Asap Hio Mengepul dari Waru

Oleh Roni

Ketika seseorang berdoa di altar-altar kelenteng, di hadapan patung kongco atau makco–sebutan orang suci yang dipuja pemeluk Tri Dharma (Tao, Konghucu, dan Buddha)–dalam tangkupan tangannya hampir selalu tergenggam beberapa batang hio (atau hioswa) yang mengepul. Hio memang menjadi peranti dalam proses ritual tersebut. Dan kalau Anda pergi ke sebuah kelenteng, sebelum memasuki altar utama, dapat dipastikan ada sebuah hiolong (tempat abu hio-Red) besar yang menampung abu-abu dari bakaran hio. Biasanya hiolong itu dibersihkan setahun sekali menjelang Tahun Baru Imlek atau menjelang ulang tahun sebuah kelenteng.
Jadi, bisa Anda bayangkan berapakah sebuah kelenteng membutuhkan hio dalam sehari, seminggu, sebulan, atau bahkan setahun. Mungkin tak bisa dihitung dengan pasti. Tapi bahwa setiap hari pasti ada orang berkunjung, berdoa, dan membakar hio di satu kelenteng. Kalau mengambil contoh Kota Semarang yang memiliki banyak kelenteng, berapa hio batang yang dibutuhkan setiap harinya? Jumlahnya pasti sangat besar.

Tapi dari mana hio-hio yang dibakar di kelenteng-kelenteng Semarang, juga beberapa daerah di Jawa Tengah dan DIY itu berasal? Sebuah desa yang letaknya agak masuk ke pedalaman di Kecamatan Mranggen, Demak harus disebut dalam hal ini.

Nama desanya Waru, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Semarang. Di antara sebagian besar penduduknya yang bermatapencaharian sebagai petani, dua keluarga memroduksi hio yang didistribusikan di Semarang dan sekitarnya. Keluarga Suparno dan Sumardi yang masih bersaudara-telah merintis pembuatan hio sejak sekitar 6 tahun lalu.

Suparno dan Gunarti, istrinya, boleh dibilang perintis proses produksi tersebut yang lalu diikuti Sumardi. Selanjutnya ada dua orang di desa tersebut yang sempat ikut membuka usaha pembuatan hio. Sayangnya, keduanya tak bisa bertahan lama. Konon alasan utamanya adalah kekurangan modal.

Tempat produksi hio milik Suparno berada di dalam dan halaman sebuah rumah berdinding papan yang terbilang sangat sederhana. Rumah-rumah di sekitarnya pun hampir serupa, bahkan beberapa berdinding gedhek. Rumah produksi itu, menurut penuturan Gunarti, bukan miliknya melainkan milik orang. Atas kebaikan orang tersebut, dia bersama suami dan dua anaknya bisa tinggal di situ, sekaligus sebagai tempat berproduksi.

Siang yang terik itu, Gunarti tengah memilah-milah hio batangan yang lagi dijemur. Suaminya, Suparno, ketika itu sedang pergi ke Semarang untuk urusan pengiriman hio. Di ruang tamu yang sangat sempit di rumah itu, beberapa orang tengah membuat hio kacangan (hio tanpa batang bambu-Red). Selanjutnya, di teras rumah tetangganya, Gunarti bersedia bercerita mengenai usahanya.

Dari Surabaya
Segalanya bermula dari Surabaya, begitu Gunarti mengawali cerita. Selama beberapa tahun, dia bersama sang suami dan beberapa orang dari Desa Waru bekerja pada seseorang di kota tersebut sebagai pembuat hio. Sekitar 6 tahun lalu, sang suami memutuskan untuk berhenti bekerja dan pulang kampung.

Dengan modal yang mereka miliki, mereka berdua memutuskan untuk memroduksi hio sendiri. Berapa besar modal ketika itu, Gunarti tak mau menyebutkannya. Untuk tujuan itu, sang suami mulai menjalin relasi dengan seseorang di wilayah Pecinan Semarang.

Orang tersebut selanjutnya menjadi penampung hio produksinya sekaligus penyedia beberapa bahan baku pembuatan hio seperti grajen (butiran kayu sisa penggergajian-Red), lem, kalsium, dan cendawa (bahan agar bara hio tetap menyala). Sementara bahan baku lain seperti bambu, mereka datangkan dari Malang, Jawa Timur, baik bambu utuh ataupun yang telah berbentuk batangan lidi. Perlu diketahui, yang utuh dipakai untuk hio besar atau samkee yang pembuatannya menjadi bilah-bilah dengan memborongkannya pada beberapa tetangga mereka.

Ada banyak jenis hio yang Suparno produksi. Hio batangan dengan berbagai ukuran yang Gunarti sebut dengan angka-angka seperti 29, 38, 42, 50, dan 90. Angka-angka itu merujuk pada panjang bilah bambu dalam ukuran sentimeter. Yang terpanjang sekaligus terbesar (90 cm) disebut samkee. Selain yang batangan, ada pula hio tumpeng yang berbentuk bulatan kerucut kecil, serta hio kacangan yang tanpa bilah bambu.

“Kami memang hanya membuat hio tawaran. Maksudnya lanpa aroma. Yang ngasih aroma ya orange di Semarang yang nampung hio dari sini” jelas Gunarti.

Rata-rata Gunarti menyetoi. 4 kuintal per minggunya, Itu jumlah yang sangat besar mengingat untuk satu kilogram hio batangan kecil misalnya ada sekitar 4.500 batang. Harganya per kilogram Rp 4.000. Dengan begitu, jumlah pemasukan Gunarti rata-rata Rp1,6juta.

Proses pembuatan hio dikerjakan oleh orang-orang yang bersama-sama mereka bekerja di Surabaya dengan sistem borongan. Mereka dibayar berdasarkan hasil hio yang mereka buat. Untuk satu kilogram hio, upah mereka Rp 425.

“Ada 8 orang yang bekerja. Satu hari mulai pukul 07.00 hingga 16.00, mereka rata-rata bisa membuat 60 kg per orang. Bayarnya seminggu sekali. Makanya, setiap minggu, saya harus punya duit minimal Rp 1,5 juta. Ndak boleh kurang dari itu,” kata Gunarti.

Dari mana pasangan Suparno dan Gunarti mendapatkan uang tersebut? Yang pasti dari orang yang menampung hio produksi mereka. Kalau lancar dan rata-rata Rp 1,6 juta tergenggam di tangan dari pembayaran setoran hio, mungkin tak ada persoalan. “Sayangnya, ndak pasti setiap setor dapat bayaran. Saya ya ndak bisa maksa kalau orange lagi ndak punya uang. Jadi, saya harus benar-benar menghitung keuangan. Belum lagi kalau harus menghitung biaya hidup dan dua anak saya yang sekolah.”

Berkembang Terus
Pada kenyataannya, dengan dinamika seperti itu, usaha Suparno dan Gunarti masih bertahan hingga sekarang. Bahkan boleh dibilang, usaha itu terus berkembang. “Saya memang belum punya apa-apa. Rumah saja masih dipinjami orang. Tapi enam tahun usaha ini, kami sekeluarga bisa hidup dan menyekolahkan anak-anak. Modal usaha juga terus berkembang. Misalnya, awatnya hanya bisa pesan bambu satu ton, kini malah bisa 5 ton sekali pesan. Bahan-bahan baku lainnya juga begitu. Pokoknya, asal masih ada bahan baku, hati saya tentram. Modal ibaratnya terus diputar dalam bentuk bahan baku. Apalagi saya tak mau utang. Tambah pikiran saja.”

Ya, soal bahan baku adalah soal vitat pada usaha pembuatan hio itu. Misalnya, bila bambu yang tersisa tinggal sekitar 1,5 ton, Suparno akan menelepon pemasoknya di Malang untuk segera mengirim. Begitu juga bila grajen, lem, atau cendawa hampir habis, dia akan mengontak penyetornya di Semarang. Pasangan itu juga berusaha memenuhi pesanan sebaik mungkin. Berapapun yang dipesan dalam seminggu, mereka pasti dengan semaksimal mungkin berusaha memenuhinya. Itu berarti mereka juga harus memaksimalkan para pekerjanya.

Padahal, untuk membuat satu batang hio kecil saja misalnya, prosesnya begitu rumit. Bilah-bilah bambu yang telah tersisik halus dicelupkan ke dalam ember berisi lem. Setelah itu, batang bambu berlem itu dioles-oleskan ke campuran grajen, kalsium dan cendawa. Hal itu dilakukan sebanyak lima kali sebelum didiamkan dan dijemur keesokan harinya. Pembuatan hio kacangan lebih rumit lagi karena membutuhkan alat tertentu untuk membuat adonan hio setengah kering yang dibuat mirip tali sepatu. Setelah itu, di atas sebuah papan, “tali” itu dipotong-potong dan direkatkan hingga kering, Untuk hio tumpengan pun serumit itu.

Di luar itu semua, yang pasti, usaha pembuatan hio, pasangan Suparno dan Gunarti, juga Sumardi memperlihatkan sebuah dinamika tertentu dalam soal perekonomian rakyat. Mereka orang-orang yang mampu menunjukkan sebuah usaha keras untuk bertahan hidup. Dan dalam hal tertentu, betapapun masih dalam skala kecil, mereka telah menyorong terbukanya kesempatan kerja bagi orang-orang di sekitarnya. Para pekerja pembuat hio, juga para tetangga yang membuat bilah-bilah bambu adalah bukti tak terbantahkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protected with IP Blacklist CloudIP Blacklist Cloud