Persoalan PP 51 Tentang Lembaga Penyiaran Komunitas masih meninggalkan banyak persoalan yang hingga kini belum ada solusinya. Perwakilan dari Radio Komunitas di Indonesia telah berusaha mengadakan pertemuan dengan DPR Pusat, Komisi Penyiaran Indonesia, pihak Depkominfo, bahkan mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tetapi belum ada hasil yang cukup memuaskan. Artinya keberatan mereka terhadap beberapa ketentuan dalam PP tersebut belum diakomodasi atau dibicarakan secara intens oleh pihak-pihak yang berkuasa. Upaya mencari solusi ini tidak berhenti begitu saja. Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta menggelar acara Rembuk Radio Komunitas “Permasalahan dan Solusi atas Regulasi Lembaga Penyiaran Komunitas Bersama” di Komplek Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB), Sorowajan, Sabtu (8/4) lalu. Hadir dalam acara tersebut pembicara Dina Listyorini dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) DIJ, Irwan Yulianto (Kompas), Distyawan (Balmon-Depkominfo), Agus Sudibyo dari Yayasan SET, Alex dari Radio Global FM mewakili radio swasta niaga, Bapak Lilik, ketua Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta yang mewakili radio komunitas dan Himawan Wahyudi dari Komisi A DPRD Provinsi DIJ.
Adapun ketentuan yang memberatkan masyarakat radio komunitas adalah alokasi tiga kanal pada 107.7 MHz, 107.8 MHz, dan 107.9 Mhz. Persoalannya mulai dari tumpang tindih frekuensi dengan radio swasta yang daya kekuatannya lebih besar sampai sesaknya ketiga kanal itu di suatu daerah sehingga radio komunitas harus menggunakan frekuensi lain. Belum lagi soal dibatasinya daya jangkau siaran yang hanya boleh mencapai 2,5 km. “Ketentuan ini menyulitkan radio komunitas yang pendengarnya tidak dibatasi oleh wilayah, tetapi berdasarkan kesamaan visi yang diembannya. Misalnya radio tentang pendidikan yang target pendengarnya tinggalnya tersebar di berbagai wilayah,” ungkap Pak Lilik dari Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta. Dina Listyorini dari KPID Yogyakarta membenarkan bahwa PP yang ada tidak mempertimbangkan kondisi geografis setiap daerah dan realitas masyarakat. Sebagai contoh saja, bagaimana ketentuan ini bisa diberlakukan di Papua yang luas satu desa saja bisa lebih dari 2,5 km. Keharusan untuk mengisi pertanyaan tentang modal di formulir pendaftaran juga membingungkan praktisi radio komunitas. Pasalnya radio komunitas hanya mengenal biaya penyelenggaraan radio, bukan istilah modal seperti yang diterapkan pada radio swasta niaga.
Lalu bagaimana persoalan radio komunitas ini bisa dirembuk bersama untuk menemui solusi yang menguntungkan berbagai pihak? Distyawan dari Balai Monotoring Depkominfo mengungkapkan bahwa tugas Balmon didasarkan atas peraturan yang ada. Namun jika terjadi persoalan antara radio komunitas, misalnya, dengan radio swasta niaga, maka pihaknya bersedia menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya. Irwan Yulianto dari Harian Kompas menyarankan agar radio komunitas bisa memulai gerakannya dengan melihat kesesuaian antara UUD 1945 dengan peraturan pemeirntah. Jika PP tidak sesuai aspirasinya dengan produk hukum tertinggi maka PP harus dirubah. Caranya bisa bermacam, misalnya melalui juridicial review, merubah kebijakan publik melalui iklan layanan masyarakat di media massa, menulis artikel dan surat pembaca di media massa, kalau perlu memberikan tekanan melalui demonstrasi seperti yang dilakukan oleh para buruh belum lama ini. Masyarakat radio komunitas di Jogjakarta sendiri nampaknya ingin terus mencoba jalur kompromi dengan berbagai pihak yang berwenang. (Ad)
Papas Kesenjangan Digital Lewat PC untuk Mereka
Pada tahun 2015, seperti diamanatkan dalam Millenium Development Goals (MDG), ditargetkan minimal separuh penduduk Indonesia sudah mengenal atau memiliki komputer. Pada kenyataannya, saat ini tingkat kepemilikan komputer di Indonesia baru berkisar 2 persen dari keseluruhan populasi (1 komputer untuk 50 orang). Pada titik ini, dibutuhkan komitmen yang jelas, terutama dari pemerintah untuk mendorong peningkatan penetrasi komputer di Indonesia.
Kenapa harus menunggu gerak pemerintah? Demikian barangkali yang terlintas di pikiran beberapa siswa SMU Pelita Harapan Bukit Sentul, Bogor. Mereka merancang program “PC untuk Mereka” yang bertujuan menyalurkan sumbangan komputer-komputer (PC-Personal Computer) bekas pakai dari perorangan maupun institusi ke lembaga-lembaga nirlaba di seluruh Indonesia, terutama yang bergerak dalam bidang pendidikan dan penguatan masyarakat.
Dalam situsnya www.pcuntukmereka.org, dituliskan pihak yang layak menerima sumbangan antara lain sekolah-sekolah, panti asuhan, rumah singgah, lembaga rehabilitasi dan lembaga-lembaga lain yang dapat memanfaatkan komputer untuk media pembelajaran masyarakat. Syaratnya, lembaga tersebut harus berorientasi non-profit, memiliki infrastruktur untuk menjalankan PC, dan dapat memberikan alasan secara jelas mengapa mereka membutuhkan PC tersebut.
Meskipun bekas, spesifikasi komputer yang disumbangkan minimal setara pentium II atau lebih tinggi lengkap dengan hard disk, keyboard, mouse dan monitornya. Yang paling penting, komputer tersebut masih dalam kondisi dapat bekerja dengan baik.
Tertarik untuk memberikan donasi? Kirimkan saja formulir yang tersedia di www.pcuntukmereka.org ke alamat [email protected]. Sedangkan bagi pemohon donasi bisa mendapatkan formulir permohonan di website yang sama dan dikirimkan ke [email protected] atau via pos ke Panitia Program PC Untuk Mereka di bawah ini:
Sekolah Pelita Harapan Bukit Sentul
c/p Panitia Program PC Untuk Mereka
Dirgayuza Setiawan
Jl. Babakan Madang, Bukit Sentul, Bogor, Indonesia
Telephone: 08128702777 (David Citra)