Collapse: Sebuah Peringatan untuk Peradaban Masa Depan

Judul                             : Collapse, Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia
Pengarang                    : Jared Diamond
Penerbit                        : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit, cetakan : 2014, cetakan I
Jumlah halaman          : xii + 741
Dimensi                        : 15 cm x 23 cm
ISBN                             : 978-979-91-0682-7
Harga                            : Rp 135.000

Bicara soal bencana, Indonesia tak akan habis ditelaah. Dari spektrum yang cukup luas, kita bisa melihat bencana sebagai apapun yang bersifat destruktif. Ia bisa menyebabkan kekacauan, dan yang paling parah, kehancuran. Sebut saja misalnya, bencana alam dan bencana sosial. Lebih-lebih bila kita tarik ke ranah posmodernisme, bencana akan bisa diterjemahkan lebih spesifik seperti bencana finansial, bencana politik, bencana kerukunan, bencana budaya, dan seterusnya. Sungguh, terlalu banyak kemungkinan dalam dunia posmo.

Di Indonesia, term bencana tidak cukup fasih diperdengarkan atau dituliskan untuk isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Term bencana ini lebih banyak dilekatkan dengan peristiwa-peristiwa alam, seperti gunung meletus, tsunami, gempa bumi, angin topan, dsb. Setidaknya itu yang saya ketahui.

Ada sebuah buku tentang bencana yang beberap bulan lalu mulai menarik minat saya. Judulnya Collapse. Buku itu disusun oleh seorang profesor Geografi dan Ilmu Kesehatan lingkungan dari University of California bernama Jared Diamond. Kalau boleh melabeli, dia adalah ilmuwan multidisiplin. Kenapa begitu? Kita akan paham setelah membaca bukunya.

Sebenarnya, buku ini adalah buku pelengkap dari buku sebelumnya yang berjudul Guns, Germs and Steel (Bedil, Kuman dan Baja)—tentang kemunculan dan perkembangan peradaban, yang juga merupakan hasil penelitian jangka panjang yang dia lakukan di hampir setiap belahan dunia. Namun, bukan berarti membaca Collapse, tanpa membaca Guns, Germs and Steel akan menjadi ahistoris. Tidak sama sekali. Kita tetap bisa menikmati paparan komprehensif dari Jared Diamond dengan bahasa yang  ringan—kecuali istilah spesifik yang hanya dikenal bidang pengetahuan tertentu, seakan mendengarkannya bercerita secara lisan kepada kita.

Nama Jared Diamond sudah saya dengar sejak lama, namun baru beberapa bulan terakhir ini saya mulai mencari tahu tentang karyanya. Perkenalan saya lebih jauh dengannya berawal dari ruang diskusi maya. Saat itu beberapa teman sedang berdiskusi asik tentang banalitas kehidupan manusia modern dan kecenderungan anti-peradaban. Beberapa nama profesor dan akademisi teras menjadi rujukan, seperti John Zerzan, Ted Kaczynski, dan tentu saja Jared Diamond. Dari sana saya mencoba mencari bukunya yang sudah diterbitkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dan, voila! Saya mendapatkan bukunya pada sebuah gelaran festival buku di Jakarta. Sedikit beruntung karena bukunya itu sudah cukup sulit dicari.

Banyak hal baru dan menarik yang saya temui dalam buku yang pertama kali diterbitkan pada 2005 ini, yang berjudul asli Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed. Selama ini, kita bicara banyak tentang bencana alam, konflik sosial, politik, perubahan iklim, dan seterusnya. Sudah banyak pula buku-buku yang membahas tema-tema tersebut, dari yang umum hingga ke kasus yang paling spesifik. Tetapi, baru di buku Diamond inilah saya menemukan keterpautan antar-aspek tersebut. Tidak heran,  karena Diamond memadukan banyak disiplin ilmu sebagai perspektif dan analisanya. Kita akan banyak menemukan hal ihwal yang berbau biologi, geografi, arkeologi, ekologi, antropologi, sejarah dsb. dalam buku ini. Buku inilah yang telah membuat saya terkagum, sekaligus merasakan kengerian hidup yang sedang kita jalani ini.

Saya sendiri tak pernah berpikir sejauh yang dituliskan di buku: betapa eratnya keterpautan antarunsur-unsur kehidupan. Sejak pertama kali mengenal biologi, kita diajarkan tentang varian makhluk hidup: manusia, tumbuhan, dan hewan. Kemudian berkenalan dengan iklim, cuaca dan ekosistem yang menunjang keberlangsungan kehidupan. Lebih lanjut, kita akan disuguhkan tentang apa-apa yang membentuk alam semesta ini. Intinya, semua unsur-unsur alam itu memiliki sistem yang terbentuk secara alamiah selama ribuan bahkan jutaan tahun lamanya—mungkin sejak big bang. Dan, peradaban adalah anak kandung dari proses evolusi semesta. Ya, Diamond dengan sangat jeli memperhatikan aspek-aspek tersebut dan menganalisa ketergantungan satu sama lainnya. Hipotesisnya adalah bahwa runtuhnya peradaban tidak melulu disebabkan oleh satu aspek, melainkan sebuah kelindan antara alam dengan manusianya.

*
Sebagai sebuah judul, Collapse membantu saya membayangkan peristiwa-peristiwa apokaliptik. Saya jadi teringat film-film fiksi-ilmiah a la Hollywood yang menyajikan kehancuran-kehancuran maha besar, yang bahkan tak ada seorang pun yang bisa selamat, kecuali si aktor utama yang ditakdirkan sebagai pewaris ras manusia. Meski yang saya temukan dalam buku tersebut tidak sevulgar itu. Keruntuhan yang dikisahkan Diamond adalah sebuah evolusi. Ada tahap-tahap yang dilalui hingga pada akhirnya tak ada satu pun yang bertahan. Collapse (keruntuhan) didefinisikan olehnya sebagai “penurunan drastis ukuran populasi dan/atau kompleksitas politik/ekonomi/sosial, di wilayah yang cukup luas, untuk waktu yang lama,” (hlm. 4). Keruntuhan di sini jelas tidak seperti kisah yang menyebutkan bahwa hujan meteor menjadi penyebab utama punahnya makhluk-makhluk purba. Keruntuhan tidak terjadi secara instan atau sejentikan jari, melainkan seperti sebuah bom waktu yang akan meledak saat detik menunjuk angka nol.

Sang Profesor menyusun lima faktor yang menjadi pertimbangan untuk melihat musabab runtuhnya suatu peradaban, yakni: 1) kerusakan lingkungan oleh manusia secara tidak sengaja; 2) perubahan iklim; 3) tetangga yang bermusuhan; 4) berkurangnya sokongan dari tetangga yang bersahabat; 5) tanggapan masyarakat terhadap masalah lingkungan ataupun bukan-lingkungan—sosial, politik, budaya, dsb. (hlm. 14-18). Jika melihat faktor-faktor tersebut, Diamond memang tidak sedang bicara tentang kehancuran bumi dari sudut pandang environtmentalist, karena dia memasukkan unsur non-lingkungan ke dalamnya, yakni soal relasi sosial antarkomune. Ihwal ini juga guna membantah tudingan bahwa buku ini sangat ecology-determinism. Meskipun saya sedikit mengamini tudingan tersebut karena kecenderungan ekologi memang sangat kuat dalam setiap paparannya. Hal ini bisa dimaklumi mengingat latar disiplin ilmu Sang Profesor.

Poin-poin yang dibuat olehnya akan membantu kita membaca kemungkinan keruntuhan peradaban. Kasus peradaban Maya, misalnya, boleh dikategorikan sebagai kasus yang kompleks. Lima poin tersebut hampir simultan terjadi di senjakala salah satu peradaban termahsyur yang pernah ada itu. Over-populasi yang tak tertanggung sumber daya yang tersedia menyebabkan konflik sosial antarkelompok. Belum lagi bencana perubahan iklim dan penggundulan hutan di masa lampau yang turut memperparah krisis sumber daya seperti air dan tanaman pangan. Sikap para elit (raja) yang mementingkan urusan jangka pendek seperti memperkaya diri, mengobarkan perang, membangun simbol kejayaan berupa monumen yang memicu persaingan antarsuku, pun berandil atas kehancuran Maya. Semua berkelindan dan Maya pun punah (hlm. 198-223). Apakah Maya mengingatkan kita akan sesuatu yang terjadi hari ini? Tentu saja. Keserakahan kaum elit yang mengeksploitasi isi bumi demi menumpuk kekayaan, yang menyebabkan kerusakan lingkungan berdampak jangka panjang bagi peradaban manusia, serta perubahan iklim yang sudah ditakdirkan, kini sedang berlangsung. De javu-kah, atau sejarah yang berulang?

Hal hampir serupa di beberapa peradaban seperti Pulau Paskah, Pitcairn, Henderson dan Mangareva. Di pulau-pulau Pasifik itu, kerentanan lingkungan—keterbatasan sumber daya dan iklim—menjadi penyebab utama, meski konflik sosial juga tak luput di peradaban yang populasinya banyak, seperti Paskah. Suku Anasazi di Amerika tengah malah lebih mirip. Faktor-faktor penyebab keruntuhan seperti Maya juga terjadi pada mereka.

Berbeda dengan peradaban-peradaban yang sudah disebut di depan, Diamond juga mengambil sampel peradaban lampau yang masih bertahan hingga saat ini, yakni Viking yang berasal dari dataran Skandinavia. Meski menderita hal yang sama dengan mereka yang punah, Viking ternyata mampu bersiasat untuk bertahan. Bukan berarti tidak ada Viking yang tak punah, sebagai contoh bangsa Viking yang tinggal di Nors Greenland. Namun, sebagian Viking berhasil bertahan karena faktor ke lima dalam kategorisasi Diamond, yakni tentang bagaimana menyikapi masalah. Bangsa Viking—berasal dari kata vikingar yang artinya penyerbu—melakukan penyerbuan-penyerbuan ke luar wilayah mereka. Meski apa yang mereka lakukan cenderung negatif, ‘upaya’ itu berhasil memperkuat relasi dengan komune lain. Berkat penyerbuan, mereka mendapat sokongan yang kuat dari tetangga. Ternyata dampak dari penyerbuan tidak melulu negatif. Beberapa di antaranya malah menciptakan relasi ekonomi (perdagangan) dan kultur (pernikahan). Penjelajahan Viking di masa lampau berhasil membawa mereka ke dunia modern hari ini (Bab 6 dan 7).

Peradaban-peradaban masa lalu memang sudah menjadi sejarah. Namun, analisa yang dilakukan oleh Diamond membuat kita lebih waspada dalam menyikapi kehidupan-kehidupan yang masih berlangsung.  Setelah melihat masyarakat-masyarakat yang hilang ditelan zaman, Diamond mengajak kita melakukan refleksi hari ini. Beberapa masyarakat seperti Rwanda, Dominika, Haiti, Cina hingga Australia, dijadikan sampel. Meski situasi dan kondisi lingkungan maupun sosial di masa lalu bisa jadi berbeda sama sekali dengan hari ini, penyebab-penyebab utama keruntuhan yang diajukan Diamond masih sangat relevan. Keberadaan teknologi yang digadang-gadang bisa mengatasi segala permasalahan manusia di masa lalu, dan bahkan dipercaya bisa membuat ras manusia abadi, justru menjadi persoalan lain. Kehadiran teknologi tidak begitu saja ada seperti kepercayaan bahwa Adam diciptakan oleh Tuhan dengan kantung ajaib. Teknologi ada berkat proses panjang yang melibatkan banyak eksploitasi, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Dan, dalam prosesnya itu, cukup banyak—atau bahkan sangat banyak—kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan. Misalnya, kerusakan hutan dan lahan akibat tambang mangan untuk bahan baku baterai, beserta pencemaran air dan udara yang dihasilkannya. Itu saja sudah memberi dampak yang besar bagi ekosistem. Bisa dibayangkan ada berapa banyak jumlah tambang, sampah industri, dan perilaku manusia modern yang berdampak serius terhadap lingkungan?
Pertanyaan ini kembali mengingatkan saya pada diskusi yang membawa saya hingga ke sini: banalitas manusia modern dan anti-peradaban. Kekhawatiran yang tersirat dalam diskusi itu bisa jadi benar adanya. Namun, sikap anti-peradaban juga menjadi fatalis di tengah kompleksitas persoalan lingkungan dan kemanusiaan yang terjadi abad ini. Seorang teman pernah berujar, “jika kaum primtivis menghujat habis peradaban modern, jalan satu-satunya adalah memusnahkan semua ras manusia, dan mungkin sisakan barang sedikit. Maukah mereka melakukan itu? Jika tidak, maka anti-peradaban menjadi irrelevan.” Tidak sama persis, tapi kira-kira itu inti dari ucapannya.

Kembali ke Collapse. Tak melulu teknologi yang menjadi penyebab keruntuhan. Diamond membuktikan bahwa di tengah keadaan penuh ketenangan, ketentraman, dan minim konflik sosial, juga menyimpan potensi kehancuran. Montana adalah contoh yang dia sebutkan. Secara kasat, tempat itu adalah idaman bagi setiap manusia urban yang terjebak dalam rutinitas kerja dan modernitas gedung tinggi. Montana adalah surga yang diduplikasikan ke dunia: berada di lembah yang luas dengan hamparan rerumputan hijau dan latar gunung beratap salju. Ironinya adalah, Diamond mengungkap bahwa yang terjadi hari ini di sana adalah “mikrokosmos masalah-masalah lingkungan yang terjadi di bagian lain Amerika Serikat: populasi meningkat, imigrasi, semakin langka dan semakin buruknya kualitas air, kualitas udara yang buruk secara lokal mupun musiman, limbah beracun (akibat tambang), meningkatnya resiko kebakaran liar, kehancuran hutan, hilangnya tanah atau zat haranya, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan akibat spesies hama hasil introduksi, dan efek-efek perubahan iklim,” (hlm. 39). Belum lagi ditambah persoalan perbedaan sikap para penduduknya dalam melihat persoalan-persoalan lingkungan tersebut. Meminjam istilah Diamond: konflik kepentingan. Montana adalah salah satu wilayah yang diprediksi runtuh oleh Diamond, dengan pertimbangan-pertimbangannya. Montana mungkin tidak akan lenyap dalam satu dua dekade, tapi peradaban di sini akan punah apabila perilaku manusianya masih tetap seperti hari ini.

*
Collapse membuat saya tertegun, sejenak berpikir, “akan seperti apa bumi pada satu atau dua abad ke depan.” Membayangkan analisa Diamond seperti melihat masa depan, meskipun dia berangkat dari masa lalu.

Ketimbang tentang paparan hasil riset, Collapse, bagi saya, lebih seperti buku berisi propaganda tentang skenario akhir dunia. Buku ini menjadi semacam peringatan bagi manusia yang hidup di zaman ini, bahwa sejatinya kita sedang menuju keruntuhan. Sang penulis seolah mengatakan, “lihat pendahulumu, mereka punah karena mengabaikan cara alam bekerja.”

Membaca Collapse seperti diajak bertamasya melampaui ruang dan waktu. Diamond berhasil menarik saya ke sebuah daerah terpencil di Amerika Serikat bernama Montana, kemudian diajak berkeliling ke Pulau Paskah di lautan Pasifik, bergeser ke pulau-pulau sekitarnya seperti Pulau Pitcairn, Pulau Mangareva dan Pulau Henderson. Petualangan berlanjut ke benua Amerika, dari peradaban Anasazi di utara hingga Maya di selatan. Dan terus bergeser ke benua Eropa, Afrika, Asia, dan berakhir di Australia—berangkat dan kembali ke Pasifik. Tak hanya ruang, dia pun membawa saya menembus waktu. Di awali dengan peradaban hari ini, ditarik dengan mesin waktu ke zaman es, atau jauh sebelum itu. Ruang yang luas dan kurun yang panjang dilipat oleh Diamond dalam buku setebal 731 halaman. Pengalaman menjelajahi dunia, disuguhkan dengan ciamik oleh ilmuwan fisiologi ini, seolah kita sedang turut melakukan observasi di situs-situs peradaban yang sudah punah.

*
Sebenarnya, setelah membaca buku itu, masih ada hal yang membuat saya terganjal. Diamond memang tak membahas peradaban di Indonesia dalam Collapse, hanya sesekali menyebut Papua—Papua Barat dan Papua Nugini—sebagai pembanding. Namun, dalam TED talkshow, Diamond menyebut Indonesia sebagai bangsa yang “close to collapse,” bersama dengan Nepal dan Kolombia. Kehancuran memang menjadi keniscayaan. Setiap agama atau kepercayaan bahkan menjanjikan kehadiran fase kehancuran tersebut. Tetapi mungkin, menarik kiranya bila kita bisa mengetahui apa-apa saja yang bisa membuat Indonesia hancur. Apa karena industrialisasi yang brutal? Letak geografis yang tidak lagi kondusif? konflik sosial? Pencemaran dan berkurangnya sumber daya? Ataukah ada faktor lain yang menjadi khas dalam keruntuhan Indonesia? Itu yang membuat saya penasaran.

Bagi Diamond, hanya ada dua cara untuk menyelesaikan persoalan-persoalan itu. Pertama, menghentikan ‘bom waktu’ yang saat ini sedang berjalan—melakukan perbaikan, dsb. Kedua, diselesaikan dengan perang, wabah, kelaparan, dsb. Artinya, jika boleh saya menafsirkan, memusnahkan manusia separuh ras manusia untuk menyelesaikan persoalan kekurangan sumber daya. Menurutnya, manusia selalu punya pilihan. Dan, kehendaklah yang akan menentukan. []

Peresensi : Ferdhi Fachrudin Putra

Pegiat Combine Resource Institution

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud