Saluran Komunikasi dan Informasi Penanganan Dampak Gempa Bumi 27 Mei 2006

27 Mei 2006 adalah tanggal yang tak mungkin dilupakan oleh warga di Provinsi DIY dan Jawa Tengah. Saat warga baru bangun dari tidurnya di pagi hari, gempa bumi berkekuatan 5,9 skala ritcher telah mengguncang kedua wilayah ini. Hanya dalam waktu hitungan 57 detik, gempa tektonik ini telah menewaskan 5.737 jiwa1, dan 602.080 rumah hancur total2.

Menanggapi gempa bumi yang meluluhlantakkan bumi Yogyakarta dan Klaten ini, pemerintah daerah dituding sangat lambat dalam memberikan bantuan. Birokrasi yang panjang dianggap menjadi biang keladi kelambatan ini sehingga korban bencana tidak dapat ditangani dengan cepat. Bahkan warga yang memohon bantuan harus memperlihatkan KTP, Kartu Keluarga, dan  dokumen lain yang mungkin sudah hilang bersama reruntuhan rumah. Bisa jadi prosedur semacam ini dilakukan agar bantuan jatuh ke tangan warga yang memang membutuhkan. Tetapi yang terjadi justru banyak warga telantar. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa harus sampai warga yang datang untuk mencari bantuan? Dan bukan pihak pemerintah yang langsung terjun ke wilayah terkena bencana? Di titik inilah sebenarnya diperlukan data yang akurat mengenai jumlah korban, daerah mana saja yang terkena bencana, kebutuhan korban, dan lain-lain.

Hal ini didasarkan atas keprihatinan bahwa sering kali penyalur bantuan tidak mempunyai data mengenai kebutuhan korban bencana, dan masih banyaknya korban yang belum tersentuh oleh bantuan. Apalagi di hari-hari pertama pascagempa, banyak sekali mobil-mobil bantuan yang dicegat oleh daerah-daerah yang dekat dengan jalan raya. Akibatnya ribuan korban di pelosok belum tersentuh oleh bantuan yang mengalir. Menanggapi persoalan data ini maka Combine Resource Institution (CRI) membangun sebuah sistem informasi dan komunikasi yang sensitif terhadap kebutuhan korban.

Masa Darurat
Hal pertama yang dilakukan adalah memobilisasi relawan yang khusus mengumpulkan data dari tangan pertama, yaitu simpul-simpul warga di tingkat desa. Ada 20 relawan yang dikerahkan untuk mendata wilayah bencana yang meliputi 17 kecamatan di Bantul dan 3 kecamatan di Klaten. Data kemudian dikumpulkan di kantor CRI dan di-upload ke dalam format basis data yang dapat diakses secara online di www.saksigempa.org. Selain itu disediakan juga layanan referensi kepada lembaga penyalur bantuan yang memerlukan saran ke mana mereka harus menyalurkan bantuan, dalam bentuk apa, dan berapa banyak. Di Satlak di Kabupaten Bantul dan Sleman, juga di Satkorlak Provinsi Yogyakarta, relawan memiliki posko yang melayani kebutuhan jasa informasi penyalur bantuan. Para relawan juga dibekali dengan peralatan HT (handy-talky) sehingga mereka bisa langsung melaporkan kondisi di lapangan secara cepat. Laporan mereka akan ditulis kembali oleh tim media Combine. Menyadari bahwa korban juga membutuhkan informasi, maka setiap tiga hari satu kali dicetak buletin khusus untuk melayani kebutuhan informasi korban. Buletin ini berisi mengenai tips bagaimana mengakses bantuan dari berbagai lembaga penyalur, bagaimana melewati masa transisi secara aman, bagaimana membangun rumah tahan gempa, mengatasi persoalan kesehatan yang muncul pascagempa, juga cerita-cerita yang menggugah dari warga korban lainnya, dan gambaran umum mengenai jalannya upaya penanganan bencana.

Di samping memberikan pelayanan informasi, CRI juga menyalurkan bantuan logistik kepada korban bencana di hampir semua titik. Adapun bantuan logistik yang diberikan antara lain berupa terpal,beras, mie instan,obat-obatan,susu,alas tidur, pakaian,dan lain-lain.

Masa Pemulihan
Setelah masa darurat, maka yang perlu diperhatikan adalah masa pemulihan. Banyak lembaga yang fokus pada masa pemulihan namun tetap minim data. Sebagai contoh diperlukan data mengenai berapa rumah yang belum dan sudah dibangun, berapa korban luka-luka yang belum dan sudah ditangani oleh rumah sakit, dan beragam data yang sifatnya lebih sektoral seperti masalah kesehatan, perumahan, air bersih, dan lain-lain. Di samping itu yang perlu diperhatikan juga adalah persoalan transparansi, akuntabilitas, dan kerapatan sosial warga. Seiring makin jelasnya rencana pemerintah untuk menyalurkan langsung sejumlah besar uang tunai kepada korban untuk “jatah hidup” dan biaya pembangunan kembali rumah-rumah, maka ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan.Yang pertama adalah bahwa masyarakat sadar akan hak-haknya, prosedur resmi untuk mengakses bantuan, dan informasi lainnya mengenai proses pemulihan yang harus diketahui umum. Kedua, lembaga yang bekerja di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi dapat dijamin akuntabilitasnya, dan bahwa suara rakyat  berdasarkan proses monitoring secara partisipatif  didengar dalam memastikan akuntabilitas tersebut. Ketiga, bahwa kerapatan sosial dan kearifan lokal akan dijunjung tinggi, untuk menangkis resiko individualisme dan generalisasi cara-cara pemulihan yang berlebihan. Proses pemulihan yang terjadi di Aceh bisa menjadi contoh. Misalnya banyak rumah yang dibangun oleh LSM internasional ternyata tidak bisa dipakai oleh korban bencanatsunami. Hal ini disebabkan tidak adanya suatu komunikasi dua arah mengenai konsep rumah.

Untuk membantu memastikan kondisi di atas, dibutuhkan bangunan sistem informasi dan komunikasi dua arah yang pro kepentingan rakyat. Sistem tersebut akan didasarkan pada media-media yang tepat, yang akan meliputi infrastruktur informasi (radio darurat, radio komunitas, SMS gateway, handy-talky, buletin, dan website), kampanye untuk membangun kesadaran warga, pengembangan mekanismefeec/badfdari rakyat dan pengembangan kapasitas.***

1.Data Satkorlak DIY tanggal 10 Juni 2006
2.Data Emergency Shelter Coordination Group (ESCG) tanggal 27 Juni 2006

2 thoughts on “Saluran Komunikasi dan Informasi Penanganan Dampak Gempa Bumi 27 Mei 2006

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud