Berani Berjuang Tuntut Hak Layanan Kesehatan dan Klaim BPJS

Ketika sakit, peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memiliki hak untuk mengklaim biaya yang dikeluarkan untuk membeli obat maupun biaya rumah sakit. Namun, hingga hari ini masih ada saja peserta BPJS Kesehatan yang kesulitan mengurus klaim kesehatannya. Dalam beberapa kasus, peserta BPJS harus mengeluarkan segala keberanian dan daya upaya agar bisa mengklaim biaya kesehatan yang sebenarnya merupakan hak dari semua peserta BPJS. Hal itulah yang saya alami ketika hendak mengurus klaim asuransi untuk biaya perawatan istri saya di sebuah rumah sakit di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, pertengahan Juli lalu.

Kejadian itu bermula pada libur Lebaran lalu, ketika kami sekeluarga mudik ke kampung halaman istri. Dua hari pasca-Lebaran, istri saya mengeluh sakit. Melihat kondisinya yang kesakitan, saya segera membawa dia ke rumah sakit. Kami tiba di RS pada Minggu (19/7) sekitar pukul 02.45 WIB (dini hari) dan langsung menuju ke Unit Gawat Darurat (UGD).

Sementara istri saya diperiksa, seorang petugas medis menanyakan apakah saya memiliki asuransi. Saya pun menjawab bahwa saya memiliki asuransi BPJS. Petugas tersebut meminta saya menunjukkan kartu BPJS dan KTP istri saya. Berhubung saya tidak membawa kartu BPJS, petugas tersebut mengatakan saya harus memberikan jaminan Rp 200.000. Uang jaminan itu akan dikembalikan begitu saya bisa menunjukkan kartu BPJS asli.

Saya tidak langsung mengiyakan dan memilih mengecek tas istri saya untuk mengambil KTP-nya. Ternyata, di tas itu saya juga menemukan kartu BPJS miliknya. KTP dan kartu BPJS itu pun segera saya serahkan ke petugas medis.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, istri saya ternyata harus menginap di RS karena memerlukan penanganan oleh dokter spesialis penyakit dalam. Kebetulan, saat itu tidak ada dokter penyakit dalam yang piket.

Setelah itu, saya diminta kembali ke ruang layanan administrasi untuk menandatangai sejumlah berkas. Termasuk di antaranya adalah formulir surat jaminan mondok, surat pernyataan naik kelas dari kelas I ke VIP, dan surat pernyataan menggunakan obat dan alat medis standar BPJS. Sayangnya saya tidak memiliki salinan surat-surat yang saya tandatangani itu.

Usai urusan administrasi, istri saya pun dibawa ke ruang rawat inap. Setelah menginap satu malam, keesokan harinya kondisi istri saya membaik. Namun, istri saya mengeluhkan tangan kirinya yang sakit, terutama di bagian yang disuntik jarum infus. Oleh karena itu, kepada perawat yang berkunjung ke ruangan pada pukul 08.00, saya meminta agar posisi jarum infus dipindahkan ke tangan kanan. Perawat tersebut menolak karena proses pemindahan jarum infus harus dikonsultasikan dengan dokter jaga, dan dokter yang bersangkutan belum datang.

Satu jam kemudian, belum ada respons dari perawat maupun dokter terhadap keluhan istri saya. Saya yang mulai merasa kesal kemudian mendatangi perawat dan meminta dokter segera berkunjung karena jam 09.00 adalah jam kunjungan dokter. Namun, perawat menginformasikan bahwa dokter sedang melayani pasien di UGD. Tak tega melihat istri yang kesakitan, saya pun memaksa perawat untuk memindah jarum infus atau jika dimungkinkan sekalian melepas infus, karena istri saya merasa sudah sehat. Melihat saya tidak sabar, perawat itu pun akhirnya bersedia melepas infus dengan memasang wajah cemberut.

Berani tegas

Hingga pukul 12.00, dokter tak kunjung tiba. Akhirnya sekitar pukul 13.00 saya kembali mendatangi ruang perawat untuk menanyakan kunjungan dokter dan kondisi kesehatan istri saya. Sebab selain infusnya sudah dilepas, sejak pagi istri saya tidak mendapat obat. Saya juga melihat kondisi istri saya sudah membaik. Namun, lagi-lagi perawat meminta saya bersabar.

Sekitar pukul 15.00, salah satu saudara kami datang menjenguk. Saya pun menceritakan apa yang kami alami selama mondok di RS tersebut. Usai mendengar cerita saya, saudara kami itu ternyata datang melabrak ke ruang perawat. Takut terjadi sesuatu, saya dan istri saya pun segera menyusul ke ruang perawat.

Di ruang perawat, dengan nada tinggi saudara saya menanyakan kondisi kesehatan istri saya, apakah sudah sehat dan boleh pulang. Mendapat pertanyaan itu, salah seorang perawat menjawab bahwa pasien baru bisa pulang jika ada persetujuan dokter. Selain itu, jika pasien pulang pada hari itu, maka pasien harus bayar penuh terlebih dahulu karena bagian pelayanan BPJS sedang cuti bersama. Jika dokter tidak mengijinkan pulang tetapi pasien memaksa pulang, maka jika sakitnya kambuh pihak RS tidak bisa menerima pasien tersebut sebagai peserta BPJS.

Mendengar hal itu, saya menjelaskan bahwa saya tidak menuntut pulang. Saya hanya ingin mengetahui perkembangan kondisi kesehatan istri saya. Mungkin karena tidak sabar melihat respons para perawat, saudara saya menyahut dengan tegas: “Saya akan bayar penuh semua .. saya minta informasi dari dokter sekarang juga …!”

Mendapat desakan saudara saya, perawat segera menelepon dokter jaga di UGD untuk datang ke ruang jaga perawat. Dokter jaga pun datang dan meminta kami kembali ke ruang rawat inap karena akan memeriksa kondisi istri saya. Ia segera menanyakan kondisi istri saya, sekaligus meminta maaf karena dokter jaga di shift pagi tidak datang untuk memeriksa kondisinya. Mengetahui bahwa kondisi istri saya membaik, dokter itu pun memperbolehkan istri saya pulang.

Senin petang, saya menerima berkas surat keluar RS dan diminta ke ruang administrasi untuk mengurus pembayaran. Di situ saya harus membayar penuh biaya rawat inap sebesar Rp 2.650.000. Petugas menjelaskan bahwa dalam dua minggu saya akan mendapat informasi soal biaya mana saja yang akan ditanggung BPJS dan mana yang ditanggung pasien karena istri saya naik kelas dari Kelas I ke VIP.

Berani menggugat

Pada 23 Juli 2015, sekitar jam 10.00 WIB, saya mendatangi kantor BPJS. Begitu sampai di depan petugas bagian pelayanan, saya segera menceritakan kronologi rawat inap istri saya di RS. Petugas tersebut menjelaskan bahwa karena pasien langsung ke UGD (tidak melalui faskes I), maka perlu ada verifikasi untuk menentukan apakah jenis penyakit istri saya masuk dalam kategori gawat darurat atau tidak. Jika tidak masuk kategori, maka biaya perawatan tidak akan diganti oleh BPJS. Saya pun mempertanyakan kenapa proses veririfikasi memerlukan waktu hingga dua minggu, dan mengapa petugas BPJS di RS cuti bersama. Tetapi saya tidak mendapatkan jawaban dari petugas.

Petugas tersebut tidak memberi penjelasan lebih rinci yang dapat membantu saya mengurus klaim pembayaran biaya RS. Ia justru meminta saya menemui petugas loket BPJS di RS tempat istri saya dirawat untuk konfirmasi, sekaligus meneruskan memo darinya.

Saya merasa tidak terbantu dan justru dilempar kesana kemari untuk mengurus hak saya. Oleh karena itu, saya pun tidak menemui petugas loket BPJS dan memilih menyelesaikan urusan keluarga yang padat saat Lebaran. Lagipula, saya beranggapan bahwa kantor BPJS-lah yang wajib melakukan konfirmasi langsung ke loket BPJS RS. Itu hal yang mudah untuk dilakukan, terlebih dengan adanya fasilitas teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini. Di sela-sela waktu, saya menyempatkan menulis dan mendokumentasikan kronologi kejadian yang saya dan istri alami. Saya menganggap ini sangat penting.

Setelah urusan keluarga selesai kami kembali ke Yogyakarta. Upaya mengurus klaim BPJS tetap kami lakukan. Setelah bertanya kepada sejumlah rekan yang paham urusan hukum, saya pun berniat melakukan somasi kepada pihak RS.

Saya merasa perlu melakukan somasi untuk memperjuangkan hak-hak saya sebagai konsumen yang dirugikan sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain kerugian material berupa biaya rawat inap, saya merasa dirugikan secara imaterial berupa waktu, tenaga dan pikiran yang terkuras saat proses rawat inap sampai dengan proses konfirmasi layanan BPJS serta kebuntuan saya mendapatkan hak atas informasi.

Saya pun memantapkan niat bahwa jika dalam waktu dua minggu yang telah dijanjikan RS, klaim BPJS tidak kunjung cair, saya akan mengirimkan somasi ke RS. Saat berkomunikasi dengan pihak RS, rencana somasi itu pun sempat saya singgung.

Untuk mengajukan somasi tersebut, saya telah menyiapkan sejumlah dokumen pendukung serta menyiapkan kronologi kejadian. Sasaran somasi saya adalah pihak RS karena tidak memberikan pelayanan yang baik, serta tidak menyediakan informasi yang jelas terkait kondisi kesehatan istri saya dan klaim BPJS.

Namun, belum sempat saya mengajukan gugatan, pada akhir Juli lalu pihak RS menelepon untuk menjelaskan bahwa seluruh biaya perawatan ditanggung BPJS. Bahkan biaya naik kelas dari kelas I ke VIP pun ditanggung.

Saya pun mengurungkan niat untuk mengirimkan somasi tersebut. Secara material saya merasa hak saya sudah terpenuhi, namun kerugian imaterial tidak terhitung nilainya. Dalam hati, saya sudah memafkan sikap RS. Permintaan maaf dari RS dan pihak BPJS menurut saya sudah cukup untuk mengakui kesalahanya. Ke depan saya berharap kedua lembaga pelayanan kesehatan tersebut akan memperbaiki layanannya, dan senantiasa melayani dengan hati.

Dari kejadian ini saya belajar bahwa seringkali kita butuh bersikap tegas dan berani untuk memperjuangkan hak. Selain itu, mendokumentasikan setiap tahap sekaligus mengingat kronologi kejadian ternyata sangatlah berguna. Dengan data yang kuat, saya merasa berani untuk memperjuangkan hak saya. Semoga pengalamain ini bisa untuk pembelajaran bersama.

Anton Hadiyanto
Pegiat di Combine Resource Institution

Sumber : http://suarakomunitas.net/baca/84220/berani-berjuang-tuntut-hak-layanan-kesehatan-dan-klaim-bpjs/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud