukan mencapai tujuan keuntungan uang. Sejak awal radio komunitas harus mendeklarasikan misinya kepada masyarakat, termasuk operasionalisasinya yang mengandalkan semangat kesukarelawan penyiar dan pengelolanya. Jika tidak akan sulit untuk menjaga semangat tersebut yang telah dimunculkan sedari awal pendirian. Telah banyak pengalaman menyebutkan pada akhirnya pengelola radio berupaya ”mencari pendapatan” dari stasiun radio, dengan dalih telah bekerja keras demi keberlanjutan radio.
Mengemukakan masalah-masalah bersama untuk dicarikan solusinya, sehingga siaran Radio komunitas dapat mendorong keterlibatan aktif komunitas dalam upaya perubahan sosial-politik. Sebagai media milik bersama (masyarakat), maka persoalan-persoalan bersama yang ada di masyarakat layak disiarkan dan diadvokasi. Ketika persoalan-persoalan tersebut diangkat, maka harapannya semakin banyak warga masyarakat yang concern dengan persoalan bersama (karena mendengar dan mengetahuinya sehingga mendorong kesadaran akan pentingnya masalah tersebut diselesaikan), dan pada gilirannya semakin memperluas keterlibatan warga masyarakat dari berbagai lapisan yang ada di wilayah tersebut. Kondisi demikian akan mendorong terjadinya perubahan iklim sosial politik ditingkat lokal (desa/kampung).

Penjelasan di atas dapat dijelaskan secara lebih sederhana dari tabel di bawah ini. Apa bedanya isi siaran radio komunitas dengan radio yang lain? Berikut kira-kira analisis sederhananya

Swasta
Publik
Komunitas
Inisiatif penyusunan materi siaran
Pengelola berdasarkan hasil rating oleh surveyor dan juga selera/kreativitas  pengelola.
Pengelola berdasarkan keputusan manajemen
Pengelola berdasarkan hasil diskusi dan kesepakatan bersama warga
Orientasi materi siaran

Diarahkan kepada segmen pasar yang disasar.
Luas untuk informasi kepada publik dari berbagai kalangan.
Kepentingan dan kebutuhan warga di wilayah tersebut
Sumber Informasi
Berasal dari informasi resmi, pejabat formal pemerintah/punya nama besar, tokoh selebritis
Pejabat formal menurut pemerintah.
Orang biasa, tokoh informal, petani, orang miskin dsbnya.

Keragaman tema
Cenderung mengikuti keinginan dan selera pasar
Cenderung mengikuti keinginan dan norma

Bergantung kepada tema-tema yang dibutuhkan warga setempat.
Pakem dan dialek
Cenderung mengikuti gaya bicara orang kota (Jakarta)
Menggunakan bahasa-bahasa formal dan kaku
Lebih mengikuti dialek lokal dan kebiasaan berbicara setempat.
Kontrol terhadap isi siaran
Selain pihak yang berwenang, pemilik dan juga pengiklan mengontrol isi siaran.
Selain pihak yang berwenang saat ini masih pemerintah yang membiayainya.
Selain pihak berwenang adalah warga masyarakat langsung dan juga DPK.
Sumber: analisis sederhana oleh penulis, juga berdasarkan analisis2 lain yang menjadi acuan penulis.

Dari sumber dan penyajian informasinya menurut tabel di atas menjadi jelaslah bahwa ada perbedaan mendasar yang menjelaskan bahwa dari sisi informasi yang disiarkan radio komunitas merupakan alternatif buat masyarakat setempat. Kategori alternatif dalam konteks ini adalah merupakan alternatif yang prioritas harus ada, atau dengan kata lain mutlak ada9. Sebagai media alternatif karena radio komunitas merupakan media di luar yang sebelum ini ada (orang sering menyebut media komersial dan publik sebegai media mainstream). Dari sisi mutlaknya adalah informasi yang disiarkan merupakan kebutuhan masyarakat, sehingga dari sisi tersebut dia mutlak harus ada.

Dari soal sumber informasi dan juga ketokohan dan nara sumber, radio komunitas akan sangat berbeda dengan jenis penyiaran lainnya. Narasumber yang dijadikan tokoh-tokoh untuk ditayangkan sangat beragam dan tidak mementingkan nama, jabatan dan sebagainya. Hal ini sekaligus mencirikan bahwa radio komunitas itu mendorong keragaman dan juga desentralisasi informasi.

Karena misi dan cirinya, radio komunitas dapat benar-benar dimanfaatkan sebagai agen perubahan untuk kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat, terutama jika dikaitkan dengan penegakan transparansi dan akuntabilitas publik lokal. Dalam pengamatan penulis terdapat beberapa contoh perubahan-perubahan mendasar yang dipromosikan oleh radio komunitas dalam beberapa tahun terakhir ini.

a) Membangun Transparansi
Radio Wiladeg di Gunungkidul, DIY menyiarkan Pidato LPJ Kepala Desa secara langsung. Radio komunitas yang terletak di desa Wiladeg, kecamatan Karangmojo Gunungkidul ini menghadirkan Kepala Desanya untuk membacakan laporan Pertanggungjawaban tahunannya kepada BPD dan masyarakat umum. Pidato yang disiarkan langsung tersebut mendapat respon positif dari masyarakat dan kalangan stakeholder wilayah tersebut. Masyarakat umum yang selama ini tidak menyadari arti pentingnya pertanggungjawaban tersebut merasa penting untuk mendengarkan dan sekaligus mengomentari secara langsung, karena pidato tersebut juga menjelaskan apa-apa saja yang telah dilakukan Pemerintah Desa dalam pembangunan wilayahnya.

Radio Angkringan FM, Timbulharjo, Bantul, DIY  menyiarkan langsung acara rapat dengar pendapat Eksekutif Desa dengan BPD setempat. Melalui perjuangan yang cukup alot yakni meminta ijin kepada Kepala Desa, akhirnya crew Angkringan FM diijinkan meliput langsung berbagai acara dengar pendapat dan rapat yang dilakukan antara pihak eksekutif desa dengan BPD nya, dimana masyarakat dapat secara langsung mendengarkan acara tersebut dan memberi komentarnya melalui studio ataupun telepon dan juga disiarkan langsung. Acara ini diyakini oleh pengelolanya dapat mengurangi potensi ”bermainnya” para politisi lokal dengan eksekutifnya dan juga menuntut kehati-hatian pelaksanaan putusan yang dihasilkan dalam rapat tersebut, karena akan dipantau terus menerus oleh masyarakat.

Radio Angkringan FM juga menyelenggarakan siaran kampanye kandidat dalam pemilihan lurah desa pada tahun 2004 yang lalu. Seluruh kandidat diminta untuk menjelaskan programn-programnya dalam siaran secara bergantian. Hal ini selain untuk memberi kesempatan masyarakat mengetahui program-programnya juga untuk mencatat apa-apa saja program pembangunan yang diusulkan dan ketika salah satu kandidat menang, maka apa yang pernah dikampanyekan akan menjadi bahan bagi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pembangunan. Radio tersebut tidak hanya menyiarkan pada saat kampanye berlangsung, tetapi setelah kandidat lurah terpilih, maka rekaman tersebut diputar berulang-ulang untuk mengingatkan masyarakat akan janji-janji tersebut.

Radio Pesona FM, di Pemenang, Lombok pernah menyiarkan secara langsung RAT (rapat Anggota Tahunan) sebuah koperasi. Semenjak itu setiap ada informasi perkembangan koperasi tersebut selalu disiarkan melalui radio Pemenang. Alhasil, omset dan anggota koperasi meningkat tajam. Mereka menganggap koperasi tersebut lebih transparan dibanding yang lain. Dampak berikutnya, adalah koperasi-koperasi yang lain kemudian mengikuti jejak yang sama, dengan menyiarkan secara langsung RAT. Secara tidak langsung radio membangun transparansi koperasi-koperasi dan kepercayaan terhadap koperasi yang ada di kecamatan Pemenang meningkat.

b) Sebagai Media Advokasi
Radio Panagati FM di Kelurahan Terban, kota Yogyakarta menggelar beberapa sesi dialog Wakil Walikota dan Anggota DPRD dalam rangka Advokasi Persoalan Bantaran Sungai. Bahkan pada saat dialog dengan wakil walikota saking antusiasnya warga, siaran tersebut dihubungkan dengan pengeras suara yang ada di mesjid-mesjid setempat dan dikumandangkan melalui pengeras mesjid. Alhasil selama dialog berlangsung tak jarang warga langsung menelpon studio dan menanyakan hal-hal spesifik berkaitan dengan kebijakan Pemerintah terhadap lokasi bantaran sungai. Radio dalam hal ini mengupayakan penyebaran informasi yang ikut mendorong kesadaran warga masyarakat kelurahan Terban akan pentingnya persoalan-persoalan publik yang menyangkut masa depan mereka.

c) Sebagai Promosi Budaya Lokal
Radio Primadona FM, Bayan, Lombok Barat menyelenggarakan acara Selemor Hate, acara yang seluruhnya menggunakan bahasa dan lagu-lagu lokal dan menceritakan sejarah masa lalu desa dan wilayah setempat. Antusiasme masyarakat terutama orang tua ternyata tinggi sekali. Bahkan setelah beberapa tahun bersiaran, anak-anak muda juga mulai tertarik dan bahkan kini tengah menyiapkan pendirian semacam pusat budaya Sasak di desa tersebut. Belakangan, radio komunitas di kabupaten Lombok Barat banyak menyelenggarakan acara-acara sejenis. Alhasil, terutama masyarakat di wilayah Lombok Utara menjadi sangat familiar dengan jenis siaran-siaran berbau budaya lokal.

d) Sebagai Kontrol Pembangunan
Radio Ampera FM di Sekotong, dan Radio Rakola FM, di Labuapi, Lombok menyiarkan beberapa berita temuan (hasil investigasi lapangan) mereka terhadap pelaksanaan program-program pembangunan di wilayahnya, terutama berkaitan dengan proyek-proyek dari luar (pemerintah, bantuan luar negeri seperti PPK dan sebagainya). Berita-berita yang dilansir terutama untuk memberikan informasi tentang perkembangan pembangunan wilayahnya, termasuk membangun transparansi penggunaan dana program dan implementasinya di lapangan.

Kendala dan Permasalahan

Keterbatasan Frekuensi dan Jangkauan
Radio komunitas saat ini hanya diperbolehkan beroperasi pada tiga kanal (menurut ketentuan Kepmenhub no 15 tahun 2002 dan no 15A tahun 2003) yakni di frekuensi FM 107,7 Mhz; 107,8 Mhz; 107,9 Mhz, dengan jangkauan yang terbatas (power maskimal 50 watt dan jangkauan layanan maksimal 2,5 km). Pertanyaannya apakah dengan keterbatasan ini radio komunitas dapat optimal memberi layanan kepada komunitasnya? Tentu saja tidak. Berapa ukuran-ukuran optimal yang harus ditetapkan? Tidak ada angka yang pasti, karena wilayah satuan-satuan komunitas di Indonesia juga sangat bervariatif. Lalu soal kanal yang jumlahnya hanya tiga? Marilah kita bayangkan berapa banyak komunitas yang belum terlayani media penyiaran audio? Hasil perhitungan saat ini ada sejumlah 680 stasiun radio komunitas yang beroperasi di Indonesia, dan itu masih belum memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat yang selama ini belum mendapatkan akses terhadap siaran. Kesimpulannya, jumlah kanal itupun belum mencukupi.

Apapun itu, saat ini aturan tersebut berlaku, dan ini artinya radio komunitas perlu mengikutinya. Bagaimana kondisi di Nangroe Aceh Darussalam? Masih terbuka luas soal alokasi frekuensi untuk radio komunitas dengan peraturan di atas jika menggunakan pola reuse channel. Yang dimaksud dengan Reuse Channel adalah penggunaan frekuensi yang sama oleh beberapa radio komunitas pada wilayah-wilayah yang berdekatan dengan diselingi frekuensi lainnya tanpa saling menganggu satu sama lainnya.

Minimnya Partisipasi Komunitas
Berkembangnya radio komunitas bak jamur di musim hujan. Yang sangat terlihat jelas adalah banyaknya keinginan dari pihak luar untuk mendorong agar komunitasnya tertarik untuk memiliki radio komunitas. Hal tersebut tidaklah keliru, hanya yang harus dipahami bagaimana persoalan partisipasi dan keterlibatan komunitas dalam artian yang luas dapat dibangun? Banyak juga yang kemudian terjebak pada soal “keinginan” untuk mengangkat agendanya sendiri ketimbang memfasilitasi dan mendorong komunitasnya agar dapat mewujudkan radio komunitas dalam arti yang sebenarnya.

Fakta di lapangan juga menunjukkan sebagian besar radio komunitas yang berjalan masih cukup minim partisipasi komunitas. Minimnya partisipasi tersebut menyebabkan pengelola tidak dapat memposisikan dan merefleksikan radio sebagai bagian dari komunitasnya dan akibatnya radio tersebut tidak dirasakan sebagai bagian dari komunitasnya. Dan juga hal ini berdampak peran-peran yang dijalankan untuk komunitasnya menjadi tidak jelas.

Akhirnya, dengan peran dan fungsi radio komunitas yang diutarakan di atas wajar saja hingga saat ini kita selalu disulitkan untuk mencari bentuk radio komunitas yang ideal, yang sudah sempurna. Namun bukan berarti hal tersebut tidak mungkin dicapai. Sebuah radio komunitas yang memiliki basis komunitas secara benar akan dapat mencapai hal tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pertanyaan sederhananya adalah apakah para pengelola radio komunitas yang ada sekarang ini memang telah memiliki semangat tersebut, ataukah masih terbuai dalam impian bahwa kelak suatu saat akan menjadikannya radio komersial. (I-Prakoso;B-Hermanto)

Sumber:

http://jrk-jateng.org/?p=40

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud