Bencana dan Dilema Anggaran

Oleh: Eko Yulianto*

Meski secara umum ada peningkatan kegiatan dan anggaran untuk penanggulangan bencana, pemerintah pusat dan daerah terlihat belum mampu melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan baik.

Jumlah korban dan kerugian bencana terus meningkat dari tahun ke tahun, tetapi kesiap-siagaan belum menunjukkan perbaikan (Kompas, 13-15 Juni 2016).

Di Indonesia, sumber ancaman bencana tersebar merata, seperti patahan aktif, gunung berapi, curah hujan tinggi, dan lautan luas. Sumber ancaman ini ada sejak jutaan tahun lalu, tetapi bencana dengan korban dan kerugian besar baru terjadi dalam 12 tahun terakhir.

Dalam kurun itu, lebih dari 11.500 bencana di Indonesia, menelan lebih dari 193.000 korban jiwa dan kerugian lebih dari Rp 420 triliun. Kerugian ini sebanding dengan APBN 2004 dan lebih dari seperlima APBN 2016.

Anggaran lebih banyak untuk kegiatan yang bersifat respons dan belanja modal kegiatan respons. Program prabencana yang berorientasi kepada pengurangan risiko masih sangat terbatas, belum melibatkan semua pihak, dan belum dilaksanakan secara sistemik.

Indikasinya adalah munculnya keluhan di pusat dan hampir di semua daerah tentang kurangnya anggaran penanggulangan bencana.

Anggaran kurang?

Kekurangan anggaran menjadi kambing hitam kegagalan penyelenggaraan penanggulangan bencana di pusat maupun daerah.

Laporan pengkajian nasional penanggulangan bencana yang dikeluarkan badan nasional penanggulangan bencana pada 2013 menyebutkan, masih rendahnya alokasi anggaran adalah salah satu biang keladi kegagalan penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana bergantung pada kemampuan APBN, APBD, dan konstelasi politik di pusat dan daerah.

Alokasi untuk badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) kabupaten/kota, misalnya berkisar Rp 300 juta-Rp 32 miliar. Jika alokasi ini dibandingkan kerugian akibat satu bencana saja, pasti terlihat bahwa alokasi itu tidak mencukupi.

Pada kasus gempa Padang 2009, total kerugian mencapai Rp 21 triliun. Padahal, APBD Kota Padang tahun itu hanya Rp 957 miliar.

Banjir Manado 2014 mengakibatkan kerugian Rp 1,8 triliun sementara APBD-nya Rp 1,3 triliun. Gambaran ini memperlihatkan, seandainya APBD kedua kota seluruhnya dialokasikan untuk BPBD pun, anggaran itu masih tidak mencukupi.

Bencana yang dikelompokkan sebagai bencana alam, ancamannya  muncul berulang. Gempa dan tsunami memiliki siklus beberapa puluh hingga beberapa ribu tahun.

Ancaman bencana hidrometeorologi, seperti curah hujan tinggi, curah hujan sangat rendah, erupsi gunung api, badai, gelombang tinggi, abrasi, longsor, dan puting beliung juga berulang mengikuti siklus iklim.

Ancaman hidrometeorologi muncul dengan intensitas dan frekuensi meningkat, tetapi dengan pola siklus tidak menentu akibat perubahan iklim. Bencana yang dikelompokkan sebagai bencana sosial, ancamannya bersifat permanen, yaitu keberagaman sosial.

Makin tinggi keberagaman suatu wilayah, makin tinggi pula ancaman konflik sosialnya. Bencana yang selama ini dikelompokkan sebagai bencana non-alam, adalah bencana akibat gagal teknologi, yang ancamannya muncul secara acak.

Meskipun ancaman bisa muncul permanen, berulang atau acak, risiko bencana muncul jika dan hanya jika ancaman itu bertemu dengan kerentanan. Semakin tinggi kerentanan semakin tinggi pula risikonya.

Kenyataannya, kerentanan masyarakat cenderung meningkat dari waktu ke waktu akibat meningkatnya kepadatan penduduk, pesatnya urbanisasi, serta kerusakan lingkungan.

Ironisnya, peningkatan ketiga hal itu justru dipicu oleh pengabaian aspek keadilan, kepedulian dan keberlanjutan sosial- politik, ekonomi, serta lingkungan dalam program-program pembangunan. Jika pengabaian ini dibiarkan, kerugian akibat bencana akan meningkat pesat.

Suatu waktu nilai kerugian akibat bencana akan jauh melampaui kemampuan anggaran pemerintah pusat dan daerah. Jika ini terjadi, program pembangunan akan sangat terganggu atau bahkan terhenti.

Program penanggulangan bencana mau tidak mau harus fokus pada pengurangan kerentanan.

Persoalannya, upaya pengurangan kerentanan tidak mungkin disandarkan pada besar kecilnya alokasi anggaran dari APBD. Mengharapkan peningkatan alokasi anggaran penanggulangan bencana dari APBD ibarat pungguk merindukan bulan, karena APBD memang sangat terbatas.

Sementara rata-rata, hampir 70 persen APBD justru digunakan untuk belanja rutin dan hanya 30 persen yang digunakan untuk belanja pembangunan. Jika 30 persen itu dibagi rata untuk semua sektor, setiap sektor mendapat bagian tak lebih dari 2 persen.

Kenyataannya, sektor yang menjadi prioritas pembangunan akan mendapatkan alokasi anggaran lebih besar daripada sektor yang bukan prioritas.

Jadi, sektor yang bukan prioritas kemungkinan akan mendapat alokasi jauh lebih kecil dari 2 persen. Dalam hal penanggulangan bencana, program ini tidak termasuk program unggulan Nawacita. Akibatnya, program ini tidak akan menjadi program unggulan di daerah.

Pada gempa Padang 2009, Kota Padang harus mempersiapkan diri setidaknya untuk menghadapi siklus gempa ini atau siklus gempa lain yang mengancam, yang mungkin akan terjadi 50-100 tahun lagi.

Jika risiko gempa ini pada siklus berikutnya diasumsikan sebanding dengan kerugian akibat gempa Padang 2009, yaitu Rp 21 triliun.

Agar tidak rugi sebesar itu, perlu investasi Rp 5 triliun agar untuk pengurangan risiko. Setiap investasi Rp 1 sebelum bencana akan menghemat Rp 4 pada tahap pasca bencana.

Diperlukan Rp 50 miliar tiap tahun, jika investasi itu dibagi rata selama 100 tahun. Sementara alokasi anggaran BPBD Kota Padang 2010-2013 hanya berkisar Rp 2,1 miliar-Rp 3,6 miliar.

Jika alokasi belanja pembangunan untuk pengurangan risiko 30 persen, anggaran pengurangan risiko bencana rata-rata selama 4 tahun Rp 825 juta untuk menangani 14 jenis ancaman, bukan hanya gempa.

Bagaimana mendapatkan Rp 49 miliar sisanya untuk ancaman gempa? Bagaimana mendapatkan anggaran investasi untuk penanggulangan 13 ancaman bencana lainnya?

Untuk menutupi besarnya kekurangan anggaran pengurangan risiko bencana, seperti gambaran di atas, pelibatan semua pihak, bukan hanya pemangku kepentingan, mutlak jadi prasyarat. Keterlibatan semua pihak dihitung sebagai investasi pengurangan risiko.

Hitungan total anggarannya bukan saja total nilai uang yang digunakan, tetapi juga total nilai dari upaya-upaya pengurangan risiko yang bersifat intangible.

Prinsip pengarusutamaan

Dalam konteks program pembangunan pemerintah, upaya- upaya seperti ini hanya dapat dilaksanakan dengan prinsip pengarusutamaan melalui strategi sinergi.

Penjelasan dari prinsip pengarusutamaan dalam RPJMN 2010-2014 agak sulit dipahami oleh orang kebanyakan dan mungkin juga aparat pemerintah daerah.

Prinsip ini sebenarnya sederhana dan kita kenal dalam bentuk peribahasa “sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui”.

Prinsip inilah yang menjamin terjadinya sinergi dalam kerja sama dua sektor atau lebih untuk hasil lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan keseluruhan hasil ketika sektor-sektor itu bekerja masing-masing.

Meski demikian, pemanfaatan prinsip dan strategi pengarusutamaan sekaligus menjamin terlaksananya proses-proses koordinasi serta asas efektivitas dan efisiensi. Kemampuan menjalankan prinsip pengarusutamaan melalui sinergi bermanfaat baik saat ruang fiskal terbatas maupun longgar.

Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri perlu mendorong dan memastikan penerapan prinsip ini untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan tata kelola yang baik di semua sektor.

Jika bentuk kegiatan rutin dinas pemuda dan olahraga adalah mengadakan lomba lari pada peringatan hari-hari nasional, lomba maraton ini akan memberikan manfaat ganda ketika rute lari dibuat dengan start di pantai dan finis di titik evakuasi untuk ancaman bencana tsunami.

Lomba maraton ini tidak saja menjadi pelaksanaan kegiatan pembangunan dinas pemuda dan olahraga, tetapi juga menjadi proses sosialisasi rute evakuasi tsunami dan simulasi tsunami bagi peserta dan suporter lomba.

Pelaksanaannya tidak mensyaratkan anggaran tambahan, tetapi koordinasi antara dinas pemuda dan olahraga, BPBD, dan barangkali bappeda. BPBD dapat melibatkan kantor urusan agama, misalnya dengan membuat kampanye “jihad itu mudah, buang sampah di tempatnya” atau “sedekah itu mudah, tanamlah pohon”, dan sejenisnya.

Jika sinergi seperti ini bisa dilakukan untuk kegiatan-kegiatan pembangunan di sektor lain, perebutan anggaran APBD antarsektor menjadi tidak relevan lagi.

Istilah “instansi terkait” juga tidak relevan karena semua sektor bisa dilibatkan tanpa perlu menabrak rambu tugas dan fungsi dari sektor itu. Yang perlu dibenahi adalah tolok ukur pencapaian sasaran kegiatan pembangunan.

Dengan menggunakan prinsip pengarusutamaan lewat strategi sinergi, satu kegiatan pembangunan bisa mencapai dua target atau lebih di dua sektor yang berbeda.

*Peneliti Paleotsunami dan Kebencanaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sumber : Kompas Sabtu, 25 Juni 2016

http://nasional.kompas.com/read/2016/06/25/15000021/Bencana.dan.Dilema.Anggaran?page=all

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud