Petani Rumput Laut Bantaeng: Buta Informasi Harga, Terbelenggu Permainan Tengkulak

Oleh Basri Andang

Kabupaten Bantaeng berada di jazirah pantai selatan Pulau Sulawesi memiliki pantai sepanjang 27,5 kilometer yang terbentang dari timur hingga ke barat. Disepanjang pantai itulah terdapat potensi perikanan laut yang cukup besar, di antaranya pengembangan rumput laut. Luas areal budidaya rumput laut mencapai 875 hektaryang tersebar dari pantai hingga ke arah laut Flores.
Sejak tahun 1997, pengembangan rumput laut di Bantaeng setiap tahunnya mengalami peningkatan. Tiga tahun terakhir produksinya tidak pernah berada di bawah 9.000 kilogram. Data instansi terkait menunjukkan, tahun 2002 misalnya, produksi rumput laut masih 9.000 kilogram, tahun 2003 produksinya meningkat menjadi 14.000 kilogram, dan langsung melonjak tajam pada 2004 dengan produksi 20.500 kilogram. Sampai saat ini, produksi rumput laut di Butta Toa itu sudah bertengger di atas 20.000 kilogram. Paling sedikit, setiap petani mampu memproduksi sekitar 200 kg rumput laut kering per panen.

Sayangnya, keberhasilan pengembangan rumput laut tidak dibarengi dengan terbangunnya sistem informasi harga dan pasar sampai ke tingkat petani. Karenanya, para petani masih terus berada dalam ‘genggaman’ permainan harga tengkulak atau pedagang. Petani hanya mengikuti harga yang ditawarkan pedagang pengumpul dan langsung melakukan transaksi.

Menurut Syahriah yang juga Ketua KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) Bahari, petani tidak pernah mendapat informasi harga rumput laut yang berlaku di pasaran secara transparan. Paling sering, petani mendapat informasi harga dari pedagang pengumpul. Karena buta harga pasar yang sebenarnya maka mau tidak mau petani menurut saja dengan harga yang dipatok para pedagang tersebut.

Tengkulak, menurutnya, adalah pedagang yang membeli murah rumput laut petani. Misalnya, pedagang hanya mau membeli rumput lautnya seharga Rp 3.100 untuk jenis Euchema cottonii dengan alasan kadar airnya yang masih tinggi, maka sulit bagi petani menahannya apalagi meminta harga yang tinggi karena memang mereka tidak tahu persis harga. “Kita hanya tahu bahwa harga rumput laut itu sekitar Rp 3.000 sampai Rp 3.500 per kilogram. Itu pun informasinya dari mulut ke mulut, tapi mereka tidak pernah mendapat informasi resmi dari instansi atau pihak yang terkait,” kata Syahriah.

KSM Bahari yang diketuai Syahriah ini termasuk KSM yang dijadikan model di Sulsel pada tahun 2000-an, akan tetapi KSM ini pun masih belum mampu mengakses informasi harga dan pasar rumput laut. Menurut Syahriah, ketidakjelasan sistem informasi niaga rumput laut akan merontokkan budidaya rumput laut Butta Toa itu. “Petani kan tidak tahu harga sehingga biar dibeli murah mereka jual juga. Mau ditahan, takut rusak. Mau cari pembeli yang lain, tidak tahu siapa lagi pembeli. Jadi lambat laun akan menurunkan pendapatan petani,” tegasnya, sembari meminta pemerintah memperhatikan masalah ini.

Soal informasi harga, Husni Alam yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Jalarambang Indonesia (Yajalindo) menilai seharusnya informasi harga yang disampaikan kepada petani rumput laut meliputi beberapa aspek. Di antaranya, informasi itu harus resmi dan jelas sumbernya, Bagusnya, informasi harga itu mencakup semua tingkatan. Misalnya, berapa harga di tingkat pedagang pengumpul, berapa di tingkat pedagang besar yang di Bantaeng atau Makassar, dan berapa harga pembelian pabrik di Makasar, serta berapa pembelian pengusaha eksporter.

Informasi harga dari berbagai level ini akan membantu petani untuk memasang berapa harga yang seharusnya berlaku di tingkat petani. Bukan untuk menghilangkan mata pencaharian pedagang pengumpul, akan tetapi lebih mendorong terjadinya proses jual-beli atau tawar menawar yang sehat. Bukan hanya itu, perlu pula informasi berapa jumlah pedagang pegumpul dan pedagang besar yang ada di Bantaeng supaya petani mempunyai posisi tawar untuk menjual produksinya.

Selanjutnya instansi terkait menyebarkan informasi-informasi itu secara berkala ke semua petani dan kelompok tani yang ada di Bantaeng. Di tingkat kelompok misalnya, seharusnya di sekretariat kelompok tertulis informasi harga itu. Supaya anggotanya bisa melihatnya setiap saat. Di Sekretariat KSM Bahari, misalnya, sambung Syahriah, tidak ada sama sekali informasi harga dan pasar rumput laut. Mereka bingung ke mana harus mendapat informasi harga. Mereka tidak mau memasang harga yang diperoleh dari mulut ke mulut.

Lain halnya dengan Kelompok Tani Nelayan dan Rumput Laut Pantai Selatan yang sudah memiliki akses informasi harga dan pasar. Oleh ketuanya Muh Yusuf Yunus yang juga Kasubdin Kelautan pada Dinas Perikanan dan Kelautan Bantaeng, beliau mencoba mengakses langsung informasi harga dan pasar. Kelompok ini sudah bermitra dengan koperasi dan beberapa perusahaan pengolahan rumput laut di Makassar, di antaranya PT Bantimurung Indah anak perusahaan PT Bosowa. Malah, kelompok ini sering membeli rumput laut ke petani di luar kelompoknya untuk memenuhi permintaan pasar. Areal pengembangannya sudah mencapai 10.000 bentangan dengan kapasitas produksi mencapai 20 ton per bulan. Kadang mereka juga memanfaatkan internet untuk memperkenalkan produknya.

Agar informasi harga dan pasar bisa merata ke setiap kelompok dan petani, untuk sementara ini Yajalindo bersama IFC-PENSA menjajaki proses fasilitasi  penyehatan harga di tingkat pedagang Business Development Service (BDS). Diharapkan pendampingan di tingkat pedagang BDS tersebut akan diperoleh informasi harga dan pasar dari berbagai level. Selain itu BDS ini akan difasilitasi untuk mengakses modal melalui Bank Syariah Mandiri (BSM) untuk penguatan modal petani rumput laut di Bantaeng.

DPRD, malah mengusulkan agar pemerintah memfasilitasi lahirnya lembaga keuangan alternatif bagi petani rumput laut. Lembaga keuangan itu berupa Bank Perkreditan Rakyat (BPR)  yang tidak mempersyaratkan agunan. “Dengan begitu ketergantungan petani terhadap tengkulak bisa diatasi,” kata Andi Syarifuddin SAg, Ketua Komisi B DPRD Bantaeng.

Penguatan Kelompok
Daya tawar petani rumput laut memang harus diperkuat dengan cara mengetahui informasi harga di luar tengkulak. Namun lebih dari itu, kelompok-kelompok petani itu pun harus mempunyai solidaritas, kesamaan visi yang kuat untuk menghadapi para tengkulak. Jangan sampai harga yang sudah ditentukan oleh seluruh kelompok, tiba-tiba dirusak oleh satu kelompok dengan cara memberikan harga lebih murah.

Walaupun belum ada data pasti mengenai jumlah kelompok petani rumput ,laut, namun sesuai perkiraan Kasubdin Kelautan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bantaeng  di setiap desa terdapat 10 sampai 20 kelompok yang masing-masing mempunyai anggota 10 sampai 30 orang. Namun Andi Syariffudin SAg sudah melihat potensi konflik di antara kelompok petani rumput laut, misalnya kini mulai marak pengkaplingan laut. Oleh karenanya, koordinasi antarkelompok petani rumput laut sangat penting untuk dilakukan.

Kelompok-kelompok ini juga perlu dibantu dalam hal permodalan. Beberapa sudah punya inisiatif untuk memecahkan masalah modal, salah satunya adalah Jaringan Perempuan Usaha Kecil yang menjadi wadah bagi 7 KSM petani rumput laut. Oleh karena mayoritas anggotanya adalah perempuan, maka mereka membentuk Kelompok Perempuan Usaha Kecil (KPUK). Lalu agar persoalan permodalan di tingkat KPUK bisa diatasi, maka pada tahun 2005 dibentuklah Lembaga Keuangan Perempuan Produktif (LKPP) yang menyalurkan modal usaha sebesar Rp 5 juta untuk setiap KPUK. Pemerintah Kabupaten Bantaeng sendiri pada tahun 2005 telah mengucurkan anggaran sebanyak Rp 1 milyar untuk kelompok petani di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Pajukukang dan Bantaeng. Sebanyak 48 kelompok telah diberikan penguatan modal dan pembinaan. Meskipun pengembangan rumput laut ini telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di Bantaeng, namun pemkab belum perlu membebani biaya atas usaha rumput laut ini. Justru yang perlu dilakukan adalah pembinaan, seperti memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk olahan baru dari rumput laut.

Beberapa kelompok sudah berhasil mengolah langsung rumput laut dalam bentuk kue, manisan, gula-gula, sirup, dan dodol, meski dalam jumtah terbatas. Hasil olahan rumput laut ini memberikan nilai tambah bagi petani rumput laut di tengah ketidakstabilan harga akibat permainan harga tengkulak.

Hanya saja, promosi terhadap produk-produk hasil olahan rumput laut masih konvensional dengan melalui penyampaian dari mulut ke mulut. Pemkab diharapkan dapat menyediakan outlet atau tempat pameran terhadap jenis-jenis olahan rumput laut ini. Ada pula kelompok yang sudah berani membidik supermarket dan mal di Makasar sebagai pasarnya, namun karena keterbatasan produksi mereka belum mampu menindaklanjutinya. Jika pandai-pandai mengolahnya, rumput laut adalah emas yang bisa menyejahterakan para petaninya.

(Basri Andang, angota JURnaL Celebes).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud