Edisi 68: Kita Berhak Tahu

Masih ingatkah Anda dengan dongeng tentang kura-kura yang cerewet? Alkisah pada suatu hari, seekor kura-kura yang banyak bicara bertemu dengan sekawanan burung. Benar saja, seperti nama julukannya, kura-kura itu segera mengajukan banyak pertanyaan kepada para burung. Ia bertanya: Dari mana mereka berasal? Bagaimana suasana di tempat-tempat yang mereka singgahi? Bagaimana rasanya terbang?

Daripada kesulitan menjawab pertanyaan si kura-kura yang cerewet, kawanan burung itu pun mengajaknya untuk ikut pergi bersama mereka. Caranya, induk burung akan menerbangkan si kura-kura menggunakan sepotong ranting kayu. Si kura-kura tinggal berpegangan pada kayu itu dengan menggigit ujungnya. Induk burung menyampaikan satu syarat: selama terbang, kura-kura itu tidak boleh berbicara.

Si kura-kura setuju dengan syarat itu. Mereka pun mulai terbang. Namun, belum terlampau lama berada di angkasa, si kura-kura ternyata sudah tidak tahan untuk tidak bicara. Tanpa sadar ia membuka mulutnya. Seketika pegangannya pun terlepas sehingga tubuhnya terjun ke bumi.

Selama ini, dongeng tentang kura-kura yang banyak bicara itu disampaikan untuk menunjukkan bahwa orang yang terlalu banyak bicara akan menerima nasib buruk. Pada konteks tertentu, anjuran itu ada benarnya. Akan tetapi, jika berhubungan dengan hak-hak sebagai warga, setiap orang justru dituntut untuk banyak bicara. Memilih diam tidak saja bisa menimbulkan bencana bagi diri sendiri, namun juga orang-orang di sekitar kita.

Contoh yang paling sederhana bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Ketika hendak membeli roti di warung, misalnya, kita perlu mengecek tanggal kedaluwarsanya. Jika tidak tercantum di kemasan, kita akan menanyakannya kepada penjaga warung. Mengetahui bahwa roti yang kita beli belum kedaluwarsa penting karena berkaitan dengan kesehatan kita.

Sama seperti saat membeli roti, saat berobat ke dokter kita juga perlu menanyakan hasil pemeriksaan serta resep obat yang ditulis si dokter. Tanpa aktif bertanya, begitu sampai di apotek mungkin kita akan terkaget-kaget saat menyadari bahwa harga obat yang direkomendasikan dokter tersebut terlampau mahal. Padahal mungkin ada jenis obat lain dengan kandungan serupa yang harganya lebih terjangkau.

Demikian pula saat mengurus perpanjangan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kita perlu mengetahui prosedur dan syarat-syaratnya sehingga tidak perlu merasa sungkan untuk menolak membayar biaya “sumbangan sukarela”. Sama halnya ketika ada rencana proyek pembangunan tertentu di lingkungan sekitar. Kita perlu mengetahui tujuan, sasaran serta dampak dari pembangunan tersebut supaya paham cara menyikapinya.

Seluruh informasi terkait tanggal kedaluwarsa roti hingga rencana pembangunan itu hanya bisa didapatkan ketika kita aktif mencari tahu. Ada banyak cara mencari tahu, mulai dari bertanya langsung dengan sosok yang kita anggap tahu hingga mencari tahu melalui kumpulan dokumen informasi dan data. Seluruh cara itu bisa dilakukan karena kita punya Hak untuk Tahu.

Hak untuk Tahu kini telah diakui oleh sebagian besar negara, termasuk Indonesia. Dengan pengakuan ini, maka menjadi tugas masing-masing warga negara untuk rajin bertanya tentang apa saja yang berkaitan dengan kehidupan kita.

Kita harus tahu karena kualitas hidup kita dan orang-orang di sekitar kita, mulai dari keluarga hingga para tetangga, ditentukan oleh itu. Maka selama itu berkaitan dengan hak-hak kita sebagai warga, kita perlu menjadi kura-kura yang cerewet.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud