Menembus Keterbatasan: Teknologi Informasi untuk Difabel

Oleh Ambar Sari Dewi

Namanya Eko Ramaditya Adikara. Laki-laki berusia 27 tahun itu memiliki profesi yang unik, seorang game music composer dan bekerja sebagai salah seorang music composer di perusahaan game Nintendo Jepang. Rama, panggilan akrabnya, membuat backsound sebuah video game. Untuk membuatnya, ia menggunakan flute dan beberapa perangkat lunak yang bisa mengubah suara flute menjadi musik digital. Sedangkan untuk berkomunikasi dengan Nintendo di Jepang, Rama memanfaatkan internet sebagai media komunikasinya. Ia juga mengelola blog yang cukup aktif dan interaktif. Jika sempat, mampirlah ke www.ramaditya.com, Anda akan disuguhi berbagai cerita dan beberapa hasil karya Rama.

Tak bisa dipercaya, weblog itu dikelola oleh seorang tuna netra. Ya, Rama adalah seorang tuna netra.

Aktivitas Rama dengan internet atau perangkat teknologi informasi dan komunikasi lainnya dimungkinkan berkat bantuan beberapa aplikasi komputer. Rama menggunakan perangkat lunak JAWS untuk mengedit musik yang ia buat atau mengetik laporan jurnalistiknya. JAWS adalah perangkat pengubah teks di komputer menjadi suara. Sedangkan untuk membantunya berkomunikasi melalui telepon seluler, Rama menggunakan aplikasi TALK.

Menderita gangguan penglihatan, pendengaran, atau kehilangan kemampuan berjalan tidak menghalangi Rama dan banyak penyandang difabel lain untuk berkarya. Berkat kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), mereka mampu mengoperasikan komputer, menggunakan ponsel, bahkan menjadi seorang web master. Berbagai inovasi teknologi terus diciptakan untuk membantu mereka menggunakan perangkat teknologi tersebut. Kondisi fisik mereka bukanlah halangan untuk berkreasi, bahkan tak jarang mereka justru lebih kreatif.

Rama hanyalah salah satu contoh difabel yang memanfaatkan TIK untuk berkreasi. Dari penelusuran saya, saya menemukan beberapa difabel yang menggunakan TIK dalam kehidupan sehari-hari, bahkan menjadikannya sebagai profesi.

Salah satunya adalah Paulus Ganesha. Developer J2EE di PT Sigma Karya Sempurna (balicamp) ini adalah seorang tuna rungu. Namun kecintaannya pada dunia pemrograman berbasis desktop dan web tidak dihalangi oleh keterbatasannya itu. Hal itu tercermin dari berbagai tulisannya di http://paganekoso.wordpress.com. Sayangnya, Paulus tidak meng-update blognya secara rutin.

Difabel lain yang cukup produktif meng-update blognya adalah Cak Fu alias Bahrul Fuad (http://cakfu.info). Pria kelahiran Surabaya itu adalah seorang tuna daksa. Panas tinggi yang dialaminya ketika ia masih kecil menyebabkan kedua kakinya lemah dan tidak bisa digunakan untuk berjalan. Namun demikian, Cak Fu tidak mudah putus asa. Buktinya, ia berhasil melengkapi pendidikannya hingga S2. Melalui blog-nya, Cak Fu menyuarakan pemikirannya terkait dengan keadaan difabel di Indonesia. Cak Fu mencoba untuk berbagi gagasan guna membangun kesetaraan.

Jika Cak Fu mencurahkan gagasan mengenai difabel berdasarkan pengalamannya sebagai Koordinator Center on Difabel Community Development and Empowerment, lain lagi dengan Haris. Difabel asal Nganjuk itu berbagi pengalamannya mencari uang lewat internet. Berbagai situs atau lowongan kerja berbasis web ia tampilkan di blognya http://alhakim.wordpress.com. Tak cuma lowongan kerja, hobinya ngoprek peralatan elektronika ia tuangkan dalam blog itu.

Teknologi yang aksesibel
Era teknologi informasi dan komunikasi, saat ini, turut berperan menggeser paradigma kecacatan. Perkembangan teknologi yang begitu pesat, khususnya teknologi informasi, membuat pola kehidupan masyarakat juga semakin dinamis. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat itu, maka kata kuncinya adalah bagaimana  menciptakan teknologi yang aksesibel bagi seluruh anggota masyarakat termasuk di dalamnya para difabel (Cak Fu, http://cakfu.info/?p=47). Bahkan, tema Hari Penyandang Cacat Sedunia tahun 2006 yang dicanangkan oleh PBB adalah e-accessibility. Harapannya, teknologi yang dapat diakses semua kalangan akan memberikan kesempatan yang lebih besar pada para difabel dalam memainkan perannya di masyarakat. Teknologi yang aksesibel adalah bentuk perwujudan hak asasi manusia.

Berbagai upaya untuk menciptakan teknologi yang aksesibel terus dilakukan oleh semua pihak. Dalam bidang TIK, berbagai perangkat lunak yang dapat membantu para difabel untuk mengakses informasi telah dikembangkan dan dipakai oleh jutaan difabel di seluruh dunia.

Perangkat lunak JAWS seperti yang digunakan oleh Rama dan para penyandang tuna netra lainnya hanyalah salah satu contoh. Program aplikasi antarmuka untuk mengakses informasi berbasis web, juga telah dikembangkan oleh IBM. Aplikasi ini bernama IBM Web Adaptation Technology, sebuah piranti lunak yang secara dinamis mengadaptasikan halaman web sesuai dengan kebutuhan mereka yang memiliki keterbatasan pandangan, motorik, dan tulis-menulis.

Selain inovasi yang dikembangkan oleh vendor terkemuka seperti IBM, di Belanda telah dikembangkan sebuah perangkat lunak untuk mereka yang memiliki gangguan pada sistem otot, yang tidak mampu menggerakkan tubuhnya (http://www.perl.com/pub/a/2003/08/28/pvoice.html). Aplikasi itu dikembangkan oleh seorang bapak yang memiliki putri dengan gangguan tersebut. Berawal dari kebutuhan agar Krista, anaknya, mampu berkomunikasi dengan dunia luar, Jouke Visser mengembangkan aplikasi berbasis pearl bernama pVoice. Dengan aplikasi tersebut, Krista dapat menggunakan komputer tanpa harus memegang mouse atau mengetik kata dari keyboard. Ia hanya perlu menggerakkan kepalanya dan aplikasi itu akan menampilkan berbagai macam simbol yang mewakili kategori-kategori kata. Aplikasi itu menjadikan Krista dapat belajar menambah perbendaharaan kosa kata. pVoice kini telah dijadikan sebagai salah satu proyek Open Source dan terus-menerus dimodifikasi oleh komunitas itu.

Membuat teknologi informasi yang aksesibel bagi para difabel, bukan hanya persoalan pemenuhan hak asasi manusia semata. Hal ini juga membawa makna yang baik bagi industri dan bisnis. Sebuah studi menunjukkan bahwa web yang aksesibel, menempati ranking yang lebih tinggi dalam mesin pencari ketimbang yang tidak. Web yang aksesibel juga terbukti lebih murah dalam biaya pemeliharaan web dan memungkinkan perusahaan untuk meraih pelanggan yang lebih luas 1.

Namun, Rama dan kawan-kawan tidak hanya membutuhkan teknologi yang aksesibel semata. Komitmen dari semua pihak untuk menjadikan mereka sebagai bagian dari kita sangatlah penting untuk dilakukan. Seabrek peraturan dan undang-undang tak akan cukup untuk mewadahi kreativitas dan pemikiran mereka. Santunan dan bantuan juga tidak akan menciptaan peluang dan kesempatan yang lebih baik, bahkan menjadikan para difabel makin tergantung dan tidak berdaya.

Bagi Rama dan kawan-kawan, yang diharapkan dari berbagai pihak bukanlah bantuan atau santunan. Terlebih lagi, bantuan yang sifatnya membuat para difabel menjadi manja dan malas. Mereka menginginkan kemitraan dan kesetaraan. Irawan, salah seorang web master situs http://kartunet.com, menyatakan hal itu dalam wawancara dengan Faisal Riza dari Perspektif Baru (http://www.perspektifbaru.com/wawancara/596#comments).

Rama, Paulus, Cak Fu, atau Haris hanyalah segelintir dari ribuan penyandang difabel yang mengenyam dan menikmati kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Pengetahuan dan kemampuan yang mereka miliki telah membuka berbagai peluang, yang pada gilirannya meningkatkan harkat dan martabat mereka sebagai manusia. Dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi, mereka mampu membuktikan bahwa mereka sama dan setara dengan orang normal. Rama dan kawan-kawan meraihnya dengan kerja keras dan kini saatnya menuai hasil.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud