Gula Jawa dengan Filosofi Semut

Oleh Rohman Yuliawan & Ade Tanesia

Dusun Penggung tampak tenteram sore itu. Sesekali bunyi serangga meningkahi tawa sejumlah ibu-ibu yang tengah asyik membelah kelapa dengan arit di belakang sebuah rumah yang berada di bibir tebing. Di ruang dalam, dua orang perempuan sibuk mengaduk adonan diatas wajan yang berkepul-kepul. Di ruang depan, meja tamu dipenuhi oleh toples bundar berukuran sedang. “Ini gula jawa hasil buatan sendiri. Silahkan dicicipi,” tawar Sugiyo, tuan rumah sekaligus Ketua Usaha Dagang (UD) Sumber Rejeki, sembari mengangsurkan sebuah toples berisi gula kelapa yang sudah dipotong-potong dalam ukuran kecil kepada penulis. Di kampung ini, gula jawa penyebutan umum untuk gula kelapa” memang lazim dihidangkan pada tamu seperti layaknya menghidangkan biskuit saja.

Menurut penuturan Sugiyo, hampir semua warga Penggung, sebagaimana kebanyakan   warga Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, telah menjalani profesi perajin gula secara turun temurun. la sendiri mulai menekuni profesi sebagai perajin gula sejak tahun 1998. Namun Sugiyo enggan menapaki jalan yang sama dengan ayah dan para tetangganya. la melakukan inovasi produksi dengan memperkenalkan produk gula kelapa yang diolah dalam bentuk butiran-butiran kecil mengkristal seperti pasir. Produk gula jawa kristal ini dinamainya gula semut, produk unggulan UD Sumber Rejeki.

“Ada pepatah ada gula, ada semut. Saya harap gula buatan saya ini dirubung pembeli seperti semut merubung gula,” ujar Sugiyo menerangkan filosofi di balik nama gula semut. la menambahkan nama gula semutjuga digunakan sebagai pembeda dari gula jawa dan gula pasir (gula butiran berbahan sari tebu) yang lebih dulu dikenal masyarakat.

Meskipun tampilannya berbeda dengan gula jawa tradisional yang umumnya berbentuk tempurung, rasa gula semut tak berbeda dengan gula jawa. “Konsumen utama gula ini adalah pembuat dawet dan roti. Biasanya roti manis atau yang warnanya coklat,” tambah Sugiyo. Mereka memilih gula dalam bentuk kristal karena lebih mudah bercampur dengan adonan kue atau dawet.

Tahapan pembuatan gula kristal tak jauh berbeda dengan gula jawa biasa yang berbentuk tempurung, tetapi dilanjutkan dengan proses membuat granulan alias butiran-butiran gula. Proses ini dilakukan dengan cara menyangrai dan mengaduk tumbukan gula jawa di atas wajan secara berulang-ulang hingga terbentuk butiran. Pekerjaan inilah yang dilakukan oleh para ibu di ruang belakang rumah Sugiyo.

Dengan cara pengolahan seperti ini, gula semut dapat bertahan selama satu hingga satu setengah tahun. “Bisa juga dua tahun kalau proses pengemasan mempergunakan alumunium foil, selama ini kita masih memakai kertas saja,” imbuh Sugiyo sembari menambahkan gula jawa biasa hanya bisa bertahan paling lama dua minggu saja.

Inovasi Rasa Perluas Pasar
Untuk memperluas pasar, Sugiyo melakukan inovasi lanjutan. Kali ini yang diutak-atik adalah rasanya. Jika sebelumnya rasa dasar gula semut hanya manis saja, ia kemudian menambahkan aroma-aroma natural yang diolah dari Jahe, lengkuas, temulawak, kencur, dan kunir. Langkah ini juga sekaligus pengembangan pasar untuk kelompok tani  kebun dan empon-empon yang dikelolanya. Kelompok ini kerap mengeluhkan sempitnya peluang pasar untuk hasil kebun dan empon-empon tanaman obat–yang mereka hasilkan.

Selain itu dilakukan pula cara pengemasan baru, Bukan lagi sekadar dibungkus plastik, gula semut dengan berbagai macam rasa pilihan ditawarkan dalam kemasan kecil dari kertas dengan berat 200 gram. Lewat cara ini pasar baru pun tercipta.

Untuk menambah bobot produknya, Sugiyo juga menguji campuran gula jawanya dengan berbagai macam tanaman ke balai pemeriksaan kesehatan. Setelah produknya lolos, ia bisa mengatakan bahwa gula semutnya dapat digunakan sebagai obat. Misalnya campuran gula jawa dan kunir putih dituliskan dapat mencegah kanker, tumor dan ginjal. Nampaknya kemampuan produknya sebagai obat ini juga yang diminati oleh pembeli.

Untuk satu kemasan gula semut ukuran besar dijual Rp 3.500, sementara yang kecil bisa dijual seharga Rp 2.500 per bungkus. Sangat berbeda dengan gula jawa tradisional harga per kg dari perajin hanya sekitar Rp 2.000, sedangkan yang berwarna krem dan lebih bersih harga dari perajin bisa mencapai Rp 2.750 hingga 3.000 per kilonya. Sementara gula semut bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dengan berat hanya sekitar 200 gram.

“Sekarang tingkat produksi kami mencapai 8 ton gula semut per bulan. Nilai nominalnya kira-kira setara dengan Rp 150 juta per bulan,” ungkap bapak dua anak ini. Pasar terbesar gula semut adalah Jakarta, yang sebagian besar disedot oleh industri roti, baru kemudian konsumen perorangan yang menginginkan produk-produk minuman kesehatan. Tahun lalu UD Sumber Rejeki yang dikelola 10 orang anggota ini mencoba menjajaki pasar Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pada awal tahun ini pasar Bali pun mulai mereka rambah, selain seorang pembeli potensial dari Amerika.

Untuk urusan bahan baku, UD Sumber Rejeki menampung gula jawa dalam bentuk tempurung dari sekitar 100 perajin gula kelapa di seluruh Kecamatan Kokap. “Tapi gulanya harus memenuhi standar mutu yang kami tetapkan, jika lolos kami bayar Rp 1.000 lebih mahal dari harga pasar,” terang Sugiyo. Selain gula semut, UD Sumber Rejeki juga memproduksi virgin coconut oil (VCO) yang diolah dari santan kelapa dan kecap dari air kelapa.

Promosi Media

Menurutnya, perluasan pasar tak lepas dari jasa media. Promosi melalui media dianggapnya sebagai strategi pemasaran tahap ketiga, setelah inovasi bentuk gula kristal dan penambahan aroma serta pengemasan gula semut. “Konsumen Jakarta mengenal produk gula semut berkat liputan SCTV, Jawa Tengah berkat Kompas, dan Bali berkat RCTI,” kata pria 43 tahun ini. Karena itu ia mengaku sangat percaya pada keampuhan media massa sebagai sarana promosi, apalagi ia punya pengalaman unik dibantu oleh wartawan ketika mengurus surat izin dari Depertemen Kesehatan.

“Waktu itu ada wartawan dari KR (Kedaulatan Rakyat), koran harian terbesar di Yogyakarta yang mau menulis tentang gula semut. Saya sempat menyinggung tentang sulitnya proses mendapatkan izin Departemen Kesehatan yang sudah saya ajukan setahun lebih namun belum ada jawaban,” kisah Sugiyo. la mengaku terkaget-kaget ketika pada hari yang sama setelah tulisan tersebut dimuat di KR, staf Dinas Kesehatan Kulonprogo datang mengantarkan surat keterangan Depkes yang ditunggu-tunggunya.

la senang jika upayanya mempertahankan produk tradisional gula jawa mendapat dukungan dari media massa. Salah satu upayanya mengangkat citra gula jawa dilakukan dengan membuat tumpeng gula jawa raksasa. Ide ini ia ajukan pada Pemerintah Daerah Kulonprogo yang rupanya antusias mendukung. Dengan dana sekitar Rp 32,5 juta, pada tahun 2002 dibuat tumpeng gula jawa setinggi 3 meter yang dipajang di depan kantor bupati selama dua minggu penuh.

“Dibutuhkan bahan gula jawa sebanyak lima ton untuk membuat tumpeng ini. Ada sekitar 16 perajin yang khusus datang ke kantor kabupaten untuk membuat tumpeng ini. Setelah meleleh, saya sudah kontak dengan pembuat roti yang mau membeli tumpeng gula jawa ini sebagai bahan baku rotinya”, ujar Sugiyo tersenyum. Tumpeng gula jawa ini dicatat Rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai gulajawa terbesar di Indonesia.

2 thoughts on “Gula Jawa dengan Filosofi Semut

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud