Jurnalisme Warga: Ketika Warga Menjadi Pewarta

Oleh Ambar Sari Dewi

Masyarakat RT 8 Demangan, Desa Jambidan, Kelurahan Banguntapan, Kabupaten Bantul baru saja punya hajat. Sebuah pesta demokrasi rakyat, berupa pemilihan ketua RT, telah dilaksanakan pada akhir Desember 2007 lalu. Tak ada kampanye atau penyampaian visi-misi layaknya pemilihan lurah. Bagi warga, proses tersebut merupakan pemborosan. Mereka lebih memilih cara praktis tanpa meninggalkan prinsip demokrasi. Proses pemilihan ketua RT penting bagi warga, namun tak pernah mendapat perhatian media. Namun, apa yang terjadi di Jambidan dilaporkan dengan gaya bahasa yang khas oleh warga desa tersebut. Jika Anda berkesempatan menjelajah dunia maya, tengoklah laporannya di http://apik.combine.or.id/Default.asp?code=3&cid=26&sid=0&id=175

Laporan pemilihan ketua RT di Jambidan adalah perkembangan baru dalam dunia jurnalisme. Praktik itu disebut sebagai jurnalisme warga atau citizen journalism. Jurnalisme warga menurut situs ensiklopedia, Wikipedia, adalah tindakan warga dalam memainkan peran aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisa, dan penyebarluasan berita atau informasi (http://en.wikipedia.org/wiki/Citizen_journalism). Di sana, setiap orang merupakan subjek sekaligus objek dari media, bukan lagi hanya menjadi subjek seperti dalam media-media konvensional.

Dalam media konvensional, biasanya, hanya wartawan media yang dapat memberikan berita. Masyarakat berada pada posisi pasif sebagai penonton, pemirsa, ataupun pembaca saja. Masyarakat tidak dilibatkan untuk menentukan topik, tema, maupun bahasan dalam setiap pemberitaannya. Sebaliknya, dalam jurnalisme warga, masyarakat bisa menjadi pewarta (reporter), penulis, sekaligus juga penyunting tulisannya sendiri.

Sejarah jurnalisme warga

Gerakan jurnalisme warga muncul di Amerika Serikat, pasca pemilihan presiden tahun 1988. Gerakan itu muncul ketika publik Amerika mengalami krisis kepercayaan terhadap media-media mainstream. Pada tahun tersebut, George Bush mengalahkan Michael Dukakis dengan berbagai cara yang menurut pengamat akademis membodohi publik Amerika. Bush menjadikan Dukakis sebagai bahan ejekan, digambarkan mengenakan helm dan mengendarai tank, seperti seorang anak kecil memegang mainan berbahaya. Strategi semacam itu terbukti sukses dalam memengaruhi pemilih. Menurut Jay Rosen dan Davis Merrit, pers Amerika saat itu telah gagal menciptakan wacana publik yang bermakna dan penuh aksi. Sebaliknya, pers malah berpihak pada konsultan politik dan berperan sebagai media pemasaran (Public Journalism and The Wichita Eagle 1988 to 1996, http://willsthesis.com/TheEagleRevised.doc).

Pada tahun 1999, para aktivis lingkungan mendirikan Independent Media Center (IMC) untuk merespon konferensi WTO yang dilaksanakan di Seattle, Amerika Serikat. Berbagai upaya yang dilakukan untuk menarik perhatian media internasional, akhirnya melahirkan model media alternatif. Sejak saat itu, gerakan indie-media berkembang secara mengejutkan. IMC kemudian berkembang ke berbagai pelosok dunia.

Model pewartaan semacam ini makin mendapat sambutan ketika internet berkembang. Berbagai layanan seperti weblog, chat room, mailing list, bahkan layanan video seperti Youtube memungkinkan siapa pun menjadi pewarta. Salah satu contoh jurnalisme warga yang fenomenal di dunia adalah situs Oh My News. Berkantor pusat di Seoul, Korea Selatan, situs itu terbit pertama pada 22 Februari 2000 dengan moto “Setiap Warga adalah Seorang Reporter”. Pemunculan Oh My News juga dilatarbelakangi pemilihan presiden Korea Selatan. Hingga kini, Oh My News telah memiliki 60 ribu reporter di seluruh dunia, 80 persen berasal dari citizen journalism dan hanya 40 orang berasal dari ‘wartawan tradisional’.

Di Indonesia,  bentuk paling familiar dari jurnalisme publik adalah radio, karena sebagian besar penduduk Indonesia lebih mengenal radio, ketimbang internet. Model pelaporan Radio Elshinta oleh pendengarnya melalui telepon, mendapat respon yang cukup bagus. Sembari menunggu kemacetan lalu lintas, warga saling bertukar informasi mengenai situasi lalu lintas di sekitarnya. Dari situlah variasi berita mulai berkembang makin meluas, dari berita lokal hingga berita nasional seperti tsunami. Kelahiran radio komunitas di berbagai pelosok daerah makin menguatkan posisi jurnalisme oleh warga semacam itu. Selain itu, ketika pengguna internet makin meluas, warga yang mempunyai akses makin menemukan saluran untuk menyampaikan pendapatnya. Tak heran jika lantas bermunculanlah blog atau web yang menerapkan model jurnalisme warga. Di antaranya, www.panyingkul.com, wikimu.com, kabarindonesia, dan lain sebagainya.

Masa depan jurnalisme warga

Gairah warga untuk memroduksi, mengonsumsi, sekaligus menyebarluaskan informasi merupakan perkembangan yang menggembirakan. Hal itu dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk desentralisasi informasi karena dulu informasi terpusat di tangan media. Dalam beberapa kasus, jurnalisme warga menempati posisi sebagai ‘anjing penjaga’ ketika media dianggap tidak mampu menyampaikan laporan secara akurat atau penuh sensor. Kasus Nila, wartawan sebuah televisi swasta, yang menuangkan uneg-uneg ketika melakukan reportase di Malaysia di blognya, merupakan salah satu contohnya.

Menurut We Media, yang ditulis oleh Shayne Bowman and Chris Willis (http://www.hypergene.net/wemedia/weblog.php), jurnalisme warga menimbulkan beberapa dampak positif sebagai berikut:

  1. Partisipasi aktif dari warga dalam hal ini adalah pembaca, pendengar, dan pemirsa. Partisipasi aktif audiens dalam jurnalistik adalah hal lebih penting ketimbang konsumen berita yang pasif. Audiens akan merasa lebih tergerak untuk melakukan perubahan. Ini adalah syarat demokrasi sebagaimana yang disebutkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism.
  2. Bagi media, jurnalisme warga menyediakan potensi untuk meningkatkan loyalitas dan hubungan saling percaya dengan audiensnya. Jurnalisme warga merupakan sebuah semangat ideal tentang hak masyarakat terhadap informasi.

Meski demikian, perkembangan jurnalisme warga yang makin meluas itu memunculkan sejumlah pertanyaan sekaligus tantangan. Persoalan etika, akurasi, kredibilitas, atau pertanggungjawaban merupakan beberapa contoh isu yang sering diperdebatkan, baik oleh kalangan media konvensional maupun pegiat jurnalisme warga itu sendiri. Hal-hal tersebut dipertanyakan mengingat para pewarta itu umumnya tidak memiliki bekal pengetahuan jurnalistik layaknya wartawan tradisional.

Bagi para pegiat jurnalisme warga, polemik mengenai kredibilitas dan berbagai isu tersebut hendaknya dimaknai sebagai upaya untuk membuat partisipasi warga makin terarah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya mengolah informasi. Misalnya, dengan mengubah informasi yang bersifat personal menjadi informasi yang bermanfaat bagi banyak orang. Dari sekadar memutar musik, menjadi laporan-laporan info situasi terkini dari lingkungan sekitar. Memperkaya diri dengan pengetahuan jurnalistik dasar, agaknya perlu dilakukan oleh para pegiat jurnalisme warga. Misalnya, dengan mengikuti berbagai pelatihan jurnalistik.

Kembali ke soal pemilihan RT, siapa bilang pemilihan ketua RT tidak lebih penting ketimbang pemilihan presiden? Keduanya sama-sama punya nilai berita. Tapi, hanya pewarta warga yang bisa melakukannya… Mau coba?***

Rujukan:
1. http://www.hypergene.net/wemedia/weblog.php
2. www.maverickid.blogspot.com/2007/01/malaysia-tourism-board-disappointing.html – 207k -).
3. Public Journalism and The Wichita Eagle 1988 to 1996, http://willsthesis.com/TheEagleRevised.doc).
4. http://en.wikipedia.org/wiki/Citizen_journalism
5. http://www.communicare-santi.blogspot.com/
6. http://www.poynter.org/content/content_view.asp?id=83126
7. http://www.encyclopedia.com/doc/1G1-130930314.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud