Oleh Elanto Wijoyono
“Jika ada cewek yang pandai menggunakan komputer, dan bisa menjadi programmer, itu keren sekali,” begitu sebuah ungkapan yang mengemuka dalam diskusi “Hardy Release Party” yang diselenggarakan oleh Kluwek (Kelompok Linux Cewek Indonesia). Tiga bulan lalu, sebuah tulisan di Majalah Tempo mewartakan bahwa jumlah wanita dalam dunia teknologi informasi memang sedikit, dan ini sudah gejala global. Dalam Google Summer of Code 2007, hanya ada empat persen perempuan dari sekitar 900 peserta dari 90 negara. Jerman sebagai salah satu negara terdepan dalam teknologi informasi pun mencatat hanya sekitar 15 persen jumlah perempuan dari seluruh tenaga kerja di bidang teknologi informasi. Badan Statistik Jerman mencatat pada tahun 2007 hanya sejumlah 17 persen perempuan yang mengambil studi teknik informasi di Jerman.
Namun, menarik, sebuah penelitian kecil pada tahun 2007 dilakukan oleh kelompok mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) mengenai kecenderungan minat antara mahasiswa laki-laki dan perempuan dalam bidang teknologi informasi, khususnya sebagai programmer. Penelitian survei sederhana terhadap 60 responden mahasiswa, 30 laki-laki dan 30 perempuan, Fakultas Ilmu Komputer UI angkatan 2003 dan 2004 menunjukkan bahwa kecenderungan mahasiswa perempuan tidak menjadi programmer tidak terbukti. Separuh lebih responden perempuan menyatakan minatnya dalam bidang tersebut, disertai dengan kemampuan pemrograman yang diukur berdasarkan empat parameter.
Pertanyaannya, apakah kecenderungan seperti itu sudah menjadi gambaran umum dalam dunia teknologi informasi? Memang, angka melek teknologi informasi di Asia semakin meningkat. Dari 100 orang yang disurvei pada tahun 2000, ada enam pengguna internet, dan tiga di antaranya berada di Asia. Pada tahun 2006, dari 17 pengguna internet dunia, 11 di antaranya berada di Asia. Sayangnya, di tengah optimisme itu, kaum perempuan tetap kurang tampil, apalagi menduduki posisi penting dalam bidang teknis, termasuk teknologi informasi. Siti Nur Aryani (2003) menuliskan hanya ada sekitar 22 persen perempuan Asia yang memanfaatkan internet, di Amerika Serikat sekitar 41 persen, Amerika Latin sekitar 38 persen, dan Timur Tengah sekitar enam persen. Sementara, di Indonesia, menurut kajian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, diperkirakan hanya 24,14 persen perempuan yang memanfaatkan teknologi internet. Padahal, teknologi internet jelas sangat lekat dan diperlukan dalam dunia teknologi informasi open source. Jika seperti itu kondisinya, sekadar pelabelan “keren” kepada pegiat teknologi informasi perempuan tidak akan menyelesaikan masalah. Diskusi akan berakhir! Jelas ada banyak hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dan wajib diatasi daripada sekadar pencitraan itu.
Open Source = Kebebasan
Talkshow bertema “Linux dan Wanita” dalam rangka peluncuran sistem operasi Ubuntu terbaru, Sabtu (17/05) lalu, yang tak kunjung fokus pada tema utama menjadikan pikiran melayang pada empat prinsip kebebasan dalam gerakan open source yang diserukan oleh pegiat Free Software Movement Richard Stallman sejak dua dekade lalu. Kebebasan kenol, kebebasan untuk menjalankan piranti lunak sesuai yang kita inginkan. Kebebasan pertama, kebebasan untuk mempelajari dan mengubah source code. Kedua, kebebasan untuk mengopi dan mendistribusikan piranti lunak. Ketiga, kebebasan untuk membuat dan mendistribusikan versi modifikasi piranti lunak.
Ketika pada akhir tahun 2007 lalu, lahir sebuah Kelompok Linux Cewek Indonesia, disingkat Kluwek, muncul pertanyaan, motivasi apakah yang menjadi dasar mereka untuk mulai bergiat. Apakah berbagai stereotipe yang mewarnai geliat perempuan pehobi dan profesional di bidang teknologi informasi selama ini justru dimanfaatkan sebagai alat untuk membalikkan pandangan tersebut? Ketua Kluwek Yuyun Kesuma, sebagai salah satu pembicara, menjawab bahwa tidak ada motivasi khusus dalam menggiatkan Kluwek, seperti memosisikan Kluwek sebagai gerakan feminis dalam dunia teknologi informasi di Indonesia. Yuyun menambahkan bahwa Kluwek tidak bermaksud untuk eksklusif. Namun, menurut Ranggoaini Jahja, pembicara lain, tidak ada salahnya memosisikan Kluwek sebagai bagian dari gerakan feminis. Jika memang hal itu mampu memberikan perspektif yang lebih kuat dalam berbagi pengetahuan mengenai teknologi informasi open source bagi kaum perempuan maka itulah yang harus lebih ditegaskan.
Mungkin, bagi sebagian orang, hal itu tidak dianggap sebagai masalah besar. Namun, ada kendala yang secara perlahan harus diatasi menyangkut perbedaan pemahaman dan perlakuan budaya, akses terhadap sumberdaya, fasilitas, dan keterbatasan kapasitas yang hinggap di dalam diri banyak perempuan di Indonesia. Bicara perempuan, tentu saja asumsinya kekhawatiran di atas tak akan begitu mudah terjadi di kalangan perempuan yang terdidik, alias kelompok menengah ke atas dalam strata pendidikan. Mungkin sebagai kebetulan saja, kriteria anggota Kluwek saat ini antara lain adalah perempuan penyuka Linux, sebagai salah satu teknologi informasi dan komunikasi. Tentu saja, hanya perempuan yang terdidik yang mampu menyukai Linux karena untuk tahu Linux harus tahu komputer. Namun, apa yang bisa dilakukan oleh perempuan lain yang tak beruntung mengenyam pendidikan yang layak. Jika memang Kluwek ingin menjadi kelompok pegiat teknologi informasi open source yang tak eksklusif, tentu saja saudara-saudara kita tersebut perlu menjadi fokus tujuan gerakan itu pula.
Pendidikan adalah kunci
Pada tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia tercatat sebanyak 206.264.595 dengan rasio jenis kelamin 100,6. Dari tahun 2004 hingga tahun 2007 (Agustus), jumlah populasi usia 15 tahun ke atas di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Pada tahun 2004, jumlahnya sebanyak 153.923.648, dan pada Agustus 2007, telah mencapai 164.118.323. Dengan kata lain, persaingan untuk mencari pekerjaan, sekolah, dan kesempatan lainnya akan semakin meningkat kesulitannya.
Populasi masyarakat Indonesia usia 15 tahun ke atas itu sebagian besar bekerja (sejumlah 109.941.359 pada Agustus 2007) dan kurang dari 10 persen yang sedang menempuh pendidikan (sejumlah 13.777.378 pada Agustus 2007). Hanya sekitar enam persen dari total populasi penduduk Indonesia yang sedang menempuh pendidikan. Sebagian besar dari mereka adalah pelajar di sekolah menengah atas dan lulusan sekolah menengah adalah kelompok pengangguran terbesar, melampaui angka empat juta orang dari sekitar 10 juta orang pengangguran yang tercatat di Indonesia. Lalu, apa yang bisa diharapkan kepada mereka di tengah persaingan ketat perburuan lapangan kerja? Apakah kita masih akan tetap asyik dengan pencitraan keren dan hitung-menghitung jumlah perempuan yang berhasil menjadi programmer? Bukan hal penting berapa jumlah pegiat teknologi informasi perempuan saat ini. Lebih penting adalah bagaimana untuk memelihara agar minat tersebut akan terus muncul di kalangan perempuan Indonesia di masa depan. Tentu saja, agar harapan bahwa kesetaraan keterlibatan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dunia teknologi informasi, benar-benar dapat diwujudkan. Bagaimana mungkin hal itu bisa diraih jika tak ada pemahaman teknologi informasi yang diberikan dan akses yang mudah untuk mereka. Dengan kata lain, pendidikan teknologi informasi adalah mutlak diperlukan.
Fakta di atas tak bisa disembunyikan ketika membaca visi Kluwek, yaitu menuju terwujudnya peran perempuan yang maksimal sebagai “manusia kompleks” dalam percepatan penyebaran teknologi informasi pada umumnya dan Linux serta open source pada khususnya. Suka atau tidak suka, beban untuk membantu kaum hawa lain guna mampu menguasai teknologi informasi sedikit banyak telah tertumpu di pundak para Kluwekers. Akan sangat sayang rasanya jika potensi dan kemampuan pe-Linux perempuan di Indonesia dalam dunia teknologi informasi hanya saling terbagikan di antara perempuan yang tak lagi asing dengan komputer dan segala aplikasi di dalamnya. Memang, mungkin akan dirasa terlalu dini membebankan begitu besar harapan yang akan mampu menjawab masalah yang antara lain terpampang dalam data stataistik di atas dengan Kluwek yang saat ini baru digiatkan oleh segelintir orang saja. Namun, perspektif untuk mendidik dan memberdayakan perempuan Indonesia dalam dunia teknologi informasi yang adil dan bebas tetap harus dinyatakan sejak awal. Dan, entah disadari atau tidak, Kluwek sebenarnya sudah memiliki modal yang cukup untuk memulai pekerjaan besar tersebut.
Walaupun jumlah pegiat Kluwek saat ini tidak banyak, tetapi kelompok itu potensial untuk semakin berkembang dengan karakter anggota atau pegiat yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman cukup. Modal jaringan yang muncul dari forum perempuan terdidik itu sudah akan mampu menjawab sebagian tantangan bahwa Kluwek pun harus bertanggung jawab terhadap pendidikan bagi kaum perempuan. Rata-rata pegiatnya memiliki jaringan di kampus-kampus dan lembaga teknologi informasi. Jaringan itu bisa dimanfaatkan untuk membentuk jaringan pendidikan bagi kaum perempuan, baik secara formal maupun informal. Dengan para pegiat perempuan, baik sebagai konseptor maupun ujung tombak, masyarakat pun akan mendapatkan pemahaman dan contoh langsung bagaimana perempuan mampu berperan nyata dalam dunia yang konon didominasi oleh kaum Adam ini. Tak perlu ada detail contoh kegiatan yang bisa dikembangkan, Kluwekers pasti sudah paham apa yang harus dilakukan.
Akhirnya, akan sangat sayang jika diskusi open source hanya banyak berkutat di tataran teknis yang lebih tepat dikemas untuk sebuah workshop (baca: lokakarya). Harus dipahami bahwa open source adalah sebuah gerakan sosial yang mencoba menempatkan hak-hak dasar manusia agar mampu bergiat dan berkembang dengan dukungan teknologi informasi. Diskusi kita, oleh karena itu, harus lebih memberi tempat pada sisi kemanusiaan itu. Peluncuran sistem operasi Ubuntu 8.04 seharusnya menjadi momentum yang dapat dimanfaatkan Kluwek untuk memosisikan diri dalam gerakan yang lebih dalam. Mardhani Riasetiawan, dari Pusat Pelayanan Teknologi Informasi (PPTiK) Universitas Gadjah Mada, yang juga menjadi pembicara, sempat memberikan contoh bahwa pendidikan open source software sejak dini akan memberikan pemahaman dan penguasaan teknologi informasi yang seimbang bagi pelajar Indonesia, ketika ke depan, mereka dihadapkan pada pilihan penggunaan dan pengembangan teknologi. Pembicara lain, Antonius Fran Setiawan, mencoba berpikir praktis bahwa pengetahuan mengenai open source software akan berdampak langsung pada perekonomian masyarakat. Modal beberapa juta rupiah yang mungkin akan habis untuk instalasi piranti lunak komputer berbayar bisa disimpan atau digunakan untuk membiayai hal lainnya. Pada sisi itulah open source akan mewujud sebagai gerakan sosial yang memberdayakan, bukan sekadar gaya hidup, bukan sekadar citra. ***
Artikel ini dimuat pertama kali di blog http://elantowow.wordpress.com