Oleh Ambar Sari Dewi
Heru (29), warga Dusun Dadapan, Desa Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, tampak bersemangat di depan komputernya. Malam itu, ia menerima email pesanan dari seorang kliennya di Pontianak, Kalimantan Barat yang memintanya untuk membuat undangan. Ya, Heru adalah seorang pengusaha percetakan di Timbulharjo. Meski jumlah pesanannya tidak seberapa, namun yang paling penting bagi Heru adalah terbukanya peluang untuk membuka pangsa pasar yang lebih luas, tidak terbatas di Yogyakarta. Dan itu semua dapat terwujud sejak ia menjadi pelanggan internet desa.
Internet desa merupakan istilah yang digunakan oleh para pegiat di Radio Angkringan FM, radio komunitas yang berada di desa tempat Heru tinggal. Istilah itu dipakai untuk menjelaskan sistem jaringan internet dan intranet di Desa Timbulharjo. Konsep itu merupakan modifikasi konsep RT/RW-net, yang dipopulerkan oleh sekelompok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada tahun 1996. Saat itu, Nasar dan Muji berinisiatif menyambungkan koneksi internet dari kampus mereka ke rumah kos mereka. Saat itu, UMM terkoneksi dalam jaringan AI3 Indonesia melalui GlobalNet di Malang dengan gateway internet di ITB. Sambungan antara RT/RW-net di kos-kosan ke UMM dilakukan menggunakan walkie talkie di VHF band 2 meter pada kecepatan 1200 bps[1].
Secara umum, RT/RW-net adalah suatu konsep di mana beberapa komputer dalam suatu perumahan atau blok dapat saling berhubungan dan berbagi data serta informasi. Konsep lain dari RT/RW-net adalah memberdayakan pemakaian internet di mana fasilitas internet tersedia selama 24 jam sehari selama sebulan dengan biaya yang relatif lebih murah karena semua biaya pembangunan infrastruktur, operasional, dan berlangganan akan ditanggung bersama. Secara teknis, RT/RW-net adalah jaringan komputer swadaya masyarakat dalam ruang lingkup RT/RW melalui media kabel atau wireless 2.4 Ghz dan hotspot sebagai sarana komunikasi rakyat yang bebas dari undang-undang dan birokrasi pemerintah. Pemanfaatan RT/RW-net itu dapat dikembangkan sebagai forum komunikasi online yang efektif bagi warga untuk saling bertukar informasi, mengemukakan pendapat, melakukan polling ataupun pemilihan ketua RT/RW dan lain-lain yang bebas tanpa dibatasi waktu dan jarak melalui media email/chatting/web portal, di samping fungsi koneksi internet yang menjadi fasilitas utama. Bahkan fasilitas tersebut dapat dikembangkan hingga menjadi media telepon gratis dengan teknologi VoIP[2].
Distribusi koneksi
Sejak tahun 2005, Radio Komunitas Angkringan bergabung dengan Saluran Informasi Akar Rumput (SIAR), sebuah kantor berita online untuk mengakomodasi media komunitas yang menggunakan teknologi internet. Sebagai anggota SIAR, stasiun Angkringan pun dilengkapi dengan fasilitas internet. Awalnya, fasilitas internet hanya dipakai untuk mengirim dan mengunduh materi dari SIAR. Dalam perkembangannya, internet di Angkringan juga dimanfaatkan untuk keperluan lain. Sebagian warga datang ke Angkringan untuk mencari informasi dari internet berdasarkan kebutuhan mereka. Misalnya, mencari bahan untuk mengerjakan tugas sekolah, mengirim e-mail, dan sebagainya.
Minat warga untuk memanfaatkan fasilitas internet di Angkringan belum bisa sepenuhnya terlayani. Studio Angkringan hanya buka pada saat siaran, yaitu malam hari dari pukul 19.00 sampai 22.00. Meskipun pada malam hari warga bisa memanfaatkan internet, mereka juga harus rela mengantri. Sebab, dari tiga komputer yang dimiliki Angkringan, dua di antaranya digunakan untuk siaran. Menambah jumlah komputer di studio Radio Angkringan juga bukan pilihan yang baik. Selain kapasitas listrik yang terbatas, ruangan studio juga tidak terlalu luas.
Pilihan yang lebih baik adalah mendistribusikan koneksi internet kepada warga. Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata di setiap RT di Desa Timbulharjo terdapat dua rumah yang telah memiliki komputer. Karena di Desa Timbulharjo terdapat 148 RT, maka bisa dikatakan ada 300 warga yang memiliki komputer. Jumlah itu belum termasuk komputer yang dimiliki oleh beberapa sekolah, pesantren, industri kerajinan, dan lembaga lain di Timbulharjo yang sangat membutuhkan koneksi internet.
Melihat potensi tersebut, pada Agustus 2007, pengurus Angkringan menggagas rencana untuk menggelar jaringan internet di Desa Timbulharjo. Konsep yang digunakan mirip dengan model RT/RW-net, yaitu mendistribusikan koneksi internet dalam sebuah wilayah kecil dengan teknologi nirkabel. Studio Radio Angkringan yang dilengkapi tower setinggi 24 meter, digunakan sebagai access point koneksi internet. Warga yang akan berlangganan internet melalui Angkringan tinggal menyediakan USB wifi atau radio wireless LAN yang diperkuat dengan antena wajanbolic.
Untuk mewujudkan mimpi tersebut, mulai Oktober 2007, Angkringan telah melakukan uji coba pemasangan wajanbolic pada beberapa lokasi di wilayah Desa Timbulharjo. Saat uji coba menggunakan antena wajanbolic, titik-titik terluar wilayah Desa Timbulharjo bisa menjangkau access point kecuali pada beberapa RT yang sinyalnya terhalang pohon besar dan tinggi dari arah Angkringan. Terhalangnya sinyal nirkabel dari Angkringan ke rumah-rumah tersebut, salah satunya disebabkan karena tower Radio Angkringan yang kurang tinggi. Dengan ketinggian 24 meter, praktis hanya rumah-rumah yang bebas halangan yang bisa menerima sinyal nirkabel. Untuk itu, Angkringan berusaha melobi tower BTS milik PT Telkomsel agar antena omni milik Angkringan dapat dipasang di sana. Upaya itu membuahkan hasil meski hingga sekarang antena omni Angkringan belum terpasang di tower BTS tersebut.
Berbagai kendala yang muncul tidak menyurutkan niat Angkringan untuk mewujudkan internet desa. Apalagi, minat warga desa untuk memiliki akses internet 24 jam di rumah mereka sangat besar. Terbukti dari banyaknya permintaan warga kepada pengelola, untuk membuatkan akses internet di rumah mereka. Akan tetapi, meski respons warga sangat tinggi, namun karena kegiatan itu masih berupa uji coba, sementara ini, Angkringan hanya melayani 20 pelanggan. Rencananya, jika ke-20 pelanggan tersebut sudah terkoneksi dengan baik, barulah Angkringan menerima dan menggarap pelanggan lain.
Internet dan intranet desa
Meskipun sama-sama membangun jaringan internet di satu komunitas tertentu, secara konsep, internet desa memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan RT/RW-net. Menurut Sarjiman dan Amrun, pegiat Radio Angkringan, sistem yang dibangun oleh Angkringan itu merupakan perpaduan dari siaran radio komunitas dengan infrastruktur internet berbasis teknologi nirkabel. Radio siaran akan berfungsi sebagai ujung tombak media yang mampu menjangkau seluruh warga Desa Timbulharjo mengingat pesawat radio relatif lebih murah dan telah akrab digunakan oleh warga. Dalam hal itu, informasi yang diperoleh melalui internet akan disiarkan melalui siaran reguler di Radio Angkringan. Informasi itu tentu saja yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Desa Timbulharjo, misalnya, info mengenai pemanfaatan kotoran sapi untuk pupuk atau pendidikan. Dengan cara itu, masyarakat yang tidak menjadi pelanggan internet, tetap bisa memperoleh informasi yang dibutuhkan. Warga desa juga dapat meminta jenis informasi yang mereka inginkan, melalui bermacam cara. Misalnya, dengan datang langsung ke studio, atau melalui kartu pendengar. Permintaan melalui kartu pendengar itu pernah sangat populer di Angkringan, namun masih sebatas permintaan lagu.
Dari sisi pelanggan internet desa itu sendiri, teknologi internet akan berfungsi untuk menjembatani interaksi warga dengan dunia luar. Kasus Heru seperti yang telah diungkap di awal tulisan ini adalah satu contoh kecil mengenai hal ini. Di Timbulharjo sendiri, ada banyak pengusaha besar dan kecil yang memerlukan koneksi internet untuk kelancaran bisnis mereka. Beberapa di antaranya telah melakukan ekspor hingga ke mancanegara, misalnya, Bambang (warga Dusun Rendeng) dan Terry (warga Dusun Bangi). Meskipun bisnis tersebut telah berjalan sebelum mereka menjadi pelanggan internet desa, namun kehadiran internet desa telah memberikan nilai lebih dalam bisnis, seperti efisiensi waktu dan tenaga. Sebelumnya, mereka harus pergi ke warnet untuk memeriksa pesanan. Padahal warnet terdekat berjarak kurang lebih satu kilometer dari rumah.
Selain untuk kepentingan bisnis, interaksi dengan dunia luar telah menjadi kebutuhan warga Timbulharjo, seperti para santri di Pondok Pesantren Nurul Iman di Dusun Ngasem, Lembaga Swadaya Masyarakat ASPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil), bahkan para guru di sekitar desa tersebut. Internet menyediakan beragam fasilitas untuk menjalin komunikasi dengan siapa pun dari mana pun. Sebagaimana diungkapkan oleh Sarni, pegiat ASPUK, internet telah menjadi sarana utama dalam berkomunikasi dengan lembaga-lembaga yang tergabung dalam jaringan ASPUK. Oleh karena kantor pusat ASPUK berada di Jakarta, maka komunikasi melalui e-mail adalah media yang paling efektif dalam berkomunikasi.
Selain itu, infrastruktur jaringan komputer nirkabel yang terpasang di sejumlah titik akan berfungsi sebagai intranet desa. Dengan lebar pita sebesar 11 mbps, berbagai jenis data, baik teks, suara, maupun video bisa dialirkan melalui intranet Desa Timbulharjo. Melalui jaringan itu, warga akan bisa menjadi penyiar sekaligus reporter untuk Radio Angkringan. Cara tersebut dirasa akan bisa menjawab persoalan klasik di sebuah organisasi berbasis voluntaristik, yaitu kaderisasi. Dengan menjadi penyiar atau reporter dari rumah, para pelanggan internet desa tentu tidak perlu direpotkan dengan persoalan transportasi atau waktu. Selain itu, berbagai peristiwa yang terjadi di semua sudut Desa Timbulharjo, bisa ter-cover melalui akses poin di masing-masing RT. Cara itu juga akan memuluskan ide mengenai jurnalisme warga yang berbasis pada warga itu sendiri, dengan gaya pelaporan yang khas.
Hal lain yang akan dikembangkan melalui intranet desa adalah penyediaan database desa. Saat ini, Desa Timbulharjo memiliki 5.500 KK, 148 RT, dan 16 dusun. Selama ini, berbagai informasi atau data tersebut tersentral di kelurahan. Akibatnya, akses warga terhadap data tersebut sangat terbatas. Padahal, seringkali data yang ada di kelurahan sudah kadaluarsa. Atau, ketika warga membutuhkan informasi tersebut, si pemegang akses terhadap data tidak di tempat. Di tengah maraknya budaya transparansi pemerintahan, internet desa menyediakan sarana untuk mewujudkan hal itu. Rencananya, intranet desa itu akan bermuara pada sebuah database desa yang berisi berbagai informasi seperti peta potensi wilayah berbasis sistem informasi geografis yang datanya akan diinput dari tingkat RT. Seringkali, program-program desa menjadi kontroversial dan sangat rawan penyimpangan karena tidak didukung data yang baik. Sehingga yang terjadi, setiap kali pemerintah desa menjalankan program, selalu dilakukan pendataan. Pada kasus Bantuan Langsung Tunai (BLT) memerlukan pendataan ulang, karena data yang digunakan sudah tidak sesuai. Dengan database yang terintegrasi, ter-update dan trasnparan, maka kinerja pemerintah desa akan lebih efisien. Selain itu, kualitas data akan cukup valid, karena dilakukan secara transparan dan selalu up to date.
Ke depan, Angkringan berencana mengembangkan siaran TV komunitas berbasis teknologi internet protocol (IP) yang bisa diakses melalui jaringan komputer warga. Menurut situs ensiklopedia, wikipedia, TV berbasis protokol internet (IP TV) adalah sebuah sistem di mana layanan televisi digital disebarluaskan melalui protokol internet lewat infrastruktur jaringan yang mungkin terdapat dalam koneksi pitalebar (broadbrand). Definisi yang lebih umum dari IP TV adalah konten televisi yang disebarluaskan melalui teknologi jaringan komputer, bukan melalui jaringan penyiaran tradisional (frekuensi UHF atau VHF) atau kabel. Jika dalam televisi berbasis frekuensi atau kabel, perpindahan saluran atau channel TV dilakukan dengan mengganti frekuensi, pada IP TV pemirsa bisa memindahnya dengan mengganti IP dari stasiun teve yang ingin dilihat[3]. Namun, diperlukan persiapan yang lebih matang untuk bisa melangkah ke sana.
Jika dibandingkan dengan konsep community access point (CAP) yang umumnya ditempatkan pada satu lokasi, konsep sistem informasi desa yang akan digelar Angkringan memiliki beberapa kelebihan, di antaranya koneksi internet yang terdistribusi akan memudahkan warga untuk bisa memanfaatkan internet dengan lebih mudah karena mereka tidak harus datang ke lokasi CAP. Dengan demikian ada efisiensi waktu dan tenaga. Bahkan rumah mereka bisa menjadi CAP baru, jika warga sekitar rumah tersebut tidak mempunyai komputer dan akses internet. Selain itu, peralatan yang terdistribusi pada sejumlah lokasi akan meringankan beban listrik, memudahkan pengamanan, dan perawatan. Dengan demikian, Studio Radio Angkringan tidak dibebani biaya listrik, mengingat Radio Angkringan beroperasi secara swadaya masyarakat.
Untuk masalah teknis, seperti beban operasional, akan ditanggung secara kolektif, sehingga lebih menjamin keberlanjutan kegiatan itu. Menurut Ketua Radio Angkringan Jaswadi, rencananya, setelah ke-20 pelanggan itu telah terpasang dan terkonkesi dengan baik, akan diberlakukan sistem perangkat bergulir. Para pelanggan dipersilakan untuk menikmati layanan internet gratis selama dua minggu. Selanjutnya, Angkringan akan menanyakan apakah warga atau lembaga tersebut akan melanjutkan langganan atau tidak. Bagi yang tidak ingin melanjutkan langganan internet, peralatan yang telah dipasang akan diambil dan dipindahkan kepada warga atau lembaga lain yang lebih membutuhkan. Bagi warga atau lembaga yang berminat melanjutkan langganan internet, mereka akan diminta untuk membeli peralatan yang sudah terpasang dengan cara mengangsur. Selain melunasi pembelian alat, pelanggan juga akan dikenakan biaya sambungan internet sekali dalam sebulan. Sistem pembayaran akan diatur sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan warga, namun juga tidak menghambat rencana pengembangan internet desa. Hasil pembayaran akan dibelikan dalam bentuk peralatan dan dipasang di lokasi calon pelanggan baru. Demikian seterusnya, sehingga peralatan awal akan berfungsi seperti dana pinjaman bergulir yang diwujudkan dalam bentuk peralatan. Dengan cara itu, diharapkan akan makin banyak warga yang tertarik untuk berlangganan internet melalui Angkringan.
Yang paling penting dalam kegiatan itu adalah warga bukan hanya berkedudukan sebagai end user, namun juga akan dituntut untuk bisa menguasai teknologi yang mereka gunakan. Salah satu caranya adalah dengan melibatkan warga dalam proses, mulai dari pemasangan wajan bolic hingga instalasi perangkat lunak yang akan digunakan. Selain itu, warga juga mulai diperkenalkan dengan penggunaan software merdeka (opensource) untuk alasan kemandirian, legalitas, dan keamanan. Ke depan, warga juga didorong untuk mengembangkan konten lokal melalui berbagai aplikasi di internet, misalnya, dengan membuat web atau blog. Dengan demikian proses alih teknologi akan berjalan lebih cepat dan luas.***
——————–
[1] http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/RT/RW-net
[2] http://www.kotainternet.com/ dan http://akhdaafif.wordpress.com/2007/07/14/artikel-juli-07-2/