Simpati dan Empati: Dua Sifat Pribadi Jurnalis

Sejak manusia merasakan adanya kebutuhan dalam pemenuhan kebutuhan informasi, sejak itulah manusia selalu melakukan ‘perburuan’ terhadap informasi-informasi yang ada. Terutama informasi yang memiliki hubungan langsung dengan kehidupan konsumen informasi tersebut.

Terkadang pers menangkap hal seperti fenomena di atas sebagai jalan keluar mereka menjadi sebuah media yang kuat di mata masyarakat. Kuat, bahwa media ini akan selalu dipilih masyarakat dalam pencarian informasi terbaru.

Namun dibalik itu semua, pers juga secara tidak langsung bisa ‘menipu’ mata masyarakat luas dengan pemberitaan yang melebih-lebihkan. Inilah yang menjadi masalah bagi pengetahuan informasi masyarakat. Bukan tidak mungkin bahwa masyarakat akan menjadi salah persepsi serta menjadi buta akan informasi yang benar.

Tanggung jawab pers sangat dibutuhkan disini, ketika pers merupakan hal yang berorientasi pada bisnis, ia akan menjadikan berita sebagai bahan tulisan yang ‘buta’ akan kepedulian dan kepentingan orang lain. Masyarakat pun akan terbius sehingga mempercayai terus apa yang dikatakan media.

Kegiatan jurnalistik memang berusaha untuk terus memproduksi fakta. Bagi pribadi jurnalis pun, bahasa pun merupakan alat untuk menggambarkan sebuah realitas di masyarakat. Menggambarkan suatu keadaan masyarakat dengan kata-kata mampu untuk menceritakan secara nyata apa yang terjadi pada konsumen informasi di tempat kejadian. Pemilihan kata, kalimat atau ungkapan-ungkapan tertentu dapat menghasilkan makna tertentu.

Pembelajaran sifat simpati dan empati dalam jurnalistik memang tidak diajarkan secara teori, bahkan praktiknya. Namun, siapa sangka bahwa jurnalistik sebenarnya memiliki sifat yang sangat menyentuh dalam pekerjaannya. Seorang jurnalis harus bisa berbaur dengan masyarakat dengan tingkatan yang berbeda-beda, pengetahuan yang berbeda, bahkan hingga kebudayaan yang berbeda. Hal seperti inilah seorang jurnalis benar-benar diuji bagaimana ia mampu bertahan di tengah orang-orang yang tidak dikenalinya namun mampu untuk membawa kebenaran dari berita yang akan ia tuliskan.

Kelemahan dari tidak adanya teori dan praktik dalam jurnalistik membuat banyak praktisi jurnalistik melupakan hal-hal yang bersifat manusiawi. Sangat tidak etis di mata masyarakat luas apabila seorang jurnalis justru memiliki cara yang bisa dikatakan kasar dalam prosesnya mencari berita. Contoh mudah saja, praktisi jurnalistik yang tidak mematuhi kode etik jurnalistik.

Contoh ini pernah didengar dari seorang dosen, kasus pembunuhan pada sekitar tahun 2009 oleh pelaku bernama Ryan asal Jombang, Jawa Timur. Pada awalnya Ryan tinggal bersama keluarganya yang sederhana hingga ia dijadikan tersangka oleh polisis sebagai pelaku pembunuhan. Sebagai media, usaha untuk memberitakan tetap ada, namun kesan berlebihan hingga kebosanan muncul pada pemberitaan. Rumah tempat tinggal sederhana disulap menjadi ‘panggung’ yang memancing masyarakat sekitar menonton hingga berdesakan. Bagaimana perasaan hingga beban mental yang diderita keluarga Ryan tidak satupun media yang mengangkatnya menjadi berita.

Definisi Simpati

Simpati adalah ketertarikan seseorang kepada orang lain hingga mampu merasakan perasaan orang lain tersebut. Contoh: membantu orang lain yang terkena musibah hingga memunculkan emosional yang mampu merasakan orang yang terkena musibah tersebut.

Jurnalistik memang diakui sebagai ilmu yang berusaha membantu banyak orang; membantu masyarakat memperoleh informasi melalui hasil jurnalistik, dan juga membantu masyarakat untuk membagi perasaannya ketika mengalami masalah yang tidak bisa dipecahkan sendiri. Ternyata selain membutuhkan simpati, jurnalistik juga mengundang simpati orang lain.

Seorang praktisi jurnalis memberitakan seorang korban bencana alam, secara tidak langsung sangat membantu korban tersebut untuk memperoleh bantuan secara materi dari orang yang melihat beritanya. Entah seperti apa nasibnya apabila korban bencana alam tersebut tidak diberitakan secara mendalam melewati hati nurani, namun hanya diberitakan sebatas wacana informasi atas suatu kejadian.

Simpati dibutuhkan oleh praktisi jurnalistik dalam pekerjaannya. Ini karena pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan yang harus berhubungan dengan banyak orang, berbeda latar,pengetahuan kebudayaan, bahkan berbeda tingkat emosi. Praktisi jurnalis yang hanya menggunakan teknik wawancara dan sebagainya akan gagal melakukan pekerjaannya karena hal seperti itu hanya akan berasa seperti gangguan saja bagi subjek berita.

Contoh sederhana dapat dilihat dari sini. Seorang pejabat desa yang rendah meninggal karena bunuh diri dan penyebab diketahui sebagai terdakwa korupsi. Seorang jurnalis tentunya tidak pantas langsung percaya begitu saja dengan berita awal tersebut. Ia harus mampu untuk berdiri di tengah kesedihan keluarganya, berdiri di tengah kesibukan pihak berwajib, dan sebagainya. Itu semuanya dilakukan dengan sikap seorang yang bersimpati terhadap kejadian bunuh diri tersebut. Bagaimana apabila seorang jurnalis tanpa berbelasungkawa langsung mewawancarai kejadian tersebut tanpa ada rasa simpati terhadap keluarga yang ditinggalkan?

Itulah mengapa sikap simpati sangat dibutuhkan oleh setiap praktisi jurnalis. Simpati merupakan cara paling efektif dalam memperoleh hubungan dengan seseorang yang pertama kali. Bahkan ketika bertemu dengan orang yang terkena musibah, simpati merupakan sikap yang sangat baik terhadap orang tersebut.

Definisi Empati

Empati adalah pendalaman dari rasa simpati yang mampu mempengaruhi pada kondisi fisik dan mental seseorang. Contoh: tangis sedih ketika melihat saudara-saudara yang tertimpa musibah hingga kehilangan nyawa.

Melalui empati, seseorang dalam merasakan perasaan serta beban mental orang lain akan lebih terasa, bahkan dapat dikatakan bahwa kita juga mendapat perasaan serta beban mental tersebut. Dengan perasaan empati seperti itu, seorang jurnalis akan merasa jauh lebih mudah dalam mendapatkan berita dari seseorang yang terkena musibah.

Empati lebih ditekankan dalam keadaan yang khusus, misal, ketika ada penggusuran lahan tinggal, atau ketika baru saja terjadi bencana alam. Seorang jurnalis seharusnya tidak hanya memberitakannya kejadian di sana, namun, jurnalis tersebut diharapkan juga membantu para korban dalam upaya mengurangi beban secara fisik dan mental.

Empati dan simpati ini bersifat manusiawi. Dalam pekerjaannya, jurnalis merupakan pekerjaan yang menuntut untuk berbuat serta berpikir. Seperti dikatakan sebelumnya, jurnalis juga manusia. Manusia yang mampu untuk berpikir serta memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda. Hal inilah yang membedakan antara jurnalis satu dengan yang lain. Kualitas hati yang digunakan dalam praktiknya akan sangat berpengaruh besar terhadap perbuatannya dalam melakukan pekerjaannya.

Misal, dua jurnalis yang dikirim pada suatu kasus sosial. Dua jurnalis ini sama-sama memiliki ilmu yang hebat dalam jurnalistik. Pembedanya adalah, salah satu jurnalistik ini hanya terpaku pada pedoman jurnalistik tanpa mempedulikan keadaan lingkungan sekitar, karena itu informasi yang ia peroleh hanyalah berasal dari orang-orang yang benar-benar mau bekerja sama dengannya. Berbeda dengan jurnalis lainnya. Ia berusaha mendekatkan diri pada korban, keluarga korban, dan kerabat dekatnya, ia juga merasakan hal yang sama dirasakan oleh korban, karena itu bagi keluarga korban dan kerabat-kerabatnya, jurnalis tersebut merupakan teman yang baik, dan bisa untuk berbagi kesedihan. Inilah perbedaan mendasar dari dua orang jurnalis dengan sudut pandang hati nurani.

Praktik Pengaplikasian Simpati dan Empati dalam Jurnalistik Indonesia

Sesuai dengan yang dikatakan sebelumnya yaitu, simpati dan empati merupakan hal yang bersifat manusiawi dan adaptif. Maka dari itu, untuk menggunakannya secara optimal pada pencarian suatu berita, seorang jurnalis harus membutuhkan pengalaman dalam dunia jurnalis

Dalam tulisan berjudul ‘Ketika Jurnalisme Kehilangan Empati’ oleh kippas.wordpress.com dikatakan penerapan jurnalistik empati adalah melalui metode reportase dalam mengeksplorasi fakta-fakta publik melalui sudut pandang dan fokus perhatian. Sudut pandang merupakan cara untuk menentukan subyek yang nantinya subyek ini akan menunjukan subyek lain sebagai titik tolak dalam pemaparan sebagai berita. Atau berusaha mencari narasumber kejadian berdasarkan orang yang mengerti akan kejadian tersebut. Ataupun melalui metode partisipatoris, yaitu dengan menghadapi sebuah subjek berita bukan hanya sebatasa dari korban sebuah kejadian, namun lebih dirasakan sebagai sebuah fenomena sosial yang memiliki dimensi struktural, serta mengupayakan keadilan dalam kasus yang dihadapinya.

Dengan tulisan ini, disebutkan pula praktik jurnalistik yang benar-benar mengakui adanya kebutuhan empati dalam kegiatannya. Jurnalistik empati dikenal sebagai salah satu praktik jurnalistik yang tidak secara langsung mengincar beritanya saja, namun juga kepedulian terhadap subjek berita yang mengalami masalah, serta bagaimana seorang jurnalis ini membantu memecahkan masalah subjek berita tersebut.

Simpati dan Empati kadang menjadi hal yang terlupakan dalam praktik jurnalistik, khususnya Indonesia. Praktik simpati dan empati dalam jurnalistik seringkali tidak dipedulikan. Hal ini kadang menjadi sebuah nilai yang buruk bagi pers Indonesia.

Pers pada dasarnya menjadi sebuah identitas Negara yang sangat penting. Pers menunjukan sebuah ideologi yang akan dikenal oleh masyarakat, dalam dan luar negeri. Bagaimana apabila pers yang kita banggakan justru tidak memiliki simpati dan empati dalam pekerjaannya?

Media tetap memberikan andil yang besar terhadap perbuatan masyarakat karena berita yang disebarkan. Karena itu, kontrol media dalam memberitakan sebuah fakta hendaknya jangan melebih-lebihkan, karena dampak yang akan terasa ada pada masyarakat.

Tommy Satriadi Nur Arifin Erawan
Sumber: http://parapenuliskreatif.wordpress.com/2010/03/24/simpati-dan-empati-dua-sifat-pribadi-jurnalis/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud