“Village Phone Lady”; Memangkas Kemiskinan dan Kesenjangan Informasi

Oleh Ade Tanesia

Sudah puluhan tahun Pemerintah Indonesia selalu membicarakan program pengentasan kemiskinan. Bukannya semakin baik, jumlah penduduk miskin di negara ini justru bertambah. Sering kali kita menjadi apatis dan bertanya-tanya, apakah betul seseorang bisa keluar dari jerat kemiskinan? Yang lebih ironis, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, dan bagaimana mungkin bisa menjadi negara miskin. Mungkin para pemimpin bangsa ini harus belajar dari peraih hadiah nobel perdamaian, Muhammad Yunus, seorang profesor di bidang  ekonomi asal Banglades yang telah berhasil melaksanakan program pengentasan kemiskinan dengan menyalurkan kredit kepada orang miskin melalui Grameen Bank yang dirintisnya sejak tahun 1976. Kesuksesan program ini juga terletak pada kejelian Yunus untuk mengutamakan perempuan sebagai nasabahnya. Grameen Bank kini mempunyai sekitar 6,6 juta nasabah dan 90 persen lebih adalah perempuan. Yunus sangat percaya bahwa perempuan Banglades lebih bertanggung jawab dalam memanfaatkan uang.

Tidak berhenti dengan program penyaluran kredit bagi orang miskin, Grameen Bank bekerja sama dengan Grameen Telecom melansir program “Village Phone Lady”. Sebuah program yang bertujuan memberikan layanan telekomunikasi di daerah pedesaan di Banglades. Bank memberikan pinjaman lunak sebesar BDT 12,000 (Rp 1.800.000) untuk membeli peralatan, langganan, dan pengeluaran tak terduga lainnya. Lalu mereka menerima pelatihan mengenai cara menjalankan program ini.

Adalah nasabah perempuan Grameen Bank yang difasilitasi untuk menjalani konsep telepon desa ini. Para perempuan ini menjalankan sebuah layanan telekomunikasi berjalan. Cara kerjanya mereka meminjamkan telepon genggamnya ke warga desa untuk menghubungi atau dihubungi anggota keluarganya di daerah lain. Banyak pula warga Banglades yang bekerja di Saudia Arabia, Malaysia, dan Kuwait, sehingga  keluarganya bisa menanyakan kabar mereka di negeri rantau. Si pemilik telepon ini kemudian mendapatkan komisi dari pengguna. Dengan minimnya akses telekomunikasi di daerah pedesaan di Banglades, maka jasa telepon genggam ini sangat dibutuhkan oleh warga.  Di samping bisa menghubungi  kerabatnya, warga yang hendak menjual komoditas pertaniannya ke kota bisa memastikan harga jual di pasar di kota.
Perempuan-perempuan yang berhasil.

Laily Begum dan suaminya, Atiqullah, adalah  buruh harian yang hidup dalam kemiskinan. Mereka tidak punya cukup uang untuk bisa menikmati makanan sehat dan tinggal di rumah yang layak di Patira, sebuah desa di Dakshin Khan, di pinggiran Kota Dhaka. Dengan semangat ingin mengubah kehidupannya, Laily Begum memberanikan diri  untuk mengambil kredit di Grameen Bank. Keinginannya mendapat dukungan penuh dari suaminya. Pada pinjaman pertama, Laily membeli seekor sapi. Dengan menjual susu sapi, penghasilannya mulai meningkat. Laily lalu mengambil pinjaman yang lebih besar untuk menambah komoditi sapinya. Kemudian di tahun 1997, atas dorongan dari cabang Grameen Bank, Laily mengikuti program “Village Phone Lady”.

Laily Begum dan suaminya sangat bersemangat dengan bisnis barunya ini. Dengan telepon genggam, Laily Begum memulai fase baru dalam hidupnya. Bisnisnya berkembang sangat cepat.  Selama belum ada pesaing, penghasilannya mencapai 20,000 BDT (Rp 3 juta)  sampai 26,000 BDT (Rp 4 juta) per bulan. Laily Begum pun tidak tinggal diam, keuntungannya diputar dalam usaha lain. Kini bersama suaminya ia telah mempunyai dua toko barang kelontong, mengelola jasa cuci pakaian (laundry), toko obat-obatan, dan warung telepon. Dari bisnis yang dikelolanya, ia bisa meraup keuntungan bersih sebesar 13,000 BDT (Rp 2 juta) per bulan. Ia bisa menyekolahkan anak laki-laki dan perempuannya, membangun rumah yang layak huni, memberikan gizi lebih baik untuk anak-anaknya. Lebih dari itu, status sosial keluarganya pun menjadi lebih terhormat. Sebagai perempuan, Laily Begum mempunyai peranan penting dalam komunitasnya. Keberhasilannya menjadi contoh yang menyemangati warga desa yang masih terlilit oleh kemiskinan.

Begitu pula dengan Jamirun, ia memulai bisnis jasa teleponnya ketika tidak ada jaringan telekomunikasi di desanya. Bisnis ini juga telah mengubah kehidupan sosialnya. Kini ia lebih dihargai oleh suami, keluarga, dan masyarakat sekitarnya. Sebelumnya orang-orang di desa tidak mau bertukar pikiran dengannya, kini mereka menganggap kehadirannya sangat penting. “Jika Anda tidak punya uang, maka suami tidak menghargai kamu. Dengan uang di dompet, maka kita sebagai perempuan dapat dihargai,” ungkap Jamirun.  Lebih dari itu,  pinjaman ini juga dilengkapi dengan akte perjanjian bahwa perempuan juga mempunyai hak terhadap setiap properti yang menjadi hasil usahanya.

Hosne Ara, juga mengungkapkan pengalaman yang sama. Selain statusnya menjadi lebih terhormat di desanya, ia kini juga mempunyai hidup yang lebih baik. “Saya mempunyai televisi berwarna. Kini saya juga bisa menyekolahkan anak dan tidak perlu khawatir lagi untuk pergi ke dokter, karena saya punya uang untuk membayarnya,”  ujarnya.

Program “Village Phone Lady” sungguh menguntungkan setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Warga desa bisa memperoleh akses informasi dan komunikasi yang lebih mudah. Para perempuan bisa meningkatkan kualitas hidupnya dengan menjalankan bisnis telekomunikasi ini. Kesuksesannya juga membuat para perempuan memperoleh penghargaan dari masyarakatnya. Hal ini sangat penting agar kepentingan perempuan bisa diperjuangkan dalam keputusan-keputusan pemerintah lokal. Semoga program kredit mikro dan ”village phone lady” ini bisa menjadi inspirasi bagi pemerintah kita.

Unduh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud