Orientasi Media dalam MEA

Oleh : Idha Saraswati*

PASAR tunggal Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) jika sesuai rencana,akan mulai diberlakukan pada akhir 2015. Pasar tunggal dan basis produksi ASEAN akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil mengalir bebas di wilayah ASEAN. Termasuk di dalamnya adalah arus informasi yang diproduksi media di kawasan ini.

Dalam konteks MEA, media menjadi salah satu sektor yang juga akan terkena imbas. Di sisi tenaga kerja, misalnya, peluang jurnalis Indonesia untuk bekerja di media negara lain sesama anggota ASEAN akan lebih terbuka, tentu selama kemampuannya dianggap memenuhi syarat. Sebaliknya, jurnalis terampil negara ASEAN akan menyerbu Indonesia. Di ranah konten informasi, media-media di kawasan ASEAN akan membanjiri audiens dengan aneka jenis informasi. Indonesia yang memiliki jumlah audiens terbesar tentu akan dipandang sebagai pasar yang menggiurkan.

Dalam beberapa bulan terakhir penulis bertemu dengan dua jurnalis asal Malaysia. Keduanya bekerja di media yang berbeda. Kedua jurnalis tersebut bekerja di media yang memiliki fokus liputan isu seni dan budaya. Selain menyajikan informasi seni dan budaya Malaysia, kedua media itu juga meliput kegiatan seni di tempat lain di kawasan Asia Tenggara. Perkembangan seni dan budaya di Yogyakarta dipilih sebagai objek liputan karena Yogyakarta dinilai sebagai pusat seni budaya yang penting. Tidak hanya di Indonesia melainkan juga Asia Tenggara.

Media Baru
Di era teknologi informasi, arus konten informasi tanpa batas sudah terjadi jauh sebelum MEA direncanakan. Kehadiran media berbasis internet memudahkan proses distribusi informasi secara global. Pakar komunikasi Terry Flew, menyebut evolusi teknologi media baru telah mendorong globalisasi.

Era ini juga ditandai dengan kemudahan membuat media. Internet membuat semua orang bisa membuat media untuk mendistribusikan informasi apapun. Bagi media baru, seluruh dunia bisa menjadi audiens sekaligus pasar dalam arti ekonomi. Kendala dalam menjangkau audiens global adalah masalah teknis berupa akses internet yang tidak merata, perbedaan bahasa dan adanya sensor internet di sejumlah negara. Selebihnya, di banding media konvensional, media baru relatif lebih fleksibel melewati batas antarnegara.

Dua jurnalis Malaysia yang sedang liputan di Yogyakarta itu juga bekerja di media berbasis internet yang usianya belum genap dua tahun. Hal menarik dari dua media baru itu adalah pilihan dalam memposisikan diri. Kedua media itu meliput berita di Yogyakarta karena ingin menyediakan informasi perkembangan seni budaya di kawasan Asia Tenggara.

Orientasi
Mereka melihat dirinya sebagai bagian dari suatu wilayah yang lebih besar, tidak hanya sebatas garis batas wilayah nasional melainkan regional. Karena itu, menampilkan informasi tentang Asia Tenggara menjadi penting. Ada kesadaran bahwa selama ini warga Asia Tenggara ternyata lebih akrab dengan artis maupun pegiat seni di Hollywod ketimbang rekannya di ASEAN. Selain tetap menggunakan Bahasa Melayu untuk sejumlah konten informasi, kedua media itu lebih banyak menggunakan Bahasa Inggris yang relatif bisa diterima semua warga ASEAN. Dengan modal tersebut, kedua media baru itu pelan-pelan membangun diri untuk menjadi media regional.

Di Indonesia, perkembangan media baru juga pesat. Ada banyak start up baru yang fokus menyediakan konten informasi. Namun, sampai saat ini kebanyakan media di Indonesia masih fokus di perkara internal Indonesia. Melihat perkembangan saat ini, sudah sepantasnya para pegiat media di Indonesia mulai mengamati dan terlibat dalam gerak perubahan di kawasan Asia Tenggara. Sejumlah pegiat media di Malaysia maupun Filipina terbukti telah menggeser orientasinya ke kawasan regional. Pemberlakuan MEA akan membuat tren itu menjadi lebih marak.
Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia dipandang memiliki keterbukaan dan kebebasan media yang lebih baik. Ini menjadi modal penting. Meskipun demikian, berorientasi regional juga menuntut pengetahuan lebih mendalam tentang dinamika di kawasan regional. Jika perlu menguasai sejumlah bahasa regional selain Bahasa Inggris.

Memosisikan diri di tengah Asia Tenggara berguna untuk mewarnai informasi di kawasan ini dengan konten asal Indonesia yang diolah dengan sudut pandang Indonesia. Bagaimanapun, setiap media akan selalu mengolah dan melakukan frame isu berdasarkan sudut pandang dan ideologi masing-masing. Karena itu,pegiat media di Indonesia perlu turut mengarahkan arus informasi agar bisa merepresentasikan diri di kancah regional.

*Manajer Unit Pengelolaan Informasi Komunitas
Combine Resource Institution

Sumber : Kedaulatan Rakyat Edisi 26 Agustus 2015

One thought on “Orientasi Media dalam MEA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud