Dua Tahun Warga Lengkese Bertahan, Mereka Mulai Bersatu Lagi

Oleh  Basri Andang

Lengkese adalah nama sebuah kampung yang terakhir di hulu DAS Jeneberang yang berada di kaki Gunung Bawakaraeng. Secara administratif, Lengkese termasuk Dusun Bawakaraeng, Desa Manimbahoi, Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Letaknya yang berada di kaki Gunung Bawakaraeng menyebabkan kampung ini harus menanggung kerugian jiwa dan materi yang cukup banyak ketika dinding gunung yang penuh misteri itu runtuh, 26 Maret 2004 lalu. Bencana itu hampir menimbun sebagian Kampung Lengkese.Berdasarkan catatan Kepala Kampung Lengkese, longsor dua tahun silam itu menelan korban jiwa sebanyak 33 orang,  menimbun 11 rumah warga, 1 Sekolah Dasar, dan satu masjid. Bencana ini juga telah menghilangkan sumber-sumber ekonomi masyarakat berupa sekitar 100 hektar kebun, 400 hektar sawah, dan ratusan ternak sapi milik warga.

Meski sudah menanggung kerugian materi, warga Lengkese merasa diperlakukan kurang adil oleh pemerintah. Bermula dari rekomendasi yang menyatakan bahwa Kampung Lengkese tidak layak lagi dijadikan lokasi permukiman. Alasannya, masih rawan terkena longsor susulan.  Pemkab Gowa-pun menempuh kebijakan relokasi bagi warga  ke lokasi yang aman. Penentuan lokasi inilah yang menimbulkan masalah.
Awalnya pemerintah menentukan Desa Hulu Parang,  yang letaknya lebih dekat dan akan memudahkan orang Lengkese untuk memindahkan rumahnya. Kalau pemerintah mau membantu, cukup membantu biaya pemindahan rumah yang jumlahnya tidak sebesar biaya bangun rumah baru. Antara Hulu Parang dan Lengkese memiliki karakteristik wilayah yang sama, berada di dataran tinggi, udaranya dingin, dan lahannya cocok untuk budidaya kopi.

Lokasi ini ditunjuk dan ditawarkan oleh Bupati Gowa (waktu itu Hasbullah Jabbar) kepada keluarga korban. Tawaran itu pun diterima oleh warga. Alasan warga, pindah ke Hulu Parang tidak berarti masuk ke wilayah yang asing karena orang Lengkese dan Hulu Parang masih satu rumpun keluarga, dan sikap masyarakatnya yang menerima baik kedatangan warga Lengkese bahkan bersedia membagi lahan garapannya. Selain itu, tidak ada perubahan kebiasaan orang Lengkese, terutama adaptasi sosial dan pola bercocok  tanam.

Namun sayangnya beberapa instansi di lingkup Pemkab Gowa, terutama dinas kehutanan dan dinas sosial menolak pemindahan ke lokasi pertama. Alasannya daerah relokasi Hulu Parang ini tidak memenuhi syarat sebagai lokasi permukiman karena termasuk kawasan hutan. Atas pertimbangan itu, sehingga lahir keputusan memindahkan warga Lengkese ke Bellapunrangan.

Lalu ditunjuklah Desa Bellapunrangan, Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa sebagai alternatif  lokasi. Lokasi ini berbatasan dengan Kabupaten Maros. Karakteristik wilayah ini berbeda dengan Lengkese, yaitu dataran rendah, udara panas, dan tanahnya hanya cocok untuk tanaman jangka pendek, seperti kacang tanah. Karena itu warga Lengkese menolak direlokasi ke sana.

”Kekacauannya bermula dari situ,” kata Daeng Tika yang juga Kepala Kampung Lengkese mengurai prokontra relokasi menyusul terjadi longsor gunung Bawakaraeng banyak mewarnai kehidupan sosial warganya.
Ketika itu, Lengkese ramai dikunjungi berbagai kalangan, termasuk ada pihak yang mendukung kampung itu dikosongkan. ”Kami harus bagaimana lagi kalau semua yang datang hanya menakut-nakuti. Mereka tidak memberikan solusi bagi kami yang tetap bertahan di sini, terutama apa yang harus dilakukan,” tegas Daeng Tika kepada puluhan peserta Pelatihan Monev Yayasan TIFA dan Esensi awal Agustus 2006 lalu.

Pada saat itu, kehidupan warga makin tidak menentu apalagi tanda-tanda pengosongan kampung mulai terlihat satu satu. Di antaranya, pemutusan aliran listrik ke Kampung Lengkese selama berbulan-bulan, dan penghentian pembayaran sekaligus pencabutan SPPT bagi tanah-tanah yang ada di Lengkese.

Aliran pengungsian warga pun mulai terjadi.  Ada yang memilih ke relokasi (21 KK) karena terpengaruh janji akan mendapat rumah dan tanah yang sudah bersertifikat, biaya hidup selama setahun, tidak perlu pusing karena semua akan ditanggung pemerintah, bahkan disediakan lahan garapan seluas 2 hektar.  Ada pula yang memilih mengungsi ke keluarganya yang ada di Desa Manimbahoi dan Majannang (15 KK), dan sebanyak 18 KK yang bertahan di Lengkese.  Padahal sebelum bencana longsor, tercatat 78 KK yang bermukim di kampung ini (termasuk 33 orang yang tertimbun longsor).

Setelah memasuki tahun kedua (2006) pasca relokasi, sebanyak 12 KK warga Lengkese mulai meninggalkan Bellapunrangan. Rincinya, 4 KK meninggalkan Bellapunrangan kembali ke Lengkese bergabung lagi dengan saudaranya.  Kini Lengkese sudah dihuni 22 KK.   Sementara 8 KK lainnya,  meninggalkan Bellapunrangan tetapi tidak ke Lengkese, melainkan kembali ke keluarganya di Desa Majannang dan Manimbahoi.
Umumnya mereka kembali karena janji-janji yang dulu disampaikan tidak kunjung datang.  Lahan garapan seluas 2 hektar, biaya hidup selama satu tahun, dan sertifikat tanah tempat bangunan rumah belum diberikan hingga sekarang.  Bukan hanya itu, mereka juga merasa tidak nyaman menggarap tanah yang dijanjikan meski hanya menanami kacang tanah.

”Setiap menggarap tanah, mereka selalu diteror oleh penduduk setempat dengan alasan tanah tersebut adalah tanah milik,” jelas Daeng Tika mengurai penderitaan warganya di Bellapunrangan, dan tetap menerima warganya yang mau kembali ke Lengkese.

Bagi warga yang bertahan di Lengkese terus menjalankan aktivitas kesehariannya secara bersama dan saling menyemangati.  Apalagi yang bertahan banyak tokoh masyarakat, sebut saja Daeng Tika, Daeng Mundu, Syamsuddin Daeng Tawang, dan Abdul Rauf.  Ketegasan sikap para tokoh itu menjadi penyemangat warga lainnya agar tetap bertahan dan membangun kembali Lengkese yang oleh pemerintah sudah dianggap tidak berpenghuni lagi.

Selama dua tahun lebih, Daeng Tika tetap menjalankan aktivitas pemerintahan di kampung itu secara normal. Begitu juga Daeng Tawang dan Abdul Rauf, dua pemuka agama yang terus berupaya agar kehidupan beragama dan ibadah warga tetap berjalan sebagaimana layaknya. Serta Daeng Mundu (100 tahun) selaku tetua kampung menjadi penasehat spritual warga. Sebuah masjid yang tersisa dari bencana dioptimalkan pemanfaatannya sebagai pusat ibadah dan kegiatan kampung.
Selama dua tahun bertahan di Lengkese, masyarakat dibantu oleh beberapa LSM, seperti YLBH Makassar dan WALHI Sulsel dalam mengadvokasi menolak relokasi ke Bellapunrangan, kemudian Lembaga Pemerhati Lingkungan (LPL) Karaeng Puang membantu masyarakat dalam penanganan bencana susulan karena faktanya ada warga yang tidak mau pindah.

Atas fasilitasi LPL Karaeng Puang, kini warga sudah membuat peta wilayahnya secara sederhana, dan peta lokasi-lokasi evakuasi yang aman ketika bencana susulan terjadi.  Warga sudah menyelesaikan sebuah maket tiga dimensi terhadap wilayah Lengkese. Selain itu, warga mendirikan Posko Pemantauan Longsor yang dilengkapi teropong dan kentongan, serta membuat sistem peringatan dini ala kampung.
Secara perlahan, warga Lengkese merajut kembali kehidupan sosialnya. Aktivitas anak-anak usia sekolah pun sudah terlihat meski jarak sekolahnya sekitar 4-5 kilometer.  Beberapa bulan terakhir ini, warga sudah menikmati listrik karena PLN mau menyambung kembali listrik ke sana meski tidak memakai meteran.  Seiring dengan itu, persidangan kasus dugaan korupsi Proyek Relokasi Korban Longsor Bawakaraeng terus bergulir yang melibatkan beberapa pejabat Pemkab Gowa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud