Krisis Air Akibat Ketidakpedulian Terhadap Lingkungan

Teriknya matahari tak menyurutkan niat seorang pria untuk menuju Fave Hotel di pinggir jalan raya yang padat lalu lintas di Kota Yogyakarta.  Sambil bertelanjang dada, pria warga Kampung Miliran itu pun mulai mandi, menyambun badannya, menyampo rambutnya, dan menggosok giginya di depan hotel. Uniknya, bukan air yang dipakainya untuk mandi,  melainkan dengan tanah! Banyak orang yang mengerumuninya heran dan menanyakan maksudnya. “Air di rumah saya kering karena tersedot hotel!” tukas pria bermandi tanah itu. Usut punya usut, ternyata pembangunan hotel di wilayah kampungnya membuat  debit air sumur-sumur di kampungnya menyusut.**

Sementara pada waktu yang berbeda masih di kota yang sama, warga Kampung Karangwuni memperingati Hari Air Sedunia  pada 22 Maret 2015 dengan menggelar aksi mural untuk memprotes pembangunan apartemen Uttara di lingkungan mereka. Warga cemas, pembangunan apartemen itu akan berdampak pada krisis air di kampung mereka. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan air calon penghuninya, apartemen menyedot air hingga kedalaman 60 meter, jauh lebih dalam daripada sumur  warga yang hanya berkisar 10 sampai 15 meter. Meski menuai protes warga, pembangunan apartemen itu hingga kini tetap berjalan. Bahkan, protes warga berujung kriminalisasi bagi mereka yang berusaha mencegah krisis air.

Lain di Yogyakarta, lain pula di Rembang. Di kota kelahiran R.A Kartini itu, sekelompok ibu-ibu bahkan rela berkemah lebih dari 200 hari demi menolak pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng yang berpotensi merusak keberadaan mata air di kawasan itu. Meski mengalami kekerasan dan intimidasi dari aparat negara dan preman pabrik, para “Kartini Kendeng” itu tetap meneruskan aksi mereka demi mempertahankan fungsi kawasan di mana mereka bermukim dan menggantungkan hidup: Pegunungan  Kendeng.

Pegunungan Kendeng memang dikenal sebagai kawasan karst yang menyimpan ratusan mata air. Tak hanya itu, karena kualitas karstnya yang sangat bagus untuk dijadikan bahan baku semen, kawasan ini pun menjadi sangat menggoda untuk industri. Dengan prinsip konektivitas, pabrik semen terhubung dengan pertambangan pasir besi dan PLTU karena kedua industri tersebut menyediakan bahan baku bagi semen. Pabrik semen di ekosistem Pegunungan Kendeng memerlukan syarat sekaligus akibat, yaitu kematian sumber-sumber air bagi kelangsungan penduduk, binatang, dan tanaman pangan di kawasan tersebut.

Ketidakpedulian Terhadap Lingkungan

Perubahan lingkungan lebih sering terjadi karena kehendak manusia ketimbang proses-proses alami. Ekosistem karst diubah menjadi industri semen, pesisir diubah menjadi industri pasir besi, pemukiman diubah menjadi kawasan hotel dan apartemen, hutan diubah menjadi perkebunan adalah sederet contohnya. Pengubahan-pengubahan tersebut demi tujuan pertumbuhan modal sehingga ijin dipermudah karena menguntungkan pemerintah.  Apa yang terjadi bukan pertumbuhan ekonomi, tetapi akumulasi keuntungan segelintir pihak. Buktinya, kesenjangan sosial tetap saja diawetkan.

Ketidakpedulian terhadap masa depan bersama ternyata juga dilestarikan oleh kaum cendekia. Meminjam istilah yang dipopulerkan George Junus Aditjondro, “Ketidakpedulian bahkan dilembagakan sebagai lembaga-lembaga akademik atau lembaga yang mewarisi tradisinya (Institutionalization of Disengagement),” ketidakpedulian terhadap masa depan bersama pun bahkan dilakukan oleh pusat-pusat studi. Sebut saja Pusat Studi Agraria yang dibentuk untuk mengambil alih gerakan perjuangan atas ruang hidup dan sumber penghidupan ataupun Pusat Studi Lingkungan Hidup yang dibentuk untuk mengambil alih peran gerakan lingkungan. Pusat-pusat studi tersebut seharusnya menjadi lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas untuk mewakili kepentingan masyarakat dan untuk menentukan kebenaran.

Namun kenyataannya, hal yang dilakukan pusat-pusat studi itu justru semacam studi kelayakan untuk penerbitan ijin lingkungan, negosiasi resiko ekologi-sosial, dan membangun citra bahwa AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) menjamin semua akan baik-baik saja. Kesadaran agen-agen perusak lingkungan pun dibangun dari pertanyaan: “Bagaimana proyek menjadi layak dijalankan dengan memperhitungkan risiko secara nominal?”, bukannya pertanyaan: “Apakah suatu proyek dengan risiko penting dan luas semisal krisis air layak dimulai?”

Indonesia Darurat Air

Setiap tahunnya, kebutuhan akan air bersih semakin meningkat seiring meningkatnya populasi manusia. World Health Organization (2000), memperkirakan 2 milyar manusia di 40 negara terkena dampak kekurangan air setiap hari. Tak kurang dari 1,1 milyar manusia di bumi ini tidak memperoleh air yang layak dan 2,4 milyar penduduk tidak mendapatkan sanitasi yang baik. Pada tahun 2050 nanti, Perserikatan Bangsa-Bangsa (2003) memperkirakan, 1 dari 4 orang akan terkena dampak dari kekurangan air bersih.
Bagaimana dengan Indonesia?

Seperti halnya yang terjadi secara global, kebutuhan dan ketersediaan air bersih di Indonesia pun semakin mendesak. Konsumsi air diperkirakan meningkat hingga 15-35 % per kapita/ tahun. Kontras dengan kebutuhan yang meningkat, ketersediaan air bersih justru cenderung menurun akibat kerusakan alam dan pencemaran. Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih.***

Hanya sekitar 20% dari total penduduk Indonesia yang dapat mengakses air bersih, itu pun di wilayah perkotaaan. Sementara sisanya, rakyat Indonesia masih mengonsumsi air yang tak layak secara kesehatan. Untuk diketahui, tingkat akses air bersih penduduk pedesaan di Indonesia adalah 69 %, itu lebih rendah daripada Malaysia (94 %) atau Vietnam (72 %), padahal Indonesia kaya sumber air.

Tahun 2019 nanti, jumlah penduduk perkotaan Indonesia diperkirakan mencapai 150,2 juta jiwa dengan kebutuhan air yang akan mencapai 18,775 miliar liter per hari. Kenaikan kebutuhan air itu diserap untuk industri sebesar 700% dan 100% untuk kebutuhan pangan, serta hanya 65% untuk pemukiman.
Tampaknya, pertumbuhan populasi dan ekonomi cenderung melebihi daya dukung lingkungan. Ancaman terbesar justru pada tempat paling padat penduduk dan paling maju: Jawa dan kota-kota besar di luar Jawa. Jika laju ketersediaan air lebih lambat dari laju konsumsinya, maka krisis air tak terhindarkan.

Krisis air terkait langsung dengan krisis lingkungan, sedangkan krisis lingkungan umumnya didahului dengan alih fungsi lahan terutama ke industri atau pertumbuhan ekonomi berkonsumsi tinggi (krisis agraria). Industri tak hanya mengonsumsi air dalam jumlah besar, Industri juga membuang limbah gas (emisi), baik berupa asap motor, pabrik, bahkan penguapan pupuk kimia. Limbah gas ini memanaskan suhu udara di permukaan bumi sehingga terjadi perubahan iklim secara keseluruhan. Akibatnya, pola musim berubah, tak dapat diperkirakan, dan ekstrim. Banjir besar (la nina) dan kemarau berkepanjangan (el nino) adalah dampak perubahan iklim yang mempercepat krisis-krisis sumber penghidupan, termasuk krisis air.

Di Indonesia, kepentingan warga dikalahkan oleh kepentingan pemodal sudah umum terjadi. Akibatnya, krisis-krisis sumber penghidupan, termasuk air, tanah, dan lingkungan sehat hampir diterima sebagai gejala yang wajar ketimbang dimaknai sebagai permasalahan tentang hak-hak ekonomi sosial budaya yang harus selalu dipertanyakan penyebabnya dan dituntut solusinya.

Oleh: Kus Sri Antoro  (Peneliti lepas)
** Selengkapnya, lihat film dokumenter “Belakang Hotel” karya Watch Dog (2013).
*** Suara Pembaruan, 23 Maret 2007.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud