Batik Dalam Kemelut Pasar Modern

Batik itu identitas, banyak kehadiran dalam setiap ekspresinya. Mbatik itu lelaku, butuh keikhlasan dalam setiap prosesnya. Tapi batik juga barang dagangan, butuh pasar untuk menentukan nilainya (Seminar Batik Dalam Ekonomi Politik dan Identitas)

Sejarah Pekalongan sebagai kota pesisir utara Jawa memberikan banyak kemungkinan masuknya pendatang dengan berbagai simbol-simbol budaya dan latar belakang yang kemudian berasimilasi menghasilkan budaya baru, termasuk di antaranya ialah batik. Adalah batik dengan motif buketan (Buketan berasal dari bahasa Perancis yang berarti Bouquet, yang berarti karangan bunga.) yang merupakan motif floral, hadir sebagai karya artistik bernuansa kultur Eropa. Diprakarsai oleh pengusaha wanita Indo-Eropa yang tinggal di Pekalongan, pada awalnya bertujuan untuk membangun romantisme budaya Eropa di Hindia serta usaha (secara ekonomi) untuk mengembangkan batik sebagai padanan busana kebaya, yang dapat digunakan bagi semua kelas sosial pada abad ke 19.

Sebagai komoditas unggulan dan bernilai materi cukup tinggi pada saat itu, batik tidak hanya menjadi peluang usaha bagi Indo-Eropa, tetapi juga peranakan Tionghoa. Terbukti hingga kini, kawasan Kedungwuni, berjarak sekitar 12 km selatan kota Pekalongan, dikenal sebagai penghasil batik terbaik dari kelompok Tionghoa dari generasi ke generasi.

Menilik kembali pada masa pendudukan Jepang, dibentuklah organisasi bernama Hokokai, salah satu aktifitasnya ialah membuat batik yang kemudian dikenal dengan istilah batik Hokokai. Istilah ini bukan menunjukan motifnya, melainkan nama batik yang mendeformasikan motif buketan yang khas Jepang, seperti bunga sakura, krisan, dahlia, dll. Pembuatan batik Hokokai pada saat itu mengalami tantangan yang berat, selain karena pasokan bahan baku batik (terutama katun yang menipis selama perang dunia II) tetapi juga ketersediaan tenaga kerja pembatik.

Pasca kemerdekaan RI, momen 1950-an digunakan oleh presiden Soekarno untuk mencetuskan gerakan Batik Indonesia. Hal tersebut turut berpengaruh pada eksplorasi ragam matif batik buketan. Hingga tahun 1970, motif buketan yang menurut aslinya merupakan rangkaian bunga utuh, kemudian dibuat dengan bentuk yang lebih sederhana, menyesuaikan dengan pola busana yang semula bentangan kain panjang menjadi pakaian siap pakai (kemeja). Berbagai teknik batik, baik tulis; cap; maupun kombinasi tulis-cap, semakin mempermudah pengaplikasian buketan sehingga menyebar tidak hanya di kawasan Pekalongan semata, melainkan daerah sentra batik di pesisir lainnya.

Pertumbuhan kesenian batik kemudian menjadi popular dengan ditunjang oleh kemajuan teknologi dan organisasi ekonomi. Pada tingkatan fungsional, batik telah menjadi budaya pop, sekaligus mengesampingkan nilai tradisi dan ritual-ritual produksi untuk kemudian membentuk standar pakaian batik sebagai sesuatu yang massal (pasar). Sebagian besar pengusaha batik melihat kemungkinan peluang serta berkembangnya perdagangan batik dengan motif buketan tersebut dengan membuat cap motif buketan untuk mempercepat proses produksi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penggunaan teknik cap ini berimbas pada penurunan gaya artistik, seperti terbatasnya variasi dan ornamentasi motif yang ada sebelumnya, serta pudarnya nilai ritual (pembuatan) batik. Meski demikian, hal ini justru membentuk pola konsumen baru dari kalangan menengah bawah yang sebelumnya tidak mampu membeli batik tulis canting motif buketan yang mahal. Pola ini kemudian menjadi bentuk negosiasi antara industri batik dengan pembentukan selera konsumen, khususnya pecinta motif buketan.

Karakter motif buketan yang dibentuk atas dorongan pasar akhirnya bertendensi untuk mendapatkan hal baru dan berbeda dengan sebelumnya. Dengan pola produksi secara massif oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, motif batik tidak lagi dibuat berdasarkan asumsi kedaerahan, namun dikreasikan sendiri oleh pengusaha batik tersebut. Maka jika sebelumnya penyebutan atau pengistilahan motif batik berdasarkan kekhasan daerah, kemudian berubah berdasarkan nama desainer yang tak lain adalah pengusaha batik itu sendiri. Kini motif atau istilah batik menjadi: batik Failasuf yang menandakan desain motif yang dibuat oleh seorang pengusaha bernama Failasuf; batik laskar pelangi berarti batik dengan teknik pewarnaan bewarna-warni; batik manohara yang dibuat dengan model menyesuaikan style seorang artis yang sedang menjadi sorotan public saat itu, yang diharapkan mampu mendongkrak penjualan batik; batik garuda yang tidak lagi terasosiasi dengan motif dalam symbol Hindu-Budha, namun sebagai euphoria prestasi timnas sepak bola Indonesia. Maka batik tidak lagi terdiri dari motif-motif yang telah mapan, melainkan membentuk desain baru seperti yang dikonstruksikan oleh perorangan atau peristiwa baru yang diwacanakan secara umum. Batik dan motif buketan telah menjadi konsumsi massa dan kreasinya berubah menjadi sebuah komoditas dalam masyarakat yang kapitalis.

Lebih jauh lagi, terjadinya perubahan nilai tersebut semakin menegaskan kapitalisasi kultur batik. Para buruh batik telah terkooptasi pada sekat-sekat pembedaan kerja. Terutama para pembatiknya, yang memiliki ketrampilan serta pengetahuan yang telah terasah dari generasi sebelumnya, kini harus turut pada aturan oleh kuasa pengusaha yang justru tidak mengalami sendiri proses kultural pembatikan tersebut. Hal sama juga terjadi pada buruh yang berperan pada proses pewarnaan, di mana para buruh tersebut hanya mengikuti perintah pengusaha dalam menentukan warna-warna yang akan dicelup, bahkan merahasiakan komposisi serta rumusan warna pada buruhnya. Terlebih dengan warna sistetis yang memang perlu penyesuaian dan pengalaman tersendiri dalam penggunaannya.

Komersialisasi batik di Pekalongan telah mengubah tatanan masyarakat secara fundamental dengan memonopoli pembagian kerja yang mereduksi ruang belajar serta kreativitas dalam pengalaman pembuatan batik. Hal ini menurunkan proses peningkatan kemampuan serta keberdayaan pekerja (buruh) batik, karena alur produksi menjadi serangkaian kerangka kerja yang berbeda dan berimbas pada pemberian upah yang dibedakan menurut tingkat kemampuan buruh. Para pekerja batik mengalami keterasingan dengan hasil kerja mereka sendiri, karena selain tidak mendapat kepuasan batin selama proses pengerjaan batik tersebut, mereka juga tidak mendapatkan upah yang sebanding dengan harga jual batik dan justru menguntungkan pihak pengusaha. Pengusaha dengan demikian tidak bisa menggantikan geliat dari pengalaman yang muncul dari proses pembatikan tersebut, karena tidak terlibat secara langsung pada proses pembatikan yang sebenarnya. Sebaliknya, mereka justru mendapatkan keuntungan materi atas monopoli yang dilakukannya, terutama dengan memberikan harga batik.

Masyarakat Pekalongan selanjutnya masuk ke dalam sebuah komunitas industri modern, yaitu masyarakat yang menganggap pentingnya ekonomi dalam sistem nilai sosialnya. Ini juga sekaligus menunjukan ambivalensi otentisitas budaya membatik dan menyerahkannya pada logika pasar. Rangkaian kerja produksi batik bertolak belakang dari keluhuran tradisi karena mengeksploitasi dan menafikan pengalaman batik itu sendiri. Meski kemajuan produksi dan meningkatnya permintaan pasar bisa menjadi pendorong dan merangsang terpeliharanya kebudayaan batik itu sendiri, namun sistem hirearki dan eksploitasi akan memberangus khazanah budaya tersebut. Ironi ini semakin dipertegas karena pembatik yang sebelumnya membuat batik dengan menuntut kedalaman intuisi pada pembuat motifnya, kemudian digantikan untuk membuat motif yang sebetulnya berjarak dengan imaji hidupnya. Motif buketan yang diabstraksikan oleh para pengusaha sebagai motif utama pada usaha batiknya, justru tidak memiliki kedalaman ritmis, karena hanya merepresentasikan objek bunga-bunga yang tidak menampilkan kedalaman simbolisasi untuk bisa diwujudkan dalam laku spiritual membatik. Bila merunut dari kesejarahannya, motif buketan ini ingin menunjukan semangat obsesi keelokan Eropa shingga pemilihan bunga-bunganya tidak dapat ditemui di Jawa. Termasuk ketika peranakan Tionghoa mengenalkan bunga dan warna yang khas dengan cita rasa Cina, maupun ketika invasi Jepang 1942-1945 yang nuansa batiknya menonjolkan ragam Bungan khas negeri matahari tersebut.

Para pengusaha batik di Pekalongan sesungguhnya tidak sedang menyajikan bentuk kebudayaan dalam pesona batik, namun hanya berstrategi dengan kondisi materialistik dan menggunakan batik sebagai media. Adanya tarik menarik antara pengusaha dengan pembatik ini menunjukan dinamika sosial yang berjalan terus menerus. Untuk tetap menunjukan otentitas batik, serta melanggengkan batik sebagai bentuk kultur nasional, paradigma produksi ke depan diharapkan dapat lebih memberikan ruang humanis terutama terhadap pekerja batik. Misalnya, dengan memberikan kesempatan pada para pembatik untuk mengalami sendiri penciptaan dalam kreasi bentuk motif batik, serta tentu saja, memberikan kelayakan upah bagi mereka yang menggantungkan hidupnya pada batik.

Oleh : Akar Dananjaya/Pegiat Combine Resource Institution

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud