Menangkis Korupsi Lewat Internet

Oleh Rohman Yuliawan

Korupsi sudah berurat-akar di negara kita. Itu sih bukan berita baru, mungkin demikian tanggapan Anda. Apalagi seringkali kita mendengar frase sinis yang berbunyi “budaya korupsi”, yang artinya korupsi sudah dianggap menjadi bagian dari pola pikir dan pola tindak alias budaya dari bangsa kita!  Apakah itu benar?Dari sisi yang dilakukan oleh Transparency Internasional, sebuah lembaga yang setiap tahun menyusun ranking berdasar tingkat korupsi di seluruh negara di dunia, pada tahun 2006 Indonesia menempati posisi 140 dari total 159 negara.  Posisi ini di bawah Kamerun dan Ethiopia dan di atas Iraq dan Liberia. Coba bandingkan dengan ranking negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia, yang masing-masing menempati ranking ke-5 dan 39. Kita tertinggal jauh sekali, bukan?
Keberhasilan Singapura menduduki ranking ke-5 (mengungguli Jerman, Amerika dan Prancis yang berturut-turut pada ranking 16, 17, dan 18) bukanlah proses yang pendek. Sejak tahun 1970-an, pengelola negara ini telah merintis teknologi informasi (TI) yang memudahkan mekanisme pelayanan publik. Pemanfaatan TI memungkinkan pengawasan oleh publik, sehingga meminimalkan potensi terjadinya penyelewengan dan korupsi.

Meski dinilai terlambat, pemerintah kita pun bukannya tinggal diam. Salah satu gebrakan yang dilakukan adalah dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002. Komisi ini antara lain berhasil mengungkap kasus mark-up (penggelembungan anggaran) dalam pengadaan logistik pemilihan umum oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kasus korupsi pengadaan helikopter oleh Gubernur Aceh. Meski demikian KPK jauh dari berhasil dalam mengikis habis praktik korupsi di negara kita.

Celah korupsi masih menganga di mana-mana. Seperti halnya yang telah diungkap KPK, salah satu celah yang paling lebar adalah proses pengadaan barang dan jasa (procurement) dari suatu institusi pemerintah, baik di pusat maupun daerah serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Proses procurement kerapkali dilakukan secara tidak transparan dan sarat nuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Untuk menyiasatinya, mulai tahun 2003 dikembangkan upaya-upaya transparansi proses pengadaan barang dan jasa melalui sistem yang dikenal sebagai e-procurement.

E-procurement adalah sistem manajemen pengadaan atau pembelian barang dan jasa yang dilakukan secara elektronik melalui internet. Selain mengefisienkan proses pengadaan barang dan jasa, e-procurement juga dinilai sebagai cara yang efektif, transparansi proses pengadaan, dan memangkas biaya. Sudah bukan rahasia lagi jika proses pengadaan barang dan jasa secara konvensional sarat dengan “biaya siluman” atau “ongkos bawah meja” yang membengkakkan anggaran.

Embrio e-procurement di Indonesia adalah Keputusan Presiden (Keppres) No 80 Tahun 2003 yang menetapkan prinsip-prinsip pengadaan barang dan jasa yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dengan mempergunakan teknologi informasi, terbuka, bersaing, transparan, dan tidak diskriminatif. Prosedur e-procurement yang belum termuat dalam Keppres di atas kemudian dijabarkan dalam Peraturan Presiden No 8 Tahun 2006.

Dalam tataran praktik, sejumlah instansi telah menjalankan pendekatan ini, antara lain melalui proyek percontohan di lima departemen, yaitu Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Komunikasi dan Informasi, dan Menteri Koordinator Perekonomian.

Selain itu e-procurement juga telah diterapkan di lingkungan Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Perhubungan, Pemerintah Kota Surabaya, dan beberapa BUMN seperti PT Telkom,  Pertamina, dan Kereta Api Indonesia. Pemerintah menargetkan pada tahun 2010 semua pemerintah daerah di Indonesia sudah mempaktikkan e-procurement.

Pemerintah Kota Surabaya seringkali disebut-sebut sebagai contoh keberhasilan penerapan e-procurement di tingkat pemerintah daerah. Melalui website yang beralamat di http://www.surabaya-eproc.or.id aneka penawaran dan proses lelang pengadaan barang dan jasa di lingkup Kota Surabaya bisa diikuti secara online. Hingga bulan Oktober 2006, telah dilakukan sekurangnya 12 putaran lelang dengan nilai lebih dari Rp 300 miliar.

Layanan e-procurement Pemkot Surabaya dikembangkan berdasar Keppres No 80 Tahun 2003 dan dikuatkan dengan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 10 Tahun 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Proses Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah Daerah Dengan Sistem E-Procurement.

Website ini dilengkapi dengan tautan (link) informasi yang cukup mendetail mengenai jadwal dan ketersediaan lelang pengadaan barang dan jasa, persyaratan dan prosedur lelang, termasuk penggambaran alur lelang dan uraian mengenai paket pekerjaan yang ditawarkan. Informasi-informasi ini sangat memudahkan perusahaan-perusahaan calon peserta lelang, yang sebelumnya diharuskan mendaftar secara on-line, untuk mengetahui peluang lelang yang bisa diikuti para pesaing lelangnya, hingga informasi mengenai hasil lelang.

Melalui mekanisme ini, proses lelang menjadi ajang persaingan terbuka yang meminimalisasi terjadinya praktik kongkalikong (kolusi) antara peserta lelang dengan pengelola lelang. Selain transparansi, cara ini rupanya juga menghemat biaya pengadaan barang dan jasa antara 20% hingga 30% pada setiap putaran lelang.

Nah, jika semua kalangan sudah tak sungkan lagi untuk belajar “telanjang” alias transparan, tentu terciptanya pemerintahan yang baik (good governance), efisien dan bebas korupsi bukanlah mimpi di siang bolong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud