Desa dan Otoritas Negara “Sebuah Refleksi Terhadap Posisi Desa Dalam Arus Kapitalisme Global”

indexDari Kampung Menuju Desa

Secara historis, sebelum hadirnya negara Republik Indonesia, masyarakat di seluruh pelosok Nusantara telah mengatur tata kehidupan sosial, politik dan budayanya dengan sistem pemerintahan yang beragam. Ini dapat kita lihat pada Gampong di Aceh, Kuta di dataran tinggi Karo Sumatera Utara, Nagari di Sumatera Barat, sistem Tua Golo di Manggarai, sistem kekuasaan adat di kampung Naga Jawa Barat, kepemimpinan adat di Baduy, Banten, Karaeng Galisung di Sulawesi Selatan dan lain sebagainya.

Sistem-sistem pemerintahan lokal tersebut diyakini sudah berumur ratusan tahun dalam membangun pranata-pranata sosialnya, jauh sebelum kolonial membawa panji-panji Gold, Glory dan Gospel ke bumi nusantara. Namun sistem sosial ini mulai berubah seiring dengan lahirnya negara Republik Indonesia. Sistem pemerintahan lokal yang beragam diganti menjadi pemerintahan desa yang dari masa ke masa terus mengalami transformasi nilai, baik secara politik ataupun administrasi.

Di era Demokrasi Terpimpin, desa mulai diatur dalam UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.19  tahun 1965 tentang Desapraja. Dua kebijakan tersebut mengartikan desa sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sesuai dengan hak asal-usul di zaman sebelum Republik Indonesia yang telah mempunyai pemerintahan sendiri.[1] Peluang dan ruang untuk tetap otonom sepertinya masih dihadirkan.

Namun sejak berkuasanya rezim otoritarian Orde Baru, Desapraja dihapuskan. Melalui UU No. 6 tahun 1969 Desapraja dianggap tidak berlaku lagi. Kemudian dilanjutkan dengan terbitnya Surat Edaran Mendagri No. 5/1/29 tahun 1969 tentang Pokok-pokok Pembangunan Desa, dimana dalam surat tersebut, desa diberi pengertian sebagai berikut : “Desa dan daerah yang setingkat adalah kesatuan masyarakat Hukum (rechtsgemeenschap) baik genealogis maupun teritorial yang secara hierarkhis pemerintahannya langsung dibawah kecamatan” ( Hanif Nucholis, 2011). Dari sinilah cerita desa diperlakukan secara represif dimulai. Segala pranata sosial, politik  dan budaya tersentralisasi dalam pemerintahan yang bersifat top-down. Era ini disebut sebagai titik awal runtuhnya tradisi lokal di Indonesia.

10 tahun setelah terbitnya surat edaran Mendagri tersebut, lahirlah sebuah UU. No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa diartikan sebagai “suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Beberapa dampak yang dihasilkan oleh hadirnya pemerintahan desa yang termaktub dalam undang-undang ini setidaknya  dapat terangkum menjadi 3 bagian, yaitu : Pertama, pemerintahan desa telah menghilangkan konsep pemerintahan lokal yang berazaskan tradisi masyarakat. Kedua, pemerintahan desa telah menghilangkan institusi-institusi lokal yang telah berperan dalam membangun keteraturan sosial masyarakat lokal. Ketiga, pemerintahan desa telah melahirkan konflik kultural dalam masyarakat lokal (Silfia Hanani dan Rahimah Abdul Aziz, 2009).

Tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru pada 20 Mei 1998 membawa harapan untuk memulihkan kembali desa sebagai komunitas yang otonom, hal ini diartikan sebagai bentuk praktik desentralisasi dan demokrasi dilakukan. Demokrasi pasca Orde Baru didekatkan pada pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi dan kontrol (Irine Gayatri, 2013). Dalam konteks ini, ruang dan peluang tersebut pada mulanya dapat ditemui dalam UU No. 22 tahun 1999 dengan terbentuknya Badan Perwakilan Desa (BPD). BPD dianggap berperan sebagai parlemen desa yang di dalam pasal 104 disebutkan berfungsi sebagai pengayom adat istiadat, pembuat peraturan desa, penyalur aspirasi masyarakat, serta pengawas penyelenggaran pemerintahan desa. Namun 5 tahun sesudah UU ini terbit, BPD yang pada mulanya dianggap sebagai penanda lahirnya kontrol dan desentralisasi terhadap struktur kekuasaan pemerintahan desa terdistorsi karena lahirnya UU No.32 Tahun 2004. Dalam praktiknya, BPD dikurangi kedudukan dan perannya dari fungsi badan legislatif menjadi ‘badan permusyawaratan’; disamping itu keanggotaan BPD yang awalnya dalam UU No. 22/1999 dipilih secara demokratis, kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara ‘musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan wilayah’.[2]

Studi Irine Gayatri (2007) tentang Demokrasi Lokal (di desa), menyatakan saat ini demokrasi (lokal) dan desentralisasi merupakan dua isu utama dalam statecraft Indonesia pasca Orde Baru. Ia menyimpulkan untuk tercapainya desentralisasi politik dan administrasi serta praktik demokrasi lokal dibutuhkan suatu mekanisme yang berbasis pada jaringan antar komunitas. Cara-cara ini dapat ditempuh dengan memberikan perlindungan dan penguatan lembaga-lembaga asli desa serta penguatan kapasitas politik kelembagaan desa yang mencerminkan keterwakilan rakyat.

Sistem Informasi Desa ala Combine

Ide, gagasan dan semangat untuk memulihkan kembali hak-hak desa sebagai komunitas otonom, juga muncul dari organisasi-organisasi masyarakat sipil, salah satunya adalah Combine Resource Institution (CRI). Berangkat dari suatu refleksi bagaimana suatu komunitas yang disebut desa diperlakukan dan diposisikan secara struktual dan kultural pada Masa Orde Baru, akhirnya pada tahun 2009 Combine merancang suatu program yang disebut dengan “Sistem Informasi Desa-SID”.

Pada mulanya SID dirancang secara strategis untuk menjawab kegagalan “Profil Desa” yang dianggap tidak elaboratif untuk menampung keunikan dari data sebuah desa. Selain untuk menunjang peningkatan kelengkapan data desa, program ini juga bertujuan untuk terselenggaranya proses pengambilan secara kolektif dan demokratis serta mendorong terbangunnya kontrol publik yang efektif di tingkat desa melalui pengembangan sistem informasi berbasis komunitas.[3]

Dalam kurun waktu 2009-2010, Combine mempraktikkan program SID di Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul dan Desa Ngelegi, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul. Sosialisasi ditempuh melalui perangkat desa dan media (radio) komunitas.[4] Di awal praktiknya, program ini menghadapi beberapa kendala seperti : masih belum terbukanya penduduk dalam menyampaikan data, kesulitan menemui warga dan pengetahuan enumerator yang terbatas (Ranggoaini Jahja dkk, 2012). Namun seiring berjalannya waktu, dampak-dampak positif dari program ini mulai dirasakan oleh perangkat dan masyarakat desa. Bagi perangkat desa, SID telah dirasakan membantu kerja-kerja administrasi pemerintahan dan pelayanan terhadap masyarakat serta menumbuhkan pola-pola partisipatif dalam proses demokrasi yang pada masa sebelumnya dirampas oleh pemerintahan tiran. Masyarakat juga merasakan hal yang sama, SID telah dianggap memudahkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan informasi sekaligus mendekatkan mereka pada perangkat desanya.

Keberhasilan-keberhasilan ini selanjutnya dikembangkan di beberapa wilayah desa yang lain. Hingga pada tahun 2011, SID telah dipraktikkan di 18 desa wilayah Propinsi Jawa Tengah Dan Yogyakarta. Dengan keberhasilan tersebut, SID dianggap telah melahirkan “pengetahuan” untuk mendorong pembaharuan dan kemajuan dalam ranah demokrasi saat ini. Pengetahuan ini selanjutnya didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul “Sistem Informasi Desa” setebal 91 halaman.

Struktur Masyarakat dalam Kepentingan Ekonomi Global

Uraian singkat diatas telah memperlihatkan kepada kita bagaimana sejarah perjalanan ‘desa’ dari masa ke masa terus mengalami transformasi. Transformasi ini tidak terpisahkan dari kepentingan rejim ekonomi politik yang terstrukur secara global. Di masa demokrasi terpimpin misalnya, penstrukturan sistem pemerintahan lokal menjadi pemerintahan desa merupakan bagian dari suatu proses politik untuk mempersatukan unit-unit satuan wilayah dalam satu sistem yang tunggal, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh “nasionalisme baru” yang hadir saat itu. Walaupun dalam era tersebut mengakui dan memberikan ruang kepada setiap komunitas lokal untuk mengatur wilayahnya sendiri namun pengintegrasian tersebut tetap saja melahirkan distorsi secara struktural dan kultural. Ini dapat dipahami sebagai konsekwensi proses tawar menawar antara demokrasi dan sistem lokal yang keduanya memiliki basis epistemologi dan kepentingan berbeda.

Di bawah rejim otoritarian Orde Baru,  penstrukturan desa merupakan suatu proyek dan operasi politik besar untuk memudahkan kontrol terhadap seluruh elemen masyarakat, baik secara kultural dan struktural. Dalam pengertian ini kontrol yang dimaksud ditujukan untuk melayani kepentingan kapitalisme global yang beroperasi lewat korporasi-korporasi swasta ataupun negara. Namun seiring dengan perjalanan waktu, rezim otoritarian dianggap tidak lagi memenuhi kaidah-kaidah demokrasi, selain itu faktor tingginya ongkos produksi juga menjadi alasan sistem dan kekuasaan yang demikian harus dihapuskan. Lalu bagaimana nasib demokrasi di tingkat desa pada masa kekinian jika kita ibaratkan sistem pemerintahan lokal tersebut sebagai penerjemahan praktik demokrasi ? Telah disebutkan diatas bahwa bentuk  penerjemahan demokrasi pasca otoritarian berfokus pada isu desentralisasi dan demokrasi lokal yang dibangun lewat penguatan kelembagaan desa dengan nilai-nilai partisipatif. Lalu dari sini muncul kembali satu pertanyaan kritis, apakah isu penguatan masyarakat sipil dengan metode partisipatif merupakan bagian dari perubahan yang diinginkan oleh kekuasaan modal atau memang ditujukan untuk keadilan ekonomi ?

Jika menggunakan asumsi pertama bahwa runtuhnya rezim otortarian memang bagian operasi dari restrukturisasi kapital untuk menurunkan ongkos produksi maka isu desentralisasi, demokrasi dan penguatan masyarakat sipil sebenarnya hanya ditujukan untuk kepentingan “kapitalisme demokratik”, dimana peran negara dikurangi dan selanjutnya di atur dalam mekanisme pasar. Dalam tafsir yang demikian, didapatkan suatu kesimpulan bahwa kapital akan mendapatkan keuntungan-surplus ketika masyarakat terlibat secara langsung dengan pasar. Sebaliknya, jika menggunakan asumsi kedua bahwa runtuhnya rezim otoritarian bukan bagian dari satu operasi kapital maka isu desentralisasi, demokrasi dan penguatan masyarakat sipil merupakan satu titik jalan alternatif menuju kesetaraan ekonomi.

Terlepas dari kontradiksi dua asumsi diatas, satu hal yang tetap akan disepakati adalah harus terwujudnya masyarakat sipil yang adil secara politik dan ekonomi. Kesepakatan ini menghantarkan kita pada suatu jalan panjang yang harus ditempuh dengan terlebih dahulu mencari formulasi yang strategis untuk memudahkan pencapaian cita-cita tersebut.

Media dan Mediasi : Resonansi Program “Sistem Informasi Desa” di Tingkat Desa

Banyak diantara beberapa program yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi sosial di masyarakat tidak lahir dari kebutuhan masyarakat itu sendiri, sehingga kenyataan di lapangan akan menunjukkan suatu fakta target yang akan dicapai seringkali tidak terpenuhi. Program yang mulanya diharapkan dapat berkelanjutan pada akhirnya tidak berjalan maksimal dan yang lebih mengkhawatirkan adalah lahirnya sikap ketergantungan. Untuk mengantisipasi kejadian seperti ini biasanya akan lebih efektif jika sebelumnya dilakukan langkah-langkah pengidentifikasi masalah dengan prinsip-prinsip enkulturasi penuh.[5]

Setelah mendapatkan gambaran umum bagaimana masalah-masalah tersebut, kita akan melangkah pada tahap “pemetaan struktur sosial”. Langkah ini ditempuh untuk mendapatkan secara detail bagaimana relasi antar individu ataupun kelompok di dalam masyarakat itu sendiri, sehingga kompleksitas struktur sosial yang berkembang di dalamnya dapat diuraikan secara sederhana. Sebagai contoh : Bagaimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perangkat desa ? Jika diasumsikan hubungan keduanya tidak harmonis maka tidak akan efektif jika program dikerjakan dengan pola-pola yang konvesional. Dalam tulisan ini saya mencoba menganalogikan program SID dihadapkan dengan beberapa kondisi berbeda.

Kasus A :

“Sistem Informasi Desa akan dianggap tidak menjadi kebutuhan bagi perangkat desa, jika program ini dianggap akan membahayakan kelangsungan finansial bagi perangkat desa. Pungutan-pungutan liar yang telah menjadi kebiasaan perangkat desa tentunya akan menghilang apabila program ini berjalan sukses. Lalu bagaimana nasib SID dalam posisi yang demikian ? Tidak lain, jalan satu-satunya yang akan ditempuh adalah pengorganisasian masyarakat. Karena bagi masyarakat program ini justru akan menguntungkan mereka yang dalam praktiknya akan menghapus praktik-praktik pungutan liar”.

Kasus B :

“Sistem Informasi Desa sebaliknya akan menjadi kebutuhan bagi perangkat desa jika program ini dianggap akan memudahkan kerja-kerja administrasi pemerintahan desa. Situasi yang demikian mungkin hanya akan ditemui dalam desa-desa yang hubungan antara keduanya terjalin harmonis. Tentunya tidak akan ditemui kesulitan-kesulitan yang terlalu memberatkan jika SID ditawarkan kepada perangkat desa ataupun masyarakat didalamnya dengan tetap melibatkan keduanya secara partipatif”.

Kasus C :

“Sistem Informasi Desa tidak akan dianggap menjadi kebutuhan masyarakat desa jika program ini justru akan menghantarkan mereka pada asumsi kerugian-kerugian material. Misalnya SID akan berdampak pada penginventarisiran terhadap jumlah kepemilikan material yang mereka miliki. Dimana dalam pengertian ini akhirnya akan menambah ongkos produksi rumah tangga dalam bentuk pembayaran pajak. Lalu bagaimana nasib SID dalam posisi seperti ini ?”.

Ketiga contoh kasus di atas merupakan gambaran kompleksitas struktur sosial masyarakat desa pada umumnya. Dimana situasi yang demikian akan berpengaruh penting terhadap kelangsungan program-program yang akan ditawarkan, khususnya SID. Satu kesimpulan dasar yang dapat ditarik untuk tercapainya program berkelanjutan adalah meminimalisir konflik antar aktor di dalam struktur masyarakat desa itu sendiri. Lalu bagaimana caranya membangun kerja-kerja mediasi tersebut ?

Tidak ada salahnya apabila menyebut media komunitas merupakan salah satu komponen untuk merangkai kerja-kerja mediasi. Peran mediasi disini diartikan berfungsi sebagai komunikator untuk menyerap kebutuhan-kebutuhan dari akar rumput sekaligus sebagai ruang organisasi bagi masyarakat. Ini ditempatkan dalam satu kerangka yang konsisten, sehingga kesadaran yang terbangun akan membentuk suatu kesadaran organisasional. Singkat kata, media komunitas dalam berbagai bentuk dapat berperan sebagai motor pembangunan organisasi akar rumput sekaligus berperan sebagai media sosialisasi program SID.

(Tulisan oleh Muhamad Afandi, Staf Litbang COMBINE)

Sumber pustaka :

Hanif Nucholis, “Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa”, 2011. Jakarta : Erlangga.

Irine H Gayatri, “Demokrasi Lokal (di Desa”), 2007, Jakarta. Diambil dari : http://interseksi.org/publications/essays/articles/demokrasi_lokal_quo_vadis.html

Ranggoaini Jahja dkk, “Sistem Informasi Desa”. 2012. Yogyakarta : CRI dan Tifa.

Silfia Hanani  dan Rahimah Abdul Aziz , “Rekonstruksi dan usaha penyelamatan tradisi lokal era pasca sentralisme di Indonesia”, 2009. Malasya : http://journalarticle.ukm.my/943/

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948

Undang-Undang Nomor 19 tahun 1965

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004



[1] Bab 1, ayat 1 dalam pasal 1 dan 2 UU No. 22 tahun 1948.

[2] Lihat Irine Gayatri, 2007, Demokrasi Lokal di Desa, Jakarta : www.interaksi.org.

[3] Lihat Ranggoaini Jahja Dkk, Sistem Informasi Desa, 2012, Yogyakarta : CRI dan Yayasan Tifa.

[4] Sebelum menggagas program SID, Combine telah merintis pembangunan media (radio) komunitas di beberapa wilayah Indonesia.

[5] Strategi ini merupakan refleksi dari penulis selama terlibat dalam pembangunan media berbasis komunitas di beberapa daerah, khususnya pada komunitas petani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud