Perpustakaan (Alternatif) Masyarakat Kota Yogyakarta

Oleh: Ahmad Subhan *)

Yogyakarta barangkali bisa menyandang satu julukan baru, yakni kota seribu julukan. Beberapa diantaranya yang sempat maupun masih melekat ialah kota budaya, kota pelajar, dan kota sepeda. Medio tahun 2006, beberapa pegiat dunia penerbitan Yogyakarta menyematkan julukan Jokotabu, akronim dari Jogjakarta Kota Sejuta Buku.

Dalam hal perbukuan, kota Yogyakarta cukup fenomenal. Selepas reformasi 1998, kota yang terbilang kecil ini diramaikan oleh ratusan penerbit. Pada tahun 2001, sebuah jurnal mahasiswa UGM, Balairung, melansir angka 114 penerbit buku tumbuh di Yogyakarta. Data yang diakses pada 3 Juli 2008 dari situs milik Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada halaman untuk IKAPI Cabang Yogyakarta, menunjukkan angka 47 penerbit yang menjadi anggota asosiasi penerbit buku ini. Di luar bilangan tersebut, besar kemungkinan masih banyak lagi penerbit buku yang menyemarakkan Yogyakarta dengan produk bukunya. Mengingat ada beberapa asosiasi penerbit buku non-IKAPI di kota ini; di antaranya yang pernah muncul seperti Asosiasi Penerbit Alternatif (APA) dan Asosiasi Penerbit Independen (API).

Keberlimpahan dalam hal buku merupakan salah satu keistimewaan Yogyakarta. Berbarengan dengan itu, perihal mengakses buku adalah suatu kemewahan pula. Bukan rahasia bila para pemamah buku bukanlah orang kebanyakan. Banyak dari para penikmat buku adalah mereka yang memiliki posisi lebih beruntung dalam tatanan kelas sosial. Salah satu kelompok tersebut ialah mahasiswa. Mereka yang bermodal untuk membeli buku serta berwaktu luang untuk membacanya.

Ruang alternatif untuk mengakses buku tanpa perlu modal banyak adalah perpustakaan. Di perpustakaan, tanpa memandang status sosialnya, masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses buku. Dan ruang yang egaliter itu bernama perpustakaan umum.

Kendati begitu, keberadaan perpustakaan umum milik pemerintah rupanya tidaklah serta-merta mendekatkan masyarakat umum pada buku kemudian mengaksesnya secara bergairah. Begitu pula argumen yang disampaikan oleh Ida Fajar Priyanto dalam makalahnya yang berjudul Getting closer to customers: the mushrooming of Alternative libraries in Yogyakarta, Indonesia; bahwa perpustakaan umum belum memadai dalam melayani masyarakat. Makalah tersebut ia presentasikan pada Agustus 2006, dalam konferensi asosiasi perpustakaan sedunia di Seoul Korea.

Pada kondisi berjaraknya perpustakaan umum dengan masyarakat, baik dari dimensi ruang tempuh maupun kesempatan waktu mengakses; hadirlah perpustakaan-perpustakaan alternatif yang tersebar pada beberapa kawasan di Yogyakarta. Priyanto berkesimpulan bahwa kedekatan dan upaya mendekatkan diri yang dilakukan pegiat perpustakaan alternatif merupakan terobosan dalam memberikan layanan bagi masyarakat.

Sejurus dengan itulah kelebihan perpustakaan masyarakat yang menjamur di Yogyakarta, perpustakaan-perpustakaan yang lebih dekat untuk diakses, yakni perpustakaan masyarakat di tingkat Rukun Warga (RW). Pada pengujung tahun 2007, resmilah sejumlah 110 perpustakaan masyarakat tingkat RW sebagai mitra Perpustakaan Kota yang bernaung di bawah Dinas Pendidikan dalam ikhtiar menyuburkan budaya baca masyarakat.

***

Pendidikan adalah kata kunci guna menelusur cikal-bakal mengapa Pemerintah Kota getol menggenjot pertumbuhan perpustakaan masyarakat. Dalam dokumen Rencana Aksi Daerah (RAD) bertajuk “Mewujudkan Pendidikan Berkualitas Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011”, khususnya pada bagian perihal perpustakaan, paragraf awalnya dibuka dengan pernyataan, “Untuk mempertahankan ikon Kota Pendidikan.”

Segendang sepenarian dengan misi tersebut, dalam perhelatan Sosialisasi dan Sarasehan Perpustakaan Masyarakat yang digelar pada Senin 23 Juni di Balai Kota; Kepala Bagian Tata Usaha Bappeda Kota Yogyakarta mencetak tebal misi nomor wahid perihal program pendirian perpustakaan masyarakat pada teks presentasinya yang berbunyi, “Mempertahankan predikat kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan”. Baru kemudian menyusul misi selanjutnya yang menyebut upaya mempertahankan Yogyakarta sebagai kota pariwisata, kota budaya, lalu kota perjuangan.

Dapat dipahami bila misi tersebut menjadi nomor wahid, mengingat gerak roda perekonomian masyarakat kota ini dibikin licin oleh peredaran uang yang dibelanjakan para pelajar dan mahasiswa.

***

Kembali mengutip Priyanto, berdasarkan kajiannya ia berpendapat bahwa hal yang kerap jadi sandungan kiprah perpustakaan alternatif adalah dana. Priyanto mengusulkan agar pemerintah daerah peduli pada perpustakaan alternatif dengan memberikan dukungan dana bagi kelangsungannya.

Bagai gayung bersambut di lain biduk, pemerintah kota Yogyakarta menampilkan keseriusannya mendukung perpustakaan masyarakat. Perihal itu jelas terbaca dalam dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Yogyakarta Tahun 2007. Pemerintah Kota mengalokasikan dana sebesar Rp. 591 juta rupiah sebagai dana stimulan bagi 110 perpustakaan masyarakat. Duit setengah miliar lebih tersebut mengalir dalam tiga jalur kategori perpustakaan, yakni: kategori A ialah perpustakaan yang sudah baik sebanyak 33 perpustakaan yang masing-masing memperoleh bantuan sebesar Rp. 5,5 juta. Kategori B, perpustakaan yang sudah terbentuk, tetapi belum berjalan sebagaimana mestinya karena kurangnya dana operasional atau koleksi buku yang dimilikinya sudah jenuh. Ada 35 perpustakaan dalam kategori B yang masing-masing dikucuri bantuan sebesar Rp. 4,5 juta. Terakhir, Kategori C yakni perpustakaan rintisan sebanyak 42 buah mendapat bantuan sebesar Rp. 6 juta per perpustakaan.

Dokumen APBD Kota Yogyakarta Tahun 2008 juga memuat pos pengeluaran untuk program perpustakaan masyarakat. Tahun ini, Pemerintah Kota Yogyakarta mengalokasikan uang sebesar 500 juta rupiah.

***

Acungan jempol adalah layak untuk program pendirian perpustakaan masyarakat yang dicanangkan pemerintah kota Yogyakarta. Beberapa tahun ke depan, Pemerintah Kota Yogyakarta bercita-cita semua RW di Yogyakarta yang berjumlah 600-an memiliki perpustakaan. Cita-cita yang perlu diapresiasi dan diharapkan Pemerintah Kota Yogyakarta merawat eksistensi per­pustakaan masyarakat agar tak sekadar laksana cendawan yang melenyap saat kemarau menjelang.

*) Pustakawan IRE, Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud