Televisi Komunitas: Media Pemberdayaan Masyarakat

Hingar-bingar dunia penyiaran, khususnya televisi, mulai merunyak ke permukaan setelah iklim kebebasan media terjadi di negeri ini setelah runtuhnya Orde Baru, terganti dengan lahirnya babak baru perpolitikan Indonesia melalui reformasi pada tahun 1998. Seiring dengan era keterbukaan setelah tumbangnya Soeharto, dinamika media mengalami  perubahan setelah bertahun-tahun terpasung dalam kebijakan politik rezim. Pada masa Orde Baru, media hidup di bawah kondisi politik yang monopolistik dan represif. Eksistensi media sebagai institusi sosial direduksi menjadi instrumen politik rezim. Akibatnya fungsi media sebagai kontrol sosial tidak bisa berjalan.
Menurut Denis McQuail (1996: 82), situasi kehidupan media yang hidup di bawah tekanan penguasa menunjukkan bahwa keberadaan dan kadar kekuasaan media dalam masyarakat ditandai oleh luasnya jangkauan, keterpencilan institusi, isolasi individu, dan kurangnya integrasi masyarakat setempat. Dengan kondisi tersebut media dapat dikendalikan atau dikelola secara monopolistik untuk dijadikan sebagai alat utama yang efektif dalam mengorganisasi massa, seperti khalayak, konsumen, pasar dan pemilih.
Sebelum iklim keterbukaan media di Indonesia terjadi, media dikontrol sangat ketat oleh pemerintah. Selama bertahun-tahun hanya ada satu siaran televisi, yakni TVRI sebagai stasiun milik pemerintah. Khalayak pemirsa hanya mampu menjadi penonton dari isi siaran yang lebih didominasi oleh propaganda pemerintah melalui berbagai program acara. Baru pada tahun 1990-an, pemerintah memberikan izin bagi televisi swasta, yaitu Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), yang ternyata keduanya dimiliki oleh anak dan kerabat dari rezim penguasa waktu itu.
Pada masa itu, kehadiran dua stasiun televisi swasta cukup memberi warna baru bagi kehidupan media televisi di Indonesia, setidaknya menjadi media hiburan bagi masyarakat yang sebelumnya hanya bisa menyaksikan satu siaran televisi. Namun pada sisi isi siaran dan informasi, khalayak pemirsa tetap hanya menjadi penonton dan objek dari isi siaran televisi. Bahkan kedua televisi swasta tersebut tetap berfungsi sebagai corong pemerintah dan di bawah kendali kekuasaan pemerintah.
Seiring kebijakan politik paska reformasi, media bertumbuhan bak cendawan di musim hujan. Departemen Penerangan pada era kepemimpinan Presiden Habibie telah memberikan izin prinsip bagi lima stasiun TV baru di Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No 286/SK/Menpen/1999. Saat ini jumlahnya bahkan telah mencapai sepuluh stasiun TV swasta komersial, satu stasiun TV publik (TVRI), dan berbagai layanan TV berbayar (kabel).
Pada periode berikutnya, bermunculan berbagai televisi lokal pada era otonomi daerah. Data Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATLI) menunjukkan ada 28 televisi lokal yang berada di beberapa propinsi. Wacana yang berkembang waktu itu, daerah juga punya wewenang dalam melakukan kebijakan penggunaan ranah frekuensi untuk publik, semangatnya melawan hegomoni “pusat” dalam hal media penyiaran, khususnya televisi. Ada juga wacana tentang pemerataan pendapatan iklan dan isi siaran lokal, yang selama ini hanya didominasi oleh lembaga penyiaran nasional.
Menyusul berikutnya adalah televisi komunitas dengan semangat yang serupa dengan kemunculan televisi-televisi lokal. Para aktivis penyiaran, akademisi dan organisasi masyarakat sipil (NGO/LSM) berperan cukup signifikan dalam pengembangan media komunitas di Indonesia.
Demokratisasi Penyiaran

Pesatnya pertumbuhan televisi di Indonesia yang menyuguhkan berbagai tayangan di layar kaca khalayak pemirsa, ternyata juga menumbuhkan sejumlah persoalan. Berbagai analisa dampak siaran televisi menunjukkan adanya permasalahan yang cukup rumit. Tontonan kekerasan dan seksualitas di televisi  dikritik oleh berbagai pihak karena dianggap menjadi penyebab berbagai kemerosotan moral dan kemanusiaan. Perilaku kekerasan, hedonis dan konsumtif semakin berkembang, menjadi cermin pergeseran nilai di tengah-tengah masyarakat kita, dimana televisi mempunyai peran signifikan.
Hal tersebut memang tak terhindari, ketika televisi menjadi media dominan, bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Televisi menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan (Mc Quail, 1996: 3).
Sejalan dengan dinamika penyiaran di Indonesia, sejumlah pihak melalui DPR kemudian mendorong adanya regulasi penyiaran yang berpihak pada masyarakat, melalui Rancangan Undang-Undang Penyiaran pada tahun 2002 untuk menggantikan UU Penyiaran No 24 Tahun 1997. Namun, upaya mendorong keadilan dalam bidang penyiaran tersebut tidaklah mulus, banyak pihak yang menentang, khususnya kalangan industri penyiaran.
Mereka yang menolak RUU Penyiaran pada tahun 2002 sebagian besar  berargumentasi bahwa RUU tersebut diskriminatif, sejumlah peraturan dianggap cenderung menghambat pengembangan media elektronik, terutama televisi. Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai pelaksana amanat undang-undang dianggap merupakan lembaga superbody, yang mempunyai kekuasaan mulai dari legislatif, eksekutif dan yudikatif sekaligus, sehingga berpotensi seperti Departemen Penerangan pada masa Orde Baru.
Sementara, bagi kalangan yang pro terhadap RUU Penyiaran, keberatan pelaku industri penyiaran, khususnya televisi lebih disebabkan karena RUU ini dikhawatirkan menghambat laju bisnis industri penyiaran di Indonesia. Dalam RUU Penyiaran, keberadaan lembaga penyiaran di Indonesia diatur sedemikin rupa, misalnya masalah standar isi siaran, industri penyiaran lokal, pembatasan kepemilikan media, serta aturan bagi stasiun televisi swasta yang mengudara secara nasional untuk melakukan siaran berjaringan dengan televisi-televisi lokal di daerah.
Paska disahkannya RUU Penyiaran menjadi Undang-undang Penyiaran No 32 Tahun 2002, persoalan silang sengketa tak urung usai. Tidak hanya antar “pemain” industri penyiaran, namun juga antara pemerintah (Depkominfo) dan KPI sebagai lembaga regulator penyiaran sesuai amanat UU Penyiaran. Mereka saling berebut kewenangan dalam implementasi UU Penyiaran. Belakangan terjadi kesepakatan antar keduanya, setelah sejumlah pasal dalam UU Penyiaran digugat oleh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia, serta dua pasal diantaranya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004.
Bagi kalangan masyarakat sipil pro demokrasi, UU Penyiaran merupakan keniscayaan agar demokratisasi dalam bidang penyiaran terwujud seiring semangat reformasi. Media penyiaran merupakan alat kontrol masyarakat kepada negara. Maka, kalangan masyarakat sipil pro demokratisasi penyiaran setuju dengan kebijakan kepemilikan (ownership) atas media sebaiknya diatur dan ada mekanisme kontrol terhadapnya. Kepemilikan yang monopolistik dalam media penyiaran dikhawatirkan akan menjadikan media itu sebagai katup pengaman bisnis semata.
Beberapa fenomena siaran televisi swasta menunjukan kepemilikan media berpengaruh terhadap isi siaran. Soal sakitnya Seoharto misalnya, saat ia sakit hingga meninggal dunia disiarkan oleh sejumlah televisi dengan terlalu berlebihan. Prinsip jurnalisme yang adil dan berimbang tidak tampak dalam pemberitaan tentang Soeharto oleh beberapa stasiun televisi. Mereka lebih mengedepankan sisi human interest dan timeliness dalam peliputan tentang kematian mantan penguasa Orde Baru tersebut. Sejumlah media terkesan berpihak pada Soeharto dan menafikan sejumlah kontroversi yang menyelimuti Soeharto, mulai dari soal HAM hingga KKN. Para kritikus media menengarai, keberpihakan sejumlah media terhadap Soeharto dalam melakukan peliputan dan pemberitaan disebabkan para pemangku kebijakan dan pemilik media tersebut adalah kerabat dan orang-orang dekat keluarga Cendana.
Pada kasus lain, misalnya tentang bencana lumpur di Porong, Sidoarjo. Para reporter sebuah stasiun televisi swasta nasional, hingga para pembaca berita di studio, lebih sering menyebut  kata “Lumpur Sidoarjo” dibandingkan menyebut “Lumpur Lapindo”, apalagi “Lumpur Lapindo Brantas”, jika sedang melakukan peliputan dan pemberitaan tentang bencana lumpur di Porong, Sidoarjo. Analisa penulis, hal tersebut disebabkan karena PT Lapindo Brantas Inc. yang dianggap bertanggungjawab atas musibah lumpur adalah anak perusahaan dari sebuah group perusahaan yang juga menjadi induk perusahaan dari stasiun televisi swasta tersebut. Artinya, stasiun televisi swasta tersebut juga berkepentingan menyelamatkan kerajaan bisnis pemiliknya sendiri.
Menurut McQuail (1996: 193), isi media selalu merefleksikan kepentingan pihak yang membiayai mereka. Kedua fenomena di atas semakin membuktikan analisa para kritikus media bahwa ada relasi yang kuat antara kepemilikan media terhadap isi siaran media itu sendiri. Kepemilikan media yang monopolistik membuat masyarakat miskin ragam informasi yang mendidik, karena semua content hanya bermuara untuk mendapatkan keuntungan bagi industri media. Dalam jangka panjang, hal ini tidak menguntungkan bagi pengembangan demokrasi dalam dunia penyiaran.
Untuk itulah, aktivis penyiaran dan kelompok pro demokrasi sangat mendukung adanya regulasi dalam kepemilikan media (diversity of ownership) untuk mendorong tanggungjawab media terhadap publik (pembaca, pendengar dan pemirsa). Terlebih, media juga mampu menampilkan citra buatan mengenai realitas yang bisa mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku publik (Malik, 1997: 15). Tegasnya, dalam pendekatan ekonomi politik, media massa di Indonesia dikontrol oleh pengusaha pemilik media. Konsekuensi dari kondisi ini adalah bahwa ideologi komoditas merupakan ideologi yang ‘bekerja’ dalam menghasilkan media (Dewi, 2007).
Salah satu semangat yang diusung berbagai pihak dalam rangka mewujudkan demokratisasi penyiaran adalah desentralisasi penyiaran., dengan cara memberikan kesempatan pada masyarakat di daerah untuk mendirikan lembaga penyiaran yang sesuai dengan watak, adat, budaya dan tatanan nilai/norma setempat. Negara (baca: pemerintah) harus memberi celah bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam bidang penyiaran. Pendek kata, masyarakat diberi ruang untuk tidak lagi menjadi objek semata, namun ia juga bisa berperan dalam mewarnai dunia penyiaran di Indonesia.
Pada masa Orde Baru, masyarakat hanya menjadi penonton dan objek penanaman ideologi politik otoritarianisme, yang menjauhkan masyarakat dari nilai keberagaman dan demokratisasi. Disusul kemudian, pada masa reformasi, masyarakat menjadi objek bisnis yang mendorong perilaku konsumtif oleh media mainstream. Maka, sudah saatnya masyarakat mengambil peran dalam media penyiaran sebagai subjek yang memilah, memilih dan mengontrol siaran yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya setempat.
Maka, lahirlah media-media rakyat berbasis warga sebagai jawaban atas kegelisahan di atas, berbentuk buletin, radio dan televisi komunitas. Sebelum televisi komunitas lahir, terlebih dahulu muncul buletin warga dan radio komunitas sebagai media yang lahir dari, oleh dan untuk warga itu sendiri. Beberapa media komunitas itu dipelopori sendiri oleh warga setempat, ada juga yang fasilitasi oleh aktivis penyiaran dengan terlebih dahulu mendorong kesadaran dan pemahaman warga tentang hak-haknya untuk memperoleh informasi yang sesuai kebutuhan.
Buletin Angkringan sebagai contoh, media komunitas ini berbentuk cetak, dipelopori oleh pemuda di desa Timbulharjo, Sewon, Bantul pada penghujung tahun 1999. Berbekal modal Rp 30.000, pelopor buletin Angkringan memfotokopi buletin dan membagikannya kepada warga secara gratis, sebelum akhirnya buletin ini dijual dengan harga Rp 400. Gagasan buletin Angkringan adalah sebagai media pengorganisasian warga di Timbulharjo untuk mendorong terjadinya proses keterbukaan pemerintah desa setempat (clean & good governance). Paruh waktu berikutnya, media buletin ini diganti dengan radio komunitas yang juga bernama Angkringan.
Kemunculan berbagai media komunitas paska disahkannya UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, juga hasil amandemen kedua UUD 1945 dimana pasal 28F telah mengatur tentang hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, mendorong pertumbuhan media-media komunitas di Indonesia secara tak terelakkan, khususnya pertumbuhan radio dan televisi komunitas. Bagi kalangan aktivis penyiaran dan organisasi masyarakat sipil (LSM), media-media komunitas tersebut tidak hanya berfungsi sebagai media penyebaran informasi, namun juga sebagai media dalam pendidikan melek media (media literacy) yang mendorong masyarakat berperan sebagai wacthdog bagi media-media mainstream.
Televisi Komunitas untuk Pemberdayaan
Televisi komunitas sebagai media yang memiliki tanggungjawab sosial terhadap masyarakatnya menuntut media ini benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat. Televisi komunitas menjadi tonggak sejarah baru dalam dunia penyiaran di Indonesia. Media komunitas ini hadir sebagai media alternatif yang mengusung keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), juga mendorong adanya keberagaman isi (diversity of content) dalam program-program siaran karena melayani komunitasnya yang juga beragam.
Karena keberagaman kepemilikan itulah, masyarakat bisa melakukan kontrol sendiri (self controlling) terhadap isi siaran. Pengelola televisi komunitas tidak bisa sewenang-wenang menayangkan program siaran yang tidak sesuai dengan nilai, aturan, maupun budaya lokal.
Hal tersebut berbeda dengan industri media (televisi swasta) yang dianggap sering mengabaikan tanggungjawab sosialnya. Bagi kelompok industri media, tuntutan bisnis untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya menjadi “mazhab”. Rating (ukuran banyaknya pemirsa yang menonton sebuah acara televisi pada satu waktu) menjadi dewa dan barometer siaran televisi, tanpa melihat dampak yang bisa ditimbulkan, tidak peduli apakah program acara itu mendidik atau sebaliknya.
Simak saja berbagai tayangan televisi swasta nasional, hampir semua acara adalah hiburan yang diharapkan mendatangkan banyak iklan. Sekalipun jumlah stasiun televisi di Indonesia cukup banyak, namun sesungguhnya pemirsa televisi tidak punya kuasa atas remote control yang dipegangnya, karena hampir semua program siaran televisi sama, hanya beda judul programnya saja. Salah satunya adalah acara infotainment yang menyuguhkan informasi seputar selebritis dengan menggunakan teknik peliputan yang tidak mengindahkan etika jurnalistik.
Selain menjadi media alternatif, televisi komunitas bisa menjadi media yang berfungsi memberdayakan komunitasnya. Grabag TV misalnya, media komunitas ini diinisiasi oleh sejumlah tokoh dan warga Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang sebagai media apresiasi seni tradisi lokal, sekaligus mendidik masyarakatnya untuk bisa “bersuara” melalui televisi komunitas tentang berbagai persoalan maupun potensi yang dimiliki komunitas setempat.
Hartanto, sebagai salah satu aktivis penyiaran yang turut menginisiasi berdirinya televisi komunitas di Grabag, mengemukakan bahwa televisi komunitas mempunyai manfaat bagi masyarakat karena dapat memberikan akses informasi yang langsung bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari. Televisi komunitas juga merangsang dialog sebagai bagian dari proses demokrasi dan kontrol sosial, serta memberikan akses bagi kearifan budaya lokal dan media pembelajaran bagi sekolah (Kompas, 30 Mei 2007).
Jumlah televisi komunitas di Indonesia belum terlalu banyak, dalam catatan penulis sebagai anggota Kelompok Kerja Televisi Komunitas Indonesia, setidaknya baru ada 24 televisi komunitas di seluruh Indonesia dengan latar belakang pendirian yang berbeda-beda. Pertama, televisi komunitas berbasis warga. Televisi komunitas jenis pertama ini didirikan, dikelola dan diperuntukkan sepenuhnya bagi warga masyarakat dalam wilayah geografis tertentu, misalnya dalam suatu satu desa/kecamatan. Tegasnya, dari, oleh, dan untuk masyarakat. Termasuk dalam kategori pertama adalah televisi komunitas yang menggunakan tempat ibadah (masjid) sebagai basis komunitasnya. Televisi komunitas berbasis warga biasanya memiliki resource (sumber daya manusia maupun materi) yang terbatas, namun bisa mendorong partisipasi warga di dalamnya. Kedua, televisi komunitas berbasis kampus/sekolah, sebagian besar bertujuan sebagai media latih/praktek bagi para siswa/mahasiswa dari lembaga pendidikan yang memiliki program studi broadcast atau komunikasi. Media televisi ini berada di lingkungan sekolah/kampus, lebih banyak digunakan sebagai media pendidikan dan laboratorium bagi siswa/mahasiswa. Secara sumberdaya, televisi komunitas yang berada di kampus/sekolah relatif lebih mapan karena ketersediaan dukungan dana yang cukup dari kampus/sekolah, bahkan pemerintah.
Jumlah televisi komunitas di Indonesia yang masuk dalam kategori pertama belum banyak. Menurut data Kelompok Kerja (Pokja) TV Komunitas, sebagai lembaga yang dibentuk para pengelola televisi komunitas untuk menyiapkan pembentukan organisasi jaringan televisi komunitas se-Indonesia, adalah: Grabag TV di Grabag Magelang, Rajawali TV di Bandung, TV Madani di Depok, PAL TV di Palmerah  Jakarta, Depok TV di Jakarta dan MJTV di Jogokaryan Yogyakarta.
Sedangkan televisi komunitas yang masuk dalam kategori kedua lebih banyak jumlahnya. Televisi komunitas ini berada di lingkungan kampus, seperti Ganesha TV ITB Bandung, UMY TV Yogyakarta, Akindo TV Yogyakarta, UAD TV Yogyakarta, dan beberapa kampus lainnya. Termasuk juga dalam kategori ini adalah televisi education (TV-E) yang berada di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), baik negeri maupun swasta di berbagai wilayah di Indonesia. TV-E awalnya merupakan proyek dari Depdiknas, yang isi siarannya dikelola oleh Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (Pustekkom Depdiknas).
Televisi berbasis kampus/sekolah menjadi bagian dari televisi komunitas karena regulasi (undang-undang maupun peraturan pemerintah) tentang penyiaran di Indonesia hanya mengenal empat jenis lembaga penyiaran, yakni lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran berlangganan dan lembaga penyiaran komunitas. Bagi lembaga penyiaran yang berbasis sekolah/kampus, kategori terdekat adalah masuk dalam lembaga penyiaran komunitas. Kendati ada juga media yang berbasis kampus (radio dan televisi kampus) yang menjadi bagian dari lembaga penyiaran swasta dengan mendirikan badan hukum swasta sebagai induk lembaga penyiaran tersebut.
Sejauh pengamatan penulis, sebagian besar pengelola televisi komunitas, baik yang berbasis geografis maupun sekolah/kampus, saat ini sedang menata diri dan menyesuaikan dengan aturan dalam UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 maupun Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas. Batasan komunitas telah disepakati dalam cakupan geografis tertentu dengan luas jangkauan  wilayah terbatas serta melibatkan peran serta komunitasnya.
Menjadi lembaga penyiaran komunitas memiliki konsekuensi yang tak terelakkan, yaitu adanya peran serta (partisipasi) komunitas dalam hal kepemilikan maupun pengelolaannya. Bagi para pengelola televisi komunitas, hal tersebut menjadi tantangan untuk mewujudkan keberadaan televisi komunitas yang ideal. Dalam UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 disebutkan bahwa lembaga penyiaran komunitas merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, tidak komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk melayani kepentingan komunitasnya.
Aturan tentang independen dan tidak komersial bagi televisi komunitas harus dipahami dalam konteks yang tepat dan benar. Independen adalah diperuntukkan bagi semua golongan dalam masyarakat, mengakomodasi keberagaman warga komunitasnya, tidak diperkenankan untuk kepentingan politik dan golongan tertentu. Jika memasuki ranah politik, media komunitas ini berarti telah berubah menjasi media pendidikan atau kampanye politik bagi warganya.  Tidak komersial berarti media ini bukan untuk mencari keuntungan (not for profit), namun bukan berarti televisi komunitas tidak boleh mencari uang untuk menghidupinya. Sumber utama untuk memenuhi kebutuhan dana operasional adalah partisipasi atau sumbangan dari warga komunitasnya, selain juga punya peluang mendapatkan sumber dana dari pihak lain atau sponsor yang tidak mengikat.
Melawan kekuatan industri media (televisi swasta nasional) yang memiliki kekuatan modal besar bukan hal yang mudah, terlalu kuat untuk dilawan. Sehingga sebaiknya program siaran dalam televisi komunitas tidak perlu meniru siaran yang ada di televisi lain, terutama televisi swasta. Seyogyanya siaran televisi komunitas lebih mengurai realitas sosial dan budaya setempat dalam program acara yang disuguhkan pada komunitasnya. Isi siaran televisi komunitas diharapkan dapat memberikan pemahaman dan kesadaran pada masyarakat tentang hak untuk mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan warga, hiburan yang mendidik, mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, perekat sosial, hingga penghargaan terhadap kebudayaan serta kearifan lokal yang dimiliki masyarakat setempat.
Melalui televisi komunitas, masyarakat bukan hanya menjadi objek, melainkan juga sebagai subjek yang terlibat dalam produksi program siaran televisi komunitas. Melalui televisi komunitas, mereka berkesempatan untuk bisa berekspresi, memberikan nilai dan penghargaan pada entitas lokal, sekaligus menilai, menganalisis, serta memilah informasi dan hiburan yang disajikan.
Persoalan Televisi Komunitas

Keberadaan televisi komunitas di Indonesia tidak telepas dari perbagai persoalan yang menyelimutinya, baik secara internal maupun eksternal. Beberapa persoalan yang dihadapi oleh pengelola televisi komunitas terurai dalam beberapa hal berikut ini.
Pertama, paradigma media komunitas. Karena adanya perbedaan latar belakang pendirian televisi komunitas antara yang berbasis warga dan kampus, maka terjadi perbedaan paradigma tentang media komunitas. Idealnya, media komunitas adalah media dari, oleh dan untuk komunitas. Artinya, warga masyarakat yang wilayahnya masuk  coverage area siaran televisi komunitas semestinya dilibatkan untuk berpartisipasi. Setidaknya, isi siaran mencerminkan kebutuhan informasi warga sekitar, sekaligus sesuai dengan entitas lokal. Akan tetapi, kenyataan di lapangan tidak bisa dihindari, banyak televisi komunitas yang lahir karena “proyek”, belum terpikir sebelumnya bagaimana menjadikannya sebagai media komunitas yang bermanfaat bagi warga setempat. Menurut penulis, persoalan paradigma sangat mendasar dan penting untuk segera dituntaskan. Sebab, jika persoalan mendasar ini tidak dipahami maka akan mereduksi nilai televisi komunitas dalam pengembangan demokratisasi penyiaran di Indonesia.
Kedua, resource. Sebagian besar pengelola televisi komunitas tidak memiliki bekal pengetahuan yang cukup tentang dunia broadcasting, khususnya pertelevisian. Mereka cukup tertatih ketika harus memproduksi siaran sendiri. Untuk itu, harus dilakukan penguatan kapasitas yang partisipatif secara berkesinambungan bagi pengelola televisi komunitas. Persoalan lain adalah kebutuhan biaya yang cukup tinggi dalam pengelolaan televisi komunitas, khususnya dalam hal produksi siaran. Dalam hal ini, perlu strategi fund raising demi menjaga kemandirian dan keberlajutan (sustainability) lembaga penyiaran komunitas ini.
Ketiga, aspek teknis. Perangkat siar (pemancar) yang digunakan oleh sebagian pengelola televisi komunitas di Indonesia adalah perangkat rakitan (buatan sendiri), bukan branded (perangkat impor dari pabrik), sehingga tidak memenuhi kualifikasi teknis (standarisasi) yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Depkominfo. Untuk itu, diperlukan langkah advokasi yang sinergis antara pengelola televisi komunitas dengan aktivis penyiaran, akademisi dan kalangan organisasi masyarakat sipil agar regulasi yang ada tidak mempersulit keberadaan televisi komunitas.
Keempat, regulasi. Selain regulasi pada aspek teknis sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pemerintah yang mengatur keberadaan lembaga penyiaran komunitas (PP No 51 Tahun 2005) belum cukup akomodatif bagi televisi komunitas. Daya pancar yang terbatas misalnya, hanya relevan diberlakukan di daerah padat penduduk, namun menjadi tidak tepat untuk daerah yang jarang penduduknya (pedesaaan di luar Pulau Jawa). Bisa dibayangkan, jika aturan ini juga berlaku di Papua misalnya, maka layanan televisi komunitas hanya bisa dinikmati oleh segelintir warga karena jarak persebaran penduduk yang saling berjauhan. Persoalan regulasi lain adalah tentang pembagian kanal frekuensi bagi televisi komunitas. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 76 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi tidak menjelaskan alokasi frekuensi bagi televisi komunitas. Ke depan, bila regulasi ini tidak dibenahi, akan menimbulkan persoalan karena kecenderungan pertumbuhan televisi komunitas akan semakin meningkat dan beragam.
Penutup

Kebijakan politik di Indonesia berimplikasi secara signifikan terhadap pertumbuhan pers dan media. Dunia pers dan media di Indonesia berkembang sejalan dengan kebijakan politik yang ada. Perubahan kebijakan politik paska lahirnya reformasi yang menumbuhkan keterbukaan dan demokrasi di Indonesia ternyata belum menunjukkan keberpihakan informasi pada masyarakat. Memang telah terjadi kebebasan informasi, namun isi media (content) masih ditentukan oleh faktor pemilik, modal dan pendapatan, bukan oleh kebutuhan dan kepentingan publik (Sudibyo, 2001: 2).
Demokrasi dalam hal penyiaran menjadi keniscayaan dan bisa dilakukan melalui televisi komunitas. Kepemilikan atas televisi komunitas yang partisipatif dan isi tayangan (content) yang beragam, mewujudkan harapan adanya demokrasi penyiaran di Indonesia. Televisi komunitas bisa berperan menjadi media pemberdayaan masyarakat. Media komunitas ini memiliki tanggungjawab sosial dan terlibat aktif sebagai penghubung atau penengah dalam interaksi sosial antar warga komunitasnya.  Segala informasi bersumber dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri.
Maka, pemahaman dasar (paradigma) tentang media komunitas menjadi hal penting untuk dipahami oleh pengelola televisi komunitas dan warga komunitasnya, agar media komunitas tersebut memiliki “ruh”, semangat serta ideologi yang akan menjaga keberlanjutan televisi komunitas tersebut.
Daftar Pustaka
Dewi, Liza Dwi Ratna. ”Media Massa dalam Pendekatan Ekonomi Politik”. Jurnal Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta, 2007.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 76 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Televisi Analog pada Pita Ultra High Frekuensi (UHF).
Malik, Dedy Jamaluddin. 1997. Jurnalisme Islam dan Ukhuwah Islamiyah. Yogyakarta: Bentang.
McQuail, Denis. 1996. Teori Komunikasi Massa. Terj. Agus Dharma & Aminuddin Ram. Jakarta:  Erlangga.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas.
Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS.
”TV Komunitas Bebaskan Ketertinggalan Informasi”. Kompas, 30 Mei 2007.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

One thought on “Televisi Komunitas: Media Pemberdayaan Masyarakat

Tinggalkan Balasan ke ribkah dj Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud