Tanggung Gugat sebagai Bentuk Transparansi Pemerintahan Desa

Pernahkah terbayang di benak Anda, di negara ini akan terbentuk pemerintahan yang bersih dan transparan kepada rakyatnya? Jika pertanyaan ini Anda lontarkan kepada warga Desa Wiladeg, tentu saja mereka akan menjawab, “pasti bisa!”.Wiladeg yang terletak di Kecamatan Karangmojo itu memang hanyalah sebuah desa kecil di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak pernah diperhitungkan dalam kancah percaturan politik di republik ini. Namun justru di desa yang berjarak lebih kurang 40 km dari ibu kota provinsi dan 6 km dari kabupaten itu berhasil menerapkan good governance. Tidak hanya bagus, tapi juga benar-benar transparan.

Transparansi itu terlihat ketika kepala desa yang membawahi 10 padukuhan itu melaksanakan laporan pertanggungjawaban (LPJ) Desa Wiladeg di hadapan warganya. Pembacaan LPJ kades yang dilakukan setahun sekali itu selalu bertepatan dengan pelaksanaan tradisi Rasulan yang identik dengan ritual budaya bersih desa. Tradisi yang telah berlangsung sejak desa ini berdiri itu merupakan tanggung gugat aparat desa kepada rakyatnya. Kebiasaan yang diterapkan di Wiladeg ini memang belum lazim terjadi di wilayah lain, bahkan di tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi di Indonesia.

“Di Wiladeg, ini sudah menjadi tradisi turun temurun sejak jauh sebelum saya menjadi pemimpin di desa ini, saya hanya meneruskan. Warga tidak akan pernah berani mengubah ritual tanggung gugat ini, kalau sampai ada pemimpin desa yang berani menghentikan kebiasaan ini tentu saja warga akan benar-benar menggugat kades itu,” ujar Kepala Desa Wiladeg Sukoco.

Dulu, pelaksanaan tanggung gugat direalisasikan dalam bentuk rembuk warga dalam mekanisme rapat umum warga (RUW). Saat Rasulan, semua warga Wiladeg akan berkumpul di pendopo balai desa guna menyimak pembacaan LPJ oleh kades. Kepala Desa Wiladeg akan menyampaikan pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat dengan cara melaporkan pelaksanaan program pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan setelah sebelumnya dilaporkan kepada Badan Perwakilan Desa (BPD).

Namun sejak sebuah radio komunitas yang diberi nama Radio Komunitas Wiladeg (RKW) FM didirikan di desa berpenduduk 4.240 jiwa dengan 1.281 kepala keluarga pada tahun 2002, mekanisme pembacaan LPJ diubah, meskipun kebiasaan rembuk warga tetap dilangsungkan. Mulai tahun 2003, pembacaan LPJ Kepala Desa Wiladeg disiarkan secara langsung melalui radio. “Jadi warga tidak lagi berkumpul di balai desa melainkan mereka cukup mendengarkan radio pada jam yang telah diumumkan sebelumnya. Warga satu dukuh akan berkumpul di satu lokasi (biasanya di rumah kepala dukuh-red), terus radio itu dikasih pengeras suara supaya semua warga bisa menyimak dengan jelas,” terang Sukoco.

Kehadiran radio memang dirasakan Sukoco dan warga Desa Wiladeg sebagai mukjizat bagi desa tersebut. Pasalnya, sebelum radio berdiri, Sukoco musti menghabiskan banyak waktu untuk berkeliling ke kesepuluh padukuhan yang menjadi wilayah administratifnya. Kewajiban yang harus dilakukannya itu guna membacakan draft awal LPJ sebelum diserahkan ke BPD agar warga dapat memberikan masukan, kritikan, dan mengajukan berbagai macam pertanyaan tentang pelaksanaan program pemerintahan desa selama setahun sebelumnya. Sebab, saat rembuk warga digelar, sudah menjadi kebiasaan pada pemimpin-pemimpin sebelumnya, ia tidak akan melayani pertanyaan tentang pelaksanaan program di desa itu.

“Dalam semalam saya hanya sanggup berkeliling maksimal ke lima dukuh. Itu pun saya nggak mampu bisa membacakan satu per satu (isi LPJ-red) kepada sekian banyak dukuh, itu tidak efektif. Jadi saya minta ke Pak Dukuh tolong dibacakan ini, nanti kalau ada pertanyaan atau masukan ya silahkan dicatat. Saya akan selalu menerima semua program yang diusulkan warga. Tapi kan nggak semuanya bisa diakomodasi. Maka lantas saya membuat skor berdasarkan prioritas, contohnya jalan ke Puskesmas itu aksesnya berbeda dengan jalan menuju makam, atau skornya berbeda dengan jalan menuju sawah,” ungkapnya.

Maka dengan adanya radio, ia cukup memberi pengumuman kepada para kepala dukuh dan warga agar standby pada waktu yang telah ditentukan untuk mendengarkan pembacaan draft awal LPJ itu. “Radio benar-benar efektif sebagai alat yang lebih praktis dan menjangkau ke seluruh wilayah Wiladeg,”  imbuhnya.

Tidak hanya dalam forum tersebut Sukoco dan warganya memanfaatkan radio untuk bersiaran secara langsung. Bahkan saat terjadi penggodokan LPJ oleh BPD Wiladeg pun, akan di-life-kan melalui radio. Juga saat hari “H” pembacaan LPJ setelah melewati mekanisme pelaporan kepada BPD.

“Biasanya saat BPD bersidang, kita akan menaruh beberapa buah mik di ruangan itu, entah digunakan atau tidak pokoknya kita on-kan saja. Sebab dengan adanya mik yang aktif itu, meskipun sidangnya tertutup untuk umum tapi warga tetap bisa mengikuti semua proses yang terjadi di dalam ruangan itu dapat diketahui publik,” jelas salah seorang pengelola RKW Hartanto Setya Nugraha (Tanto).

Sejak ada radio komunitas di Wiladeg, aparat desa berusaha mengoptimalkan pemanfaatannya guna kepentingan warga. “Semua hal yang menyangkut kepentingan masyarakat dilaporkan secara life melalui radio, entah itu sidang pertanggungjawaban APBDes, RAPBDes, termasuk anggaran-anggaran, bahkan hingga pungutan yang ditarik oleh pemerintah desa ke rakyatnya,” tutur Sri Sayekti, 61 tahun, warga Dukuh Kerdon.

Hal senada diamini oleh Sukoco yang telah menjabat sebagai Kepala Desa Wiladeg selama 10 tahun (dua periode, sejak 1995  2003 dan 2003-2013-red). Menurutnya selama ini ada enam dinamika desa yang disiarkan secara langsung kepada publik melalui radio. Yakni desa melakukan pungutan, desa menentukan program, desa menentukan anggaran, desa membuat perubahan anggaran, desa membuat perhitungan anggaran, serta desa melakukan jalin program.

Alokasi anggaran tidak jelas
Lain halnya dinamika yang harus dialami Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Bantul. Mulanya warga berinisiatif ingin menyiarkan secara langsung LPJ Kepala Desa Timbulharjo Yapidi Faturohman pada Juli 2004 melalui Radio Komunitas Angkringan FM. Namun sayangnya niat baik itu ditolak mentah-mentah oleh aparat desa, justru beberapa jam sebelum acara dilangsungkan dengan alasan daerah lain tidak mempunyai radio seperti di Timbulharjo.

“Alasan itu saya kira merupakan alasan yang dicari-cari. Padahal kami sudah mengumumkan soal siaran langsung itu jauh-jauh hari sebelumnya. Lantas kami menyiasatinya dengan membuat buletin dinding yang berisi soal LPJ itu dan ditempelkan ke seluruh kawasan Timbulharjo,” tutur Ketua Umum Radio Angkringan FM Jaswadi.

Beruntung BPD Timbulharjo merekomendasikan kepala desa agar merevisi LPJ tersebut dalam kurun waktu dua minggu. “Kami mengajukan surat permohonan lagi untuk bisa menyiarkan secara langsung pembacaan LPJ kedua, dan akhirnya dikabulkan. Malahan dalam RAPBDes Timbulharjo tahun berikutnya (mulai Agustus 2004-red) pendanaan biaya tagihan listrik radio komunitas ini menjadi tanggung jawab pihak desa,”  kata Jaswadi.

Sayangnya, menurut Saryanto, 36 tahun, warga Dusun Kepek, dalam LPJ kades yang dibacakan secara langsung itu Pak Lurah tidak merinci alokasi anggaran pembangunan selama setahun masa pemerintahannya. Justru yang dilaporkan hanya melulu soal rencana anggaran hingga lima tahun ke depan.

“LPJ life itu harus! Warga itu kan juga ingin tahu selama setahun kemarin anggaran itu habisnya berapa dan buat apa saja, tapi selama ini belum terlihat alokasi dana itu untuk apa. Saya berharap Pak Lurah lebih banyak melibatkan warga dalam dialog, semacam rembuk warga itu lho, supaya warga itu bisa kasih masukan dan langsung merevisi kalau ada kesalahan dalam pelaporan. Selama ini yang dilibatkan hanya aparat desa, RT, dukuh, dan tokoh-tokoh masyarakat saja, di Timbulharjo belum pernah dilakukan rembuk warga,” keluh Saryanto.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud