Keramik Berbahan Baku Lokal dari Sigar Bencah

Oleh Saroni Asikin

Roy Wibisono AP (36) punya obsesi, suatu hari, kawasan Sigar Bencah di Tembalang, Semarang akan menjadi sentra kerajinan keramik. Obsesi itu muncul ketika dia mulai serius menekuni kerajinan tersebut dengan mendirikan Sigar Bencah Keramik.Menariknya, sejak sebelum mendirikan workshop keramik pada tahun 2005, dia tak pernah secara langsung membuat keramik. Dia juga bukan lulusan seni kriya pada sebuah institut atau lembaga pendidikan kesenian. Dia adalah sarjana kimia dari Fakultas MIPA Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Wajar saja banyak orang menyebutnya “salah jalan’’.

Roy hanya tersenyum mereaksi sebutan itu. Sebab, setelah berkecimpung dalam kerajinan keramik, dia membuktikan dirinya berada pada “jalan’’ yang benar. Buktinya, dengan 10 pekerja, bengkel kerajinannya tak pernah sepi order. Bahkan, sering sekali dia menolak order dari para pelanggannya lantaran kapasitas produksi tak bisa memenuhi permintaan. Makanya, mulai awal bulan Juli 2008, Roy membuka pelatihan kepada orang-orang di sekitar workshop-nya. “Pelatihan itu sangat penting buat workshop saya. Nanti, kalau mereka sudah terlatih, merekalah yang akan mengerjakan bila ada ada order banyak,’’ tutur Roy di tempat kerajinannya.

Sebenarnya, sebutan “salah jalan’’ memang tak pas diberikan pada lelaki kelahiran Boja, Kendal, 8 Mei 1972 itu. Seperti sudah disebut, benar memang dia tak pernah sekali pun berlumur bahan-bahan keramik. Tapi studi Ilmu Kimia yang dia geluti di perkuliahan mengantarnya ke seni kerajinan tersebut. Lebih tepatnya adalah ketika dia membuat skripsi yang meneliti keramik khususnya mengenai kandungan kimiawi bahan-bahan pembuat keramik.

Ketika dia lulus dari Undip pada 1997, berkat skripsinya pula Roy diterima bekerja pada PT Haeng Nam, sebuah pabrik keramik di Bogor. Jangan membayangkan dirinya berkubang material pembuat keramik di perusahaan itu. Sebagai sarjana kimia, dia bekerja di laboratorium dengan tugas pokok meneliti kandungan kimiawi bahan pembuat keramik. Dengan begitu bisa dibilang, dia pada trek yang sebenarnya. Maksudnya, ilmu perkuliahannya tetap terpakai.

Tapi yang jelas, dia tak lagi bisa melupakan keramik setelah itu. Bahkan ketika harus mengikuti istrinya berstudi di Brisbane, Australia dan di sana dia bekerja di perkebunan stroberi, setiap libur dia ke perpustakaan. Untuk apa lagi kalau bukan mencari buku-buku referensi mengenai keramik. Tak cuma itu, dia juga  mengikuti kursus perkeramikan di sana.

Begitu pula ketika telah pulang ke Indonesia, Roy kembali bekerja di pabrik Queen Keramik Semarang. Di tempat tersebut dia menjadi kepala laboratorium. Dia juga sempat menjadi peneliti pada Gapti (Gabungan Pengusaha Tambang Indonesia) yang aktif melakukan penelitian pada tanah yang material keramik di Clering Jepara. Setelah itu, dia jadi konsultan di beberapa pabrik keramik dan gerabah seperti di Kasongan.

Buka sendiri

Setelah bekerja pada beberapa perusahaan, Roy memutuskan membuka usaha sendiri. Ketika hendak mulai membuka Sigar Bencah Keramik, banyak orang yang terheran-heran. Pasalnya, saat itu banyak pabrik keramik yang tutup. Yang masih beroperasi pun kebanyakan mengurangi karyawannya. Tapi lagi-lagi Roy membuktikan, keterheranan orang-orang tak beralasan. Dengan bermodal Rp 50 juta hasil tabungan selama bekerja, dia membuka workshop-nya di tepi Jalan Sigar Bencah Tembalang, Semarang.

Kenapa Roy seakan nekad melawan arus?

“Saya tahu, pabrik-pabrik keramik itu tutup karena kemahalan bahan bakunya. Maklum, semuanya berasal dari bahan impor. Nah, ada untungnya bekerja sebagai peneliti bahan pembuat keramik. Saya menjumpai sebenarnya banyak bahan baku lokal yang bagus dan tak kalah dengan yang impor.’’

Roy mengakui, warna bahan baku keramik lokal itu tak berwarna putih terang seperti yang dijumpai pada bahan baku impor. Bahan-bahan itu berupa tanah liat yang dia dapat dari tanah di sekitar Sigar Bencah, yang diramu dengan felspar dan pasir kuarsa. Kenyataannya, keramik buatan Roy disukai dan berharga tinggi. Roy bahkan belum memikirkan untuk mengekspor kerajinannya lantaran pasar lokal pun bagus dan beberapa kali harus menolak order karena keterbatasan kapasitas produksi.

Awalnya, dia membuat keramik dengan bahan baku asli Indonesia dan hanya dibantu satu orang. Jumlah produksinya pun tak besar. Hanya 25 buah per hari. Bandingkan dengan sekarang, dengan 10 orang, produksinya bisa 300-700 buah per hari.

Yang jelas, Roy tak pernah kesulitan memasarkan hasil kerajinannya. Toko-toko suvenir di Semarang khususnya mau menerimanya. Order pun tak pernah sepi. Bahkan, sering pula dia “mengecewakan’’ pelanggan karena keterbatasan kapasitas produksi. Itu wajar. Sebab, keramik buatan Roy bisa dibilang tak punya saingan. “Kebanyakan suvenir berupa gerabah seperti dari Bayat dan Klampok. Untuk suvenir keramik, selama ini toko-toko suvenir di Semarang itu disuplai dari Jawa Timur. Setelah saya buka dan order ke saya, mereka menghemat ongkos kirim.”

Kreatif

Roy memang mensyukuri ilmu kimia yang dia miliki. Sebab, dengan kompetensinya itu, dia bisa mengetahui bahan mana yang bagus untuk keramik dan mana yang tak bagus. Dan buatnya, hal tersebut tak perlu dia cari jauh-jauh. Apalagi dia sangat yakin, Indonesia itu punya potensi bahan baku keramik yang besar. “Kalau kreatif, kita bahkan bisa menjadikan sesuatu yang kayaknya tak berguna jadi bermanfaat.’’

Bahkan sesuatu yang menimbulkan bencana, di tangan Roy pun bisa menjadi material keramik yang bagus. Dia, misalnya, pernah membuat keramik dari lumpur Lapindo dan abu Gunung Merapi. Seperti juga yang sekarang sedang dia lakukan pada lumpur endapan Kali Banjirkanal Semarang. Perlu diketahui, pada musim hujan, endapan lumpur itu sering meluapkan air dan membuat banjir wilayah sekitar. “Kalau nanti dia menjumpai bahwa tanah endapan itu bagus untuk dibuat genting, secara tak langsung saya ikut mengurangi risiko banjir,’’ ujar Roy tertawa.

Betul, keramik buatan Roy tak secerah buatan pabrik. Dia juga lebih suka membuat keramik yang tidak bundar. Bentuknya kebanyakan persegi atau heksagonal. Sebab, kalau bundar, produknya bisa kalah bersaing dengan produk pabrik yang punya mesin khusus untuk itu. Kreativitas desain juga ditunjukkan pada beberapa jenis keramik yang berupa replika kecil landmark Semarang seperti Tugumuda, Lawangsewu, atau Gereja Blendoek.

Yang pasti, Roy sangat optimistis bahwa pasar keramik di Indonesia sangatlah bagus. Itu beda dengan gerabah yang persaingannya besar. “Ini usaha yang berpotensi besar. Sayang sekali, belum banyak orang yang menggarapnya. Apalagi kita punya bahan baku yang besar pula. Asal kita kreatif, kita bisa bikin bahan keramik dari apa saja. Abu, tulang sapi, atau abu pohon juga bisa dipakai untuk campuran keramik,” ujar ayah dua anak itu.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud