Jangan Biarkan Mereka Terjebak “Dipenjara” Majikan

Oleh Ade Tanesia

Pagi itu saya baru saja membuka email. Sebuah mailinglist buruh migran yang saya ikuti mengabarkan tentang seorang wanita bernama Titik Sunjani, kelahiran Jember yang mengalami tindak kekerasan di Riyadh. Di rumah majikannya, ia diperlakukan tidak senonoh oleh anak majikannya, majikan pria. Ia pernah menyampaikan persoalan ini kepada pihak KBRI yang ada di Riyadh. Tetapi yang terjadi pihak KBRI malah menjawab “….yang lebih parah dari kamu itu banyak”. Bukannya ditolong, Titik malah disuruh kembali bekerja ke majikannya. Titik akhirnya ditolong oleh kerabat majikannya. Gajinya yang tidak dibayar berhasil ditagih dan menjadi ongkos pulang ke Indonesia pada tahun 2005.  Di hari yang sama, saya lalu membaca koran. Kisah sedih TKW terulang lagi. Kini seorang wanita yang dibuang di jalan oleh majikannya di Malaysia dalam keadaan sakit. Beberapa hari sesudahnya, saya menonton televisi. Kini jenazah seorang buruh migran dari Arab baru saja dipulangkan, padahal ia telah meninggal dunia sejak bulan Desember 2005.
Berita-berita  getir buruh migran yang berserakan di media massa itu sungguh menyesakkan. Mengapa hal ini terus terjadi berulang-ulang. Seakan penderitaan itu telah menjadi hal biasa, dan lebih mengerikan jika  yang mendengarkan telah kebal dengan kisah-kisah tersebut.

Berdasarkan data dari Pusat data dan informasi Lembaga SARI (Social Analysis and Research Institute), maka jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) bermasalah sesuai negara penempatan dalam tiga tahun terakhir (tahun 2003-2005), maka yang kasus yang paling banyak terjadi di negara Saudi Arabia dengan jumlah total 47.486 kasus. Sementara peringkat kedua adalah TKI yang bekerja di Uni Emirat Arab dengan jumlah kasus 17.683, sementara Malaysia menduduki peringkat ketiga dengan jumlah kasus 15.815. Meskipun di Saudi Arabia begitu banyak masalah yang dihadapi TKI, kawasan Timur Tengah tetap menjadi salah satu tujuan negara yang banyak ditempati oleh TKI, yaitu mencapai 47,64% setelah Asia Pasifik. Adapun jenis permasalahan  yang dihadapi TKI dalam tiga tahun terakhir ini yang tertinggi adalah persoalan dengan majikan (25.655 kasus), gaji tidak dibayar (19.854 kasus), pekerjaan tidak sesuai perjanjian (13.006 kasus), sakit akibat kerja (6.876 kasus) pelecehan seksual (6.523 kasus), penganiayaan (6.326 kasus), dan lain-lain.

Selama ini buruh migran sering disebut pejuang devisa, karena penerimaan devisa negara dari pengiriman TKI sungguh besar, yaitu sekitar US$ 165.611.731 pada tahun 2004, itu hanya dari Asia Pasifik, Timur Tengah dan Afrika. Sayangnya jasa mereka tidak dibayar dengan sistem perlindungan yang memadai dari negara. Jaringan pengiriman buruh migran –dari mulai sponsor, agen, PJTKI–yang sering kali melakukan pemerasan tidak diatasi dengan sistematis. Oknum-oknum di Terminal Tiga Bandara Soekarno Hatta yang memeras para buruh migran juga tidak dibasmi dengan tuntas. Upaya pemerintah RI untuk membuat MoU (Memorandum of Understanding) dengan negara penerima buruh migran juga belum maksimal. Indonesia dan Malaysia pada bulan Mei mendatang akan menandatangani MoU tentang persoalan TKI. Namun draf MoU itu pun belum sepenuhnya melindungi hak-hak mendasar para buruh migran Indonesia.

Kemudian yang lebih krusial adalah tidak dibangunnya sistem informasi dan komunikasi yang cukup strategis dengan buruh migran di luar negeri sehingga praktek kekerasan kadang tidak bisa terdeteksi dari awal. Setidaknya kedutaan besar Indonesia di luar negeri mempunyai divisi pengaduan khusus untuk buruh migran Indonesia yang bermasalah. Di negara tertutup seperti Arab dan Malaysia,  pemerintah Indonesia bisa mendesak kedua negara tersebut untuk memberikan keleluasaan pada BMI agar bisa melakukan komunikasi dengan dunia luar, misalnya libur satu hari dalam seminggu, diperbolehkan mempunyai alat komunikasi seperti telepon selular, memberikan kesempatan bagi mereka untuk mendirikan organisasi.

Sejumlah artikel yang disajikan dalam tema utama ini ingin memperlihatkan upaya buruh migran untuk menerobos akses informasi dan komunikasi. Seperti misalnya buruh migran yang menggunakan radio komunitas di desa asalnya sebagai cara memberikan kabar pengiriman uang dan pesan pada keluarga. Di negara Saudi Arabia, masih banyak buruh migran yang menggunakan surat menyurat lewat pos. Ada pula yang menggunakan sponsor atau calo sebagai perantara informasi bagi keluarga di desa. Hongkong di mana negaranya sudah terbuka dan teknologi informasi dan komunikasi lebih mudah diakses oleh buruh migran, maka kebutuhan mereka bukan lagi komunikasi. Tetapi menggunakan media untuk memperkuat eksistensi dirinya, misalnya dengan cara menulis beragam pengalaman mereka sehingga muncul wacana sastra buruh migran Indonesia.

Dari kisah-kisah tersebut, maka kita bisa melihat bahwa ketika akses komunikasi sedemikian tertutupnya, buruh migran sebagai manusia akan menerobosnya kendati untuk itu mereka harus  mempertaruhkan jiwanya. Ketika akses komunikasi sudah terbuka seperti yang terjadi di Hongkong, mereka juga menggunakannya dengan maksimal untuk meningkatkan kapasitas dirinya. Yah, mereka telah memulainya. Tinggal kita yang memikirkan bagaimana membangun sistem informasi dan komunikasi yang terbaik agar tak perlu ada lagi korban-korban yang  jatuh. Jangan sampai mereka terjebak lagi di “penjara” para majikannya.

Sumber:
Pusat data dan informasi SARI. Sumber data:makalah Dirjen PPTLN Depnakertrans dalam “Side event gender UNESCAP Meeting”, Jakarta 12-16 April 2006. Ditjen PPTKLN Depnakertrans.

Unduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud